Konten dari Pengguna

Konsekuensi Hukum bagi Media: Delik Pers dalam Konteks Hukum Pidana

Balqis Sulistiyani
Sedang menempuh pendidikan S1, Departemen Ilmu Komunikasi di Universitas Andalas, Padang. Berkegiatan aktif sebagai Public Relations and Community Engagement AIESEC in Unand 2024.
16 September 2024 9:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Sulistiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar di desain sendiri oleh penulis, Balqis Sulistiyani.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar di desain sendiri oleh penulis, Balqis Sulistiyani.
ADVERTISEMENT
Dalam dinamika media yang terus berkembang pesat, delik pers memegang peranan penting dalam konteks hukum pidana di Indonesia. Media, sebagai pilar utama penyebaran informasi, harus menjalankan fungsi jurnalistiknya dengan hati-hati untuk menghindari pelanggaran hukum yang dapat mengakibatkan konsekuensi serius. Artikel ini akan membahas bagaimana delik pers beroperasi dalam kerangka hukum pidana, serta dampak dan tantangan yang dihadapi media dalam menghadapi masalah ini.
ADVERTISEMENT
Sejarah dan Relevansi KUHP dalam Hukum Pers
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Belanda. KUHP ini sedang dalam proses revisi untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Di dalam KUHP, terdapat pasal-pasal yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pers, baik melalui cetakan maupun secara lisan di muka umum.
Sebagai contoh, pasal-pasal dalam KUHP mengatur tentang penerbit dan pencetak yang terkait dengan tindak pidana pers. Pasal 61 KUHP mengatur bahwa penerbit tidak akan dituntut jika pada barang cetakan disebutkan nama dan alamatnya, serta informasi mengenai pembuatnya. Hal yang sama berlaku untuk pencetak menurut Pasal 62 KUHP, yang menyebutkan bahwa pencetak tidak dapat dituntut jika informasi mengenai nama dan alamat orang yang menyuruh mencetak telah diumumkan.
ADVERTISEMENT
Delik Pers dan Implikasi Hukum
Delik pers merujuk pada tindakan pidana yang dilakukan dalam konteks aktivitas media. Istilah "delik pers" adalah istilah sehari-hari yang tidak selalu memiliki definisi teknis yuridis. Di Indonesia, delik pers bisa melibatkan pencemaran nama baik, penyebaran informasi yang menyesatkan, atau pelanggaran hak privasi yang dilakukan melalui media cetak maupun digital.
Menurut Van Hattum, untuk suatu tindakan dianggap sebagai delik pers, tiga syarat harus dipenuhi: pertama, tindakan tersebut harus dilakukan dengan barang cetakan; kedua, perbuatan pidana harus terdiri atas pernyataan atau pikiran; ketiga, publikasi tulisan tersebut harus nyata sebagai syarat untuk menimbulkan tindak pidana (Van Hattum, 2022).
Dewan Pers, sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik, menyarankan agar media selalu mematuhi prinsip-prinsip etika dalam pemberitaannya. Dewan Pers menekankan bahwa "media harus bertanggung jawab atas setiap informasi yang disajikan, dan tidak boleh mengabaikan hak-hak individu yang dilindungi hukum" (Dewan Pers, 2023). Panduan ini sangat penting untuk menghindari potensi pelanggaran hukum yang dapat menjerat media.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus dan Implikasi Hukum
Untuk memahami lebih dalam mengenai delik pers, kita dapat melihat beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kasus pencemaran nama baik yang melibatkan sebuah media cetak besar di Indonesia. Latar belakang kasus Tomy Winata bermula dari pemberitaan di Majalah Tempo yang berjudul “Ada Tomy di Tenabang.” Dalam artikel tersebut, dinyatakan bahwa Tomy Winata, seorang pengusaha, mendapatkan proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 milyar, dan bahwa proposal untuk proyek tersebut diajukan sebelum terjadinya kebakaran di pasar. Berita ini menciptakan persepsi di kalangan masyarakat, terutama di antara korban kebakaran, bahwa Tomy Winata mungkin terlibat dalam kebakaran tersebut untuk meraih keuntungan dari proyek renovasi yang akan dilakukan setelahnya.
ADVERTISEMENT
Akibat dari pemberitaan ini, Tomy Winata mengalami kecaman dan ancaman dari berbagai pihak, serta memicu aksi demonstrasi oleh karyawan Artha Graha Group ke kantor Majalah Tempo. Dalam proses hukum yang menyusul, pemimpin redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymurti, dan dua wartawannya, Ahmad Taufik dan Iskandar Ali, didakwa melakukan tindak kejahatan menyebarkan berita bohong dan pencemaran nama baik , .
Resolusi dari kasus ini melibatkan proses hukum yang panjang. Meskipun Majalah Tempo berusaha untuk membela diri, mereka akhirnya dihadapkan pada tuntutan hukum yang serius. Kasus ini menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda terhadap regulasi yang terkait dengan pers, di mana Undang-Undang Pers tidak diterapkan secara khusus, dan penyelesaian kasus ini menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
ADVERTISEMENT
Tantangan dalam Penegakan Hukum
Penegakan hukum terhadap delik pers sering kali menghadapi tantangan, terutama ketika pelanggar berada di luar negeri atau tidak dapat dituntut secara hukum pidana. Ketidakpastian hukum ini dapat menghambat upaya untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak individu. Selain itu, penegakan hukum terhadap media digital menghadapi tantangan tambahan terkait dengan yurisdiksi dan regulasi internasional.
Kasus-kasus yang melibatkan media digital juga menunjukkan bahwa aturan-aturan yang berlaku mungkin tidak selalu jelas atau cukup komprehensif untuk mengatasi masalah yang timbul dari perkembangan teknologi. Oleh karena itu, revisi dan penyempurnaan hukum, termasuk KUHP dan undang-undang terkait media, adalah langkah penting untuk memastikan bahwa hukum dapat mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dalam menghadapi kasus pencemaran nama baik yang melibatkan pers di Indonesia, terdapat perbedaan dalam penanganan hukum antara kasus yang terkait dengan media dan masyarakat. Beberapa kasus diselesaikan menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut Undang-Undang Pers), sementara yang lainnya ditangani berdasarkan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP).
Delik pers dalam konteks hukum pidana menuntut media untuk lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam setiap pemberitaannya. Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang delik pers dan pelanggaran hukum yang dapat timbul dari aktivitas jurnalistik, penting bagi media dan jurnalis untuk memahami dan mematuhi aturan-aturan ini. Peran Dewan Pers dan regulasi yang ada diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan hak-hak individu, serta menghindari potensi konflik hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi tantangan hukum yang ada, media harus terus mengedepankan prinsip etika jurnalistik dan memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan mematuhi hukum yang berlaku. Dengan demikian, diharapkan media dapat berfungsi dengan efektif sebagai penyampai informasi sambil meminimalkan risiko hukum yang mungkin timbul.
Oleh:
Balqis Sulistiyani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas