Hari Raya Lebaran dan Pasien Muslim ODGJ yang Tak Dapat Menyambutnya

Balqis Tsabita
Mahasiswa Universitas Padjadjaran Semester 4, Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Jurnalistik.
Konten dari Pengguna
17 Juni 2020 14:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Tsabita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pasien muslim yang terkena gangguan kejiwaan dan tak bisa ikut merayakan hari raya lebaran layaknya umat muslim pada umumnya. (sumber : viva.co.id)
Bulan Mei di tahun 2020, diselingi dengan satu hari yang disambut dengan seksama oleh seluruh umat muslim di dunia. Hari Raya Idul Fitri 1441 H, menjadi hari raya pertama yang disambut di tengah masa pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Sampai di pertengahan tahun, wabah yang menghantui seluruh negara nampaknya masih belum bisa berdamai dengan semua elemen makhluk hidup yang tinggal di muka bumi ini, terlebih kepada manusia.
Hari raya idul fitri seharusnya merupakan satu momentum penting untuk menjalin tali silaturahmi antar sanak saudara. Namun, siapa sangka jika ternyata tak semua nya dapat merasakan salah satu kegiatan keagamaan ini sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.
Sebagai bukti nyata, umat muslim yang mengalami gangguan kejiwaan cukup kronis seperti skizofrenia dan bipolar, rentan melupakan pribadi nya termasuk kepercayaan agama mereka sendiri.
Mereka yang terkena penyakit gangguan kejiwaan ini biasanya didasari oleh faktor kesalahan pada saraf maupun mentalnya. “Banyak sekali faktor maupun penyebab orang-orang terkena penyakit ini, baik itu dari faktor gen hingga lingkungan sekali pun yang sangat berpengaruh,” ujar Herlina Agustin sebagai salah satu aktivis ODGJ saat diwawancarai melalui Whatsapp pada Kamis (28/05).
ADVERTISEMENT
Beragamnya faktor penyebab ini pun kini ditambah dengan keadaan pandemi seperti sekarang. Ahli psikologi yang masuk ke dalam satuan gugus tugas khusus di Ternate bernama Riri, menanggapi bahwasanya pola kehidupan sehari-hari yang berubah akibat wabah COVID-19 dapat memicu tingkat depresi dan tekanan psikologis seseorang.
Hal ini yang membuat keprihatinan akan seorang ODGJ semakin bertambah, ketika mereka tidak bisa menjalankan kehidupan normal nya, hingga melupakan identitas serta kepercayaan yang dianutnya. Saat itu lah momen penyuluhan dan mendukung mereka untuk kembali seperti sedia kala sangat dibutuhkan.
Penyuluhan Kegiatan Keagamaan
Sudah jelas bahwa orang yang terkena penyakit gangguan psikis atau mentalnya apalagi saat mereka sudah mencapai tahap kronis, seluruh kegiatannya tidak bisa berjalan normal sebab mereka sendiri juga tidak bisa mengendalikannya dan membutuhkan pendamping khusus untuk itu.
ADVERTISEMENT
“Sudah pasti semua kegiatan mereka terhalang, termasuk di hari raya lebaran ini, mereka tidak ikut menyambutnya, tidak bisa mengikuti Salat Id, sehingga dimaklumi saja karena mereka juga membutuhkan penyembuhannya terlebih dahulu,” pungkas Herlina.
Namun, untuk penyembuhannya dan untuk mengembalikan mereka ke kehidupan semula juga tidak berjalan secara instan. Gema Gumelar, ahli psikologi dan pendiri Organisasi RUMALA Peduli Skizofrenia, mengungkapkan bahwa ada beberapa tahap penyuluhan untuk membangun jati diri mereka, para pasien terjangkit gangguan mental atau jiwa ini.
“Sebenarnya gangguan jiwa ini ada dua jenis. Pertama, mereka yang masih bisa mengenali dirinya karena gejala nya tidak terlalu berat. Lalu, ada juga dari mereka yang berada di puncaknya, seperti skizofrenia, bipolar tipe 1, dan lainnya,” ujar Gema melalui sambungan telepon pada Senin (01/06).
ADVERTISEMENT
“Kemudian untuk penyuluhannya sendiri, biasanya akan diberi terapi obat atau psiko farmaka terlebih dahulu, melalui terapi obat mereka akan berangsur-angsur pulih sekitar 40%. Setelah itu mereka akan pelan-pelan diberi terapi psiko sosial yang di dalamnya mencakup edukasi kegiatan keagamaan atau terapi spiritual.” lanjut Gema.
Edukasi keagamaan ini menjadi poin yang sangat penting bagi para penderita gangguan jiwa. Hal ini juga dikemukakan oleh organisasi internasional World Health Organization atau WHO, yang menyatakan jika dimensi agama masuk ke dalam salah satu dari empat pokok utama kesehatan seseorang.
Dari hasil riset penelitian kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengenai pembinaan spiritual dan pengaruhnya terhadap pasien simtom skizofrenia, berdoa dan berzikir mampu membantu pasien tersebut untuk membangun rasa percaya diri mereka serta harapan bagi mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, hal ini juga sudah ditinjau dari ilmu kedokteran atau dunia medis jika cara ini masuk ke dalam terapi psikiatrik, terapi ini merupakan satu tingkat lebih tinggi dari psikoterapi pada umumnya.
Melalui jenis terapi keagamaan atau spiritual ini, jelas berbeda penanganannya di setiap kepercayaan agama yang dianut. Di agama islam sendiri, mereka akan diberi pengetahuan mengenai ayat Al-Qur’an, nasihat baik, pengajaran hikmah, serta pencucian diri. Di mana nantinya, mereka berangsur pulih dan bisa mengikuti kegiatan rohani seperti sedia kala, salah satu nya berpuasa dan dapat merayakan hari raya lebaran yang selalu ada tiap tahunnya.
Siapa yang Seharusnya Menjadi Pendukung Mereka?
Isu kesehatan mental ataupun penyakit gangguan jiwa selalu menjadi isu yang tidak asing di kalangan masyarakat, banyak dari mereka yang kerap kali membahas nya tetapi cenderung membuat stigma buruk bagi para pengidapnya.
ADVERTISEMENT
Melansir dari Tirto.id, sampai saat ini sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat tentang bagaimana menangani orang dengan gangguan jiwa ini masih sangat minim, padahal prevalensi akan masyarakat Indonesia yang terkena gangguan mental ini sebesar 6 persen. Pernyataan ini yang membuka wawasan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab dan berperan besar akan kesembuhan para pasiennya.
“Seharusnya, kita sebagai manusia yang tidak mengidap penyakit tersebut bisa lebih mengerti akan keadaan mereka. Mereka ini ‘kan orang sakit, nggak bisa jadi apa yang kita mau, sehingga care-giver atau orang yang bertanggung jawab akan pasien ODGJ seperti keluarga, sahabat, dan pasangan menjadi peran yang bersedia untuk mendengar dan membantu kesembuhan pasien ODGJ ini.” ungkap Herlina Agustin.
ADVERTISEMENT
Kemudian datang argumen, bagaimana menangani para pasien ODGJ ini yang tidak didukung oleh para keluarga untuk kesembuhannya atau dalam arti lainnya keluarga nya cukup memberikan toxic environment atau lingkungan toxic.
“Maka dari itu, tak hanya pasien nya aja yang diterapi, keluarga pun juga dianjurkan untuk mengikuti terapi atau family therapy agar terhindar dari lingkungan yang kurang supportive ini. Karena, bagaimanapun juga keluarga tetap berperan penting di dalam kasus gangguan kejiwaan.” tukas Gema Gumelar.
Beliau juga menyampaikan, selama Ia menjadi psikolog dan terjun ke lapangan untuk menangani kasus-kasus gangguan mental atau jiwa, serta dibantu dengan dukungan keluarga pasien. Kini, para pasien tersebut sudah bisa mencapai tahap keberfungsian sosial dan keberfungsian dalam bekerja atau okupasionalnya.
ADVERTISEMENT
Adanya hasil positif yang diciptakan ini bisa menjadi sebuah refleksi dan pengembangan sosialisasi bagi masyarakat awam yang masih kurang pengetahuannya dalam membantu para pasien penderita gangguan jiwa. Bukan saja didukung dari pihak tenaga medis, namun lingkungan masyarakat, organisasi pendukung, serta pemerintah juga ikut andil di dalamnya.