Konten dari Pengguna

Politik Dinasti: Kekuasaan Hanya dimiliki Segelintir Orang?

Balqis Tsany Putri
Mahasiswa Ilmu Komunikasi S1 Universitas Brawijaya
6 Oktober 2024 9:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balqis Tsany Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Politik Dinasti Jokowi menjadi sorotan dan memicu dampak demokrasi di Indonesia. (Image: Balqis Tsany, dibuat melalui Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Politik Dinasti Jokowi menjadi sorotan dan memicu dampak demokrasi di Indonesia. (Image: Balqis Tsany, dibuat melalui Canva)
ADVERTISEMENT
Belakangan ini politik di Indonesia sedang menjadi perbincangan hangat karena politik dinasti. Fenomena ini kembali muncul seiring dengan adanya keterlibatan keluarga Presiden Joko Widodo di kancah politik. Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden RI, menantunya Bobby Nasution akan maju pada Pilkada 2024 sebagai Gubernur Sumatera Utara, dan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI, yang berencana untuk mencalonkan diri di Pilkada 2024, namun ia mengurungkan niat tersebut dan masih memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo. Keterlibatan mereka ini tidak hanya menarik perhatian masyarakat lokal, namun juga pengamat politik dan pengamat internasional serta memicu diskusi mengenai dampak politik dinasti terhadap demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara, politik dinasti dipandang sebagai bentuk pelestarian kekuasaan yang menyebabkan posisi strategis dan politik pemerintahan didominasi oleh segelintir keluarga tertentu. Contohnya di Filipina, Ferdinand Marcos Jr., yang saat ini menjabat sebagai presiden, adalah putra dari Ferdinand Marcos Sr. yang memimpin negara dari tahun 1965 hingga 1986. Selain itu, di Amerika Serikat juga ada praktik politik dinasti, seperti Benjamin Harrison presiden ke-23 merupakan cucu William Henry Harrison presiden ke-9 AS dan James Madison presiden ke-4 adalah sepupu Zachary Taylor presiden ke-12. Di Indonesia juga muncul pertanyaan besar: Apakah kekuasaan hanya milik segelintir orang?

Antara Kewajaran dan Risiko Demokrasi

Menurut beberapa partai politik, partisipasi keluarga dalam politik dianggap sebagai hal yang wajar, asalkan prosedur demokrasi mereka ikuti dengan benar, seperti pemilihan umum yang berasaskan luber jurdil. Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, misalnya, mereka meraih jabatannya melalui pemilihan yang sah. Argumentasi ini didukung oleh asumsi bahwa tidak ada salahnya seorang individu memiliki hubungan keluarga dengan petahana, selama ia mempunyai kemampuan, kompetensi, dan dukungan masyarakat. Namun disisi lain, kekhawatiran serius juga diungkapkan oleh para pengamat politik dan pakar hukum tata negara. Mereka memandang politik dinasti sebagai ancaman terhadap prinsip dasar meritokrasi, yakni individu dapat memperoleh kekuasaan dan kesempatan untuk memiliki jabatan atau memimpin berdasarkan kemampuannya, bukan karena hubungan keluarga. Maka dari itu, adanya dominasi keluarga dalam politik ini dapat menghalangi munculnya pemimpin-pemimpin baru yang kompeten, sehingga dapat mengurangi peluang bagi masyarakat luas untuk berpartisipasi aktif dalam politik, karena kekuasaan tampaknya hanya berputar di kalangan kelompok tertentu saja. Praktik ini juga dapat membatasi akses masyarakat di luar lingkaran elite politik untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT

Politik Dinasti di Indonesia Sudah Ada Sejak Dulu

Sesungguhnya, politik dinasti bukanlah fenomena yang baru di Indonesia. Di berbagai daerah, banyak pemimpin daerah yang terpilih merupakan bagian dari keluarga elite politik. Hal ini sering terjadi ketika seorang politisi lama menggunakan pengaruhnya untuk membantu anggota keluarganya agar terpilih dan dapat menduduki posisi strategis lainnya, baik lokal maupun nasional. Contoh yang paling terkenal adalah keluarga Soekarno, dimana Megawati Soekarnoputri, putri presiden pertama Indonesia itu pernah menjadi presiden RI ke-5. Tidak hanya itu, Siti Hardiyanti Rukmana, putri dari Presiden Soeharto juga diangkat langsung oleh Soeharto untuk menduduki jabatan strategis sebagai Menteri Sosial.
Namun kritik terhadap politik dinasti semakin kuat ketika masyarakat melihat pola kekuasaan yang terpusat pada beberapa keluarga tertentu. Di era reformasi, harapan bahwa demokrasi akan menciptakan persaingan politik yang lebih terbuka dan inklusif semakin terkikis oleh masih adanya kecenderungan politik dinasti. Ada kekhawatiran yang semakin besar bahwa politik dinasti akan melemahkan dan merusak esensi demokrasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Yoes C. Kenawas, kandidat doktor Ilmu Politik di Northwestern University, mengatakan bahwa fenomena politik dinasti di Indonesia pada tahun 2015 hingga 2020 mengalami peningkatan yang signifikan. Jika pada tahun 2015 terdapat 52 calon kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga dengan pertahana, maka pada tahun 2020 terdapat 158 ​​calon yang memiliki ikatan atau hubungan dengan elite politik. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena politik dinasti semakin marak terjadi di banyak wilayah di Indonesia.

Dampak Politik Dinasti terhadap Demokrasi di Indonesia

Ada beberapa alasan mengapa politik dinasti dianggap berbahaya bagi demokrasi. Pertama, ketika kekuasaan politik hanya terpusat pada suatu keluarga tertentu, maka hal ini dapat mengurangi ruang bagi individu lain yang berkompeten untuk memasuki kancah politik. Fenomena ini membuat proses demokrasi tampak tidak kompetitif, karena pesaing politik di luar lingkaran keluarga elite merasa peluangnya lebih kecil.
ADVERTISEMENT
Kedua, politik dinasti juga dapat mendorong nepotisme dan korupsi. Dalam Pasal 1 ayat 5 UU No. 28 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.” Dengan adanya perputaran kekuasaan di keluarga, terdapat risiko terabaikannya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Ketika anggota keluarga saling mendukung dalam dunia politik, mereka cenderung mengutamakan loyalitas dibandingkan kompetensi. Hal ini dapat menimbulkan pengambilan keputusan yang tidak bertanggung jawab, yang pada akhirnya dapat merugikan kepentingan masyarakat. Adapun pasal yang melarang perbuatan nepotisme dan korupsi yakni dalam Pasal 5 ayat 4 UU No. 28 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”. Pasal-pasal tersebut sudah sangat jelas bahwa penyelenggara negara baik itu yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sebagaimana amanat Pasal 1 ayat 1 UU No. 28 Tahun 1999, untuk tidak melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
ADVERTISEMENT

Sudut Pandang Pengamat Politik dan Hukum

Beberapa pakar hukum tata negara dan pengamat politik menyatakan kekhawatirannya terhadap perkembangan politik dinasti di Indonesia. Berfokus pada politik dinasti yang terjadi pada era Jokowi, Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut Mahkama Konstitusi melanggengkan politik dinasti dengan putusannya pada perkara pengadilan mengenai batasan usia calon presiden dan wakil presiden. Sebab, menurutnya, keputusan tersebut sangat memenuhi kepentingan putra Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming untuk maju di Pemilu 2024. Menurutnya, hal ini lebih parah dari era Orde Baru.
Sementara itu, Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mengatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai batasan usia calon presiden dan wakil presiden membuka pintu kesempurnaan kebijakan pada dinasti politik Jokowi. Ia beranggapan keputusan MK tersebut menguntungkan seluruh kepala daerah atau mantan kepala daerah. Namun, untuk pemilu 2024 yang paling diuntungkan adalah Gibran.
ADVERTISEMENT
Perhatian terhadap politik dinasti di Indonesia juga datang dari media internasional yang telah mengamati bagaimana praktik dinasti ini berkembang. Menurut media Jerman Handesbaltt, “pencalonan Gibran saat itu dipandang sebagai bentuk politik dinasti yang merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia,” kata Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis.

Kesimpulan: Haruskah Politik Dinasti Dibatasi?

Meskipun tidak ilegal, politik dinasti masih menjadi perdebatan serius di negara-negara demokratis seperti Indonesia. Praktik ini dapat membatasi akses politik bagi mereka yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan dengan elite politik, serta dapat menimbulkan korupsi dan nepotisme. Untuk menjaga integritas ataupun esensi demokrasi, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk merespons politik dinasti dengan lebih kritis lagi.
Kekuasaan seharusnya tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang atau keluarga tertentu saja. Melainkan, demokrasi juga harus mendorong persaingan yang adil dan terbuka bagi semua orang yang memiliki kemampuan dan integritas untuk memimpin. Indonesia perlu mempertimbangkan reformasi yang lebih ketat untuk mencegah politik dinasti yang semakin membatasi peluang bagi generasi pemimpin baru yang kompeten dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT