Konten dari Pengguna

Akal dan Negara Dalam Perspektif Al-Farabi

Balya Ziaulhaq Achmadin
Editor at the Journal Mutaallim and Postgraduate School Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
20 Maret 2021 16:53 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Balya Ziaulhaq Achmadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi gambar Al-Farabi
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi gambar Al-Farabi
ADVERTISEMENT
Akal dan Negara Dalam Perspektif Al-Farabi
Sketsa Historis Al-Farabi
Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan Al-Farabi. Julukan Al-Farabi berasal dari kota Farab yang tidak lain adalah tempat kelahiran beliau tepatnya di desa Wasij, kota Farab (Transoxania) pada tahun 257 H / 870 M. Menurut sumber yang saya dapat, beliau berasal dari Turki dan putra seorang jenderal yang cukup berpengaruh. Ayah beliau merupakan orang Iran yang memperistri wanita / ibu dari Al-Farabi yang berasal dari Turkestan. Orang tua Al-Farabi merupakan Opsir yang mengabdi pada Dinasti Samaniyyah. Berbeda dengan Al-Kindi yang merupakan putra dari Gubernur Kuffah atau Ibnu Sina yang ayahnya sebagai birokrasi pada masa Dinasti Samaniyyah. Maka dari itu AL-Farabi tidak masuk dalam tataran katib atau dapat diartikan yang memiliki pengaruh besar pada masa keimperiuman Abasiyyah waktu itu.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang diperoleh Al-Farabi pada awal, beliau mempelajari dasar-dasar ilmu agama Islam dan bahasa, kemudian beliau juga mempelajari ilmu hitung dan filsafat. Sejak kecil hingga dewasa beliau kental akan dunia keilmuan, bahkan sampai melakukan perjalanan berpindah-pindah dalam mendalami ilmu-ilmu yang lain. Al-Farabi pernah memperdalam ilmu Islam di daerah Bukhara, terus dalam perjalannya juga pernah singgah di Marw. Pada saat di Marw inilah Al-Farabi mempelajari ilmu logika / ilmu mantiq kepada orang Kristen yang bernama Yuhanna Ibn Hailan.
Dalam perjalanan menggeluti dunia keilmuan, Al-Farabi pernah menjabat sebagai Qadhi atau Hakim. Dari kota kelahirannya Al-Farabi berpindah ke Baghdad yang pada waktu itu merupakan pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Beliau tinggal di Baghdad selama 20 tahun yang pada masa tersebut menimba ilmu kepada Abu Bisr Matta ibn Yunus seorang penerjemah kala itu. Kemudian beliau melanjutkan pengembaraannya memperdalam ilmu dengan pergi ke Aleppo, pada saat di Aleppo beliau terkhusus memperdalam ilmu pengetahuan dan ilmu filsafat. Pada masa kekuasaan Al-Muqtadir pada tahun 908-932 M Al-Farabi keluar dari kota Baghdad menuju Kontantinopel, dalam riwayatnya disebutkan ia memperlajari seluruh seluk beluk ilmu Filsafat dan tinggal kurang lebih 8 tahun. Banyak bahasa yang dikuasai oleh AL-Farabi antara lain, yaitu : bahasa Iran, Turkestan, Kurdistan, bahkan menurut riwayat Ibn Khalikan Al-Farabi menguasai 70 Bahasa. Menurut sumber yang saya dapat Al-Farabi wafat pada tahun 950 M di Aleppo, ada sebagian yang menyebutkan Al-Farabi wafat di Damaskus.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan perkembangan ilmu Filsafat masa itu memang Al-Kindi lebih dulu memulai mempelajari filsafat Yunani dalam Islam, akan tetapi dia tidak menciptakan sistem sendiri. Berbeda dengan Al-Farabi yang bisa memunculkan sistem sendiri secara penuh sehingga ia dapat lebih leluasa dalam peranan perkembangan dalam Islam, oleh karena itu Al-Farabi dijuluki guru kedua yang merupakan kelanjutakn dari tokoh Aristoteles yang sebagai guru pertama ilmu filsafat. Kemudian juga Al-Farabi pernah menjadi guru dari Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan tokoh filosoh lainnya.
Filsafat Emanasi Al-Farabi
Dalam teori filsafat emanasi Al-Farabi mengupas secara detail tentang bagaimana yang dapat timbul dari Yang Esa. Tuhan memiliki sifat Maha Esa, tidak berubah, Maha Sempurna, tidak berhajat apapun, jauh dari materi. Bila seperti itu hakikat Tuhan, lantas bagaimana dengan peristiwa terjadinya alam ini yang berasal dari Yang Esa.
ADVERTISEMENT
Al-Farabi berpendapat bahwa tuhan merupakan akal pikiran yang bukan berwujud materi ataupun benda. Maka dari itu segala sesuatu yang muncul itu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan memiliki wujud awal (al-wujud al-awwal) kemudian dengan daya pikir itu muncul wujud kedua (al-wujud al-sani) yang juga memiliki substansi. Dijelaskan pada akal pertama (al-‘aql al-awwal) tidak berifat materi (jauhar ghair mutajassim asl wa la fi madah). Dalam penjelasan wujud kedua (al-‘aql al-sani) memaparkan berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran tersebut muncul wujud ketiga (al-wujud al-salis).
Mafthukin menjelaskan dalam bukunya, dari akal pertama atau wujud kedua itu berpikir mengenai dirinya, dari situ maka memunculkan langit pertama (al-sam’ al-ula). Kemudian wujud III / akal kedua ----- Tuhan = dirinya = Bintang-bintang (Al-Kaukab al-Sabitah),
ADVERTISEMENT
Wujud IV / akal ketiga ----- Tuhan = dirinya = Saturnus (Kurrah al-Zuhal),
Wujud V / akal keempat ----- Tuhan = dirinya = Jupiter (Kurrah al-Mustasytara),
Wujud VI / akal kelima ----- Tuhan = dirinya = Mars (Kurrah al-Mirrih),
Wujud VII / akal keenam ----- Tuhan = dirinya = Matahari (Kurrah al-Syams),
Wujud VIII / akal ketujuh ----- Tuhan = dirinya = Venus (Kurrah al-Zahrah),
Wujud IX /akal kedelapan ----- Tuhan = dirinya = Mercury (Kurrah al-‘itar),
Wujud X / akal kesembilan ----- Tuhan = dirinya = Bulan (Kurrah al-Qamar).
Pada pemikiran Wujud XI / akal kesepuluh, mandek dan dari sini timbul akal-akal. Namun pada akal kesepuluh tampaklah bumi serta ruh-ruh dan unsur pertama yang merupakan unsur utama yaitu : api, udara, tanah dan air. Penjelasan pada paragraf atas adalah sanggahan Al-Farabi terhadap opini dar Aristoteles yang menurutnya alam ini kekal. Sebene kurang jelas yang dimaksud Al-Farabi, sebagian peneliti beropini bahwa bagi Al-Farabi alam ini baru. De Boer menterjemahkan alam bagi Al-Farabi qadim atau tidak bermula. Intinya unsur asal dari alam yang memancarkan dari wujud Allah dan terjadi dari qidam.
ADVERTISEMENT
Akal Menurut Al-Farabi
Terdapat tiga kasta dalam daya pikir setiap manusia yakni, pertama akal potensial (al-aql al-hayuli) yang dalam bahasa Inggrisnya material intellect memiliki makna potensi dalam berpikir melepaskan dalam bentuk-bentuk atau arti-arti dari materinya. Akal potensial mengetahui bentuk dari benda-benda yang dapat dilihat oleh panca indera manusia. Kedua akal aktuil (al-‘aql bi al-fi’l), (actual intellect) adalah melepaskan arti-arti dari materinya, hampir mirip dengan akal potensial, namun perbedaannya adalah arti-arti dalam akal aktuil telah memiliki wujud dalam akal dengan realitas, yang bukan dalam bentuk potensi. Ketiga akal mustafad (al-‘aql al-mustafad), (acquired intellect), yang dapat menangkap bentuk semata-mata. Jika makna dari akal aktuil dapat menangkap arti-arti yang terlepas dari materi. Akal mustaqad dapat menangkap bentuk semata-mata. Bentuknya seperti akal kesepuluh pada penjelasan filsafat emanasi. Maftukhin dalam bukunya filsafat Islam menyebutkan, hubungan manusia dengan akal aktif sama halnya dengan hubungan antara mata dengan matahari. Mata melihat karena mendapat cahaya dari matahari. Akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari akal aktif.
ADVERTISEMENT
Filsafat Negara Al-Farabi
Pandangan Al-Farabi tentang sistem pengelolaan serta pemikiran akan negara di tulis pada karyanya yang berjudul Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah. Dalam ide yang dituangkan dalam karyanya, Al-Farabi cenderung di pengaruhi oleh pemikiran Plato dalam bukunya berjudul Republic. Persis dengan yang dikemukakan Plato dan Aristoteles, Al-Farabi mengungkapkan ”Bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat atau bernegara dengan tujuan di samping memenuhi kebutuhan pokok hidup juga mencapai kebahagiaan material dan spiritual dunia maupun akhirat”. Pendapat ini menunjukkan bahwa Al-Farabi memoles dengan sentuhan lebih Islami dari pandangan tokoh yang terkenal sebelumnya yaitu plato dan Aristoteles, kemudian ditambah dengan fokus masyarakat yang bersifat ukhrawi dari pembentukan kenegaraan.
Dalam bukunya berjudul Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah Al-Farabi menganalogikan negara seperti bagian tubuh yang saling melengkapi dan kerjasama dengan sesuai fungsinya masing-masing. Jantung adalah pemompa darah dan sebagai titik pusat penyuplai untuk organ lain agar tetap berfungsi. Hal ini pun sama dengan realita di kehidupan bermasyarakat dimana masyarakatnya mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dan harus bersimbiosis antar satu dengan lainnya. Dan bertugas sesuai dengan kapasitas masing-masing. Dalam pandangan Plato, ia membagi negara dalam 3 jenis yaitu, kepala negara, militer, dan rakyat miskin. Menurutnya keadilan dalam sebuah negara akan terbentuk jika dari ketiga jenis tersebut melaksanakan tugas sesuai kapasitas masing-masing dengan maksimal. Di sisi lain Al-Madinah al-Fadilah, terdapat Al-Madinah al-Jahiliyah yang berpandangan hidup mencari kesenangan lahiriyah. Selanjutnya terdapat juga Al-Madinah al-Fasiqah yang memiliki kemampuan dalam ilmu pengetahuan namun sama seperti Al-Madinah al-Jahiliyah yang berorientasi dalam kesenangan duniawi.
ADVERTISEMENT
Kemudian Al-Farabi beropini bahwa tidak sembarangan warga negara dapat menjadi kepala negara. Kepala negara hanya dapat dijabat oleh orang yang pada tataran yang tinggi dan sempurna yang dapat memimpin warga masyarakat di bawahnya. Menurutnya kepala negara semestinya harus ada terlebih dahulu, lalu selanjutnya dapat dibentuk negara beserta tata kelola di dalamnya. Seorang kepala negara tidak serta merta hanya mengatur kenegaraan, akan tetapi juga memiliki akhlakul karimah. Dan sifat pemimpin haruslah mencontoh dan memiliki sifat-sifat Rasulullah yang merupakan figur pemimpim terbaik. Al-Farrabi juga mengemukakan syarat bagi seorang kepala negara antara lain yaitu, sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pemahaman dan kecerdasan yang tinggi, mahir dalam menyampaikan gagasan atau pendapat dan mudah di mengerti, menyukai akan kejujuran, keilmuan dan pendidikan, berbudi pekerti luhur, berjiwa besar, tidak rakus makanan, minuman bahkan wanita, tidak memandang penting kesenangan duniawi, adil dan menjauhi perbuatan yang dilarang, yang terakhir adalah memiliki pendirian yang teguh. Namun Al-Farabi juga menambahkan syarat lagi yaitu seorang kepala negara dapat naik pada akal fa’al (akal aktif). Dari syarat tersebut mengindikasikan seorang kepala negara memiliki kemampuan mendidik kemudian menggiring rakyatnya menuju jalan yang haq yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
ADVERTISEMENT
Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi seorang tokoh filsafat muslim yang mempunyai karya yang penting dalam bidang keilmuan yang ditekuninya. Osman Bakar menyebutkan, karya Al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang terkenal di dunia pada abad pertengahan, namun terdapat pengecualian pada bidang kedokteran. Karya Al-Farabi disebutkan lebih dari seratus karya. Beliau menuliskan karyanya dalam bahasa Arab dan ditulis ketika berada di Baghdad dan Damaskus.
Diantara karya-karyanya yang terkenal adalah sebagai berikut, yaitu : 1). Al-Jami’u Baina Ra’ya al-Hakimain Aflatoni al-Hahiy wa Aristhothails, dalam buku ini membahas penggabungan antara pendapat Plato dan Aristoteles, 2). Risalah Tahsilu al-Sa’adah berisi tentang mencari kebahagiaan, 3). Al-Suyasatu al-Madinah tentang politik pemerintahan, 4). Fususu al-Taram hakekat kebenaran, 5). Aroo’u Ahli al-Madinah al-Fadilah Pemikiran utama pemerintahan, 6). Al-Siyasah ilmu politik, 7). Fi Ma’ani al-Aqli, 8). Ihsho’u al-Ulum kumpulan berbagai ilmu, 9). Maqalah fi Ma’ani al-Aql, 10). Al-Tawti’ah fi al-Mantiq.
ADVERTISEMENT
Diatas merupakan segelintir dari karya AL-Farabi. Kemudian dalam rangka menyebarkan pemikiran Al-Farabi, karyanya banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa Inggris, latin, Perancis, Almania, dll. Dapat disimpulkan bahwa pemikiran akan negara Al-Farabi memiliki kecenderungan kepada Plato, dan Al-Farabi memadukan antara filsafat dan agama yang tampak filsafat kenegarannya.
Daftar Pustaka
Aziz, Muhammad. “Tuhan Dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-Farabi” 10, no. 2 (2015): 62–91.
Dzulhadi, Qosim Nursheha. “Al-Farabi Dan Filsafat Kenabian.” Kalimah 12, no. 1 (2014): 123. https://doi.org/10.21111/klm.v12i1.222.
Mafthukin. Filsafat Islam, 2012, Yogyakarta: Teras.
Musthofa, Ahmad. Filsafat Islam, 2004, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Nasuiton, Harun. Teologi Islam, 1973, Jakarta: Universitas Indonesia.
Wawan Hermawan. “Konsep Negara Menurut Al-Farabi,” 1994, 1–7.
Wiyono, M. “Pemikiran Filsafat Al-Farabi.” Substantia 18, no. 1 (2016): 67–80. http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/167/144.
ADVERTISEMENT