Anjay: Saik Makna Kontekstualnya, Cuy

Bambang Kaswanti
Guru besar linguistik di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Selengkapnya: http://bit.ly/2veGAfu
Konten dari Pengguna
3 September 2020 13:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Kaswanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kata <anjay> lagi naik daun. Dibahas terus-terusan, meluas pula ke mana-mana, terutama di dunia maya. Ini menyulut pertanyaan mengapa sampai jadi sebegitu menggebu-gebu kata ini dikupas. Mengapa sampai muncul imbauan kata itu dilarang digunakan, bahkan ditakut-takuti dengan kemungkinan penggunanya bisa dipidana?
ADVERTISEMENT
Kata itu dianggap sebagai kata kasar karena berasal dari kata <anjing> yang – tidak selalu – tetapi dapat digunakan sebagai kata umpatan. Mengapa mengumpat dipersoalkan? Apakah tidak ada di antara kita yang tidak pernah mengumpat satu kali pun sepanjang hidupnya? Tidak wajarkah sekali-sekali muncul rasa kesal, sebal, marah dan yang semacamnya, lalu sontak tergerak terucap suara, yang belum tentu berupa kata? Mengapa luapan emosi itu tidak disalurkan melalui bahasa? Bukankah lebih sehat secara psikis kalau emosi negatif itu dibukakan saluran jalur keluarnya? Mana yang lebih menyehatkan dan tidak merugikan diri di antara dua jalur pelampiasan ini, misalnya, antarkelompok anak muda di sekolah, terpicu oleh rasa amarah yang tinggi, lalu berbaku hantam, saling melempar batu – bertindak dengan kekerasan atau beradu emosi dengan bahasa?
ADVERTISEMENT
Namun, benarkah kata <anjay> itu lebih banyak kali dipakai untuk mengumpat? Kalau, misalnya, mendadak tak tertahankan diri lalu mengumpat – sekasar-kasarnya -- supaya tersakiti hati orang yang kita curahi umpatan itu, mana yang dipilih: <anjay> atau <anjing>? Jawabannya jelas, tetapi mengapa justru <anjay> yang dipersoalkan sampai dikriminalisasi? Kata <anjing> sama-sama ada dipakai di sekitar kita dan bukankah kata <anjing> sudah lebih dulu beredar dalam berbahasa, lebih luas bahkan sudah jauh sebelum anak muda berkreasi menciptakan bentukan baru <anjay>? Mengapa <anjing> sebagai kata umpatan aman-aman saja, tidak merebak dalam perbincangan di mana-mana? Perlakuan adilkah ini?
Mengapa pula yang dipercaturkan adalah <anjay> sebagai kata, bukan pemakaian kata itu dalam bertutur? Kata itu di dalam kalimat – saat dituturkan – barulah gamblang apa makna kontekstual yang terkandung. Bukankah dalam bertutur, maksud penutur memakai kata tergantung pada konteks komunikasi: siapa dan kepada siapa dituturkan, di mana, kapan, dalam topik apa, bagaimana kadar keeratan hubungan satu sama lain?
ADVERTISEMENT
Makna kontekstual kata tidak selalu sama persis dengan makna kata sebagaimana itu diuraikan di dalam kamus. Urusan kamus hanyalah sebatas menjelaskan pelbagai kemungkinan makna kata. Itu pun belum tentu semua kemungkinan makna terekam di dalam kamus. Oleh karena itu, kamus perlu diperbaiki dari waktu ke waktu. Makin banyak jumlah edisi terbitnya makin tinggi mutu sebuah kamus.
Pun pula, makna kata yang tercetak di dalam kamus tidak layak pakai sebagai rujukan dalam perkara pengadilan. Kamus bukan satu-satunya penjelas makna kata secara pas. Bagaimana dengan makna kata yang sampai terlewat belum terekam dan belum jelas teruraikan dalam kamus edisi yang mutakhir pun? Lagi pula, akan dapat tuntaskah makna kata terjelaskan? Bukankah bukan sering terjadi laju komunikasi terhenti gara-gara diselai permintaan penjelasan makna kata? Betapa tidak gampangnya upaya untuk menjelaskannya?
ADVERTISEMENT
Bagaimana pula dengan makna kontekstual, makna sebagaimana digunakan dalam pelbagai tindak komunikasi, yang tak terhitung jumlahnya? Bukankah – saat berkomunikasi – tak terhindar kemungkinan salah mengerti dalam menangkap maksud si penutur? Lalu, bisa jadi timbul kesalahpahaman sehingga penuturnya terpacu memperjelas makna ucapannya? Bukankah penjelasannya pun belum tentu diterima, bisa berpeluang bahkan berkembang menjadi pertikaian?
Makna kontekstual mustahil terekam di dalam kamus karena tak terbatasnya jumlah kemungkinannya dan tak teperhitungkan pelbagai kemungkinan maksud penutur dalam berkata-kata. Di dalam linguistik makna kata termasuk bidang semantik, makna kontekstual bidang pragmatik.
Sayang bahwa perbincangan <anjay> terbatas semata-mata pada ranah makna kata. Ulasannya pun lebih berlandas pada bidang semantik daripada pragmatik. Percaturannya di dunia maya sepanjang dan selama ini pun sangat minim – bahkan tak tertampilkan – contoh kalimatnya. Bagaimana bunyi kalimatnya kalau tujuan komunikasinya untuk mengumpat sampai sangat menyakiti hati kawan bicaranya? Sudahkah ada “korban” yang sampai mengadu karena tersakiti dalam-dalam hatinya gara-gara dikata-katai dengan <anjay>? Kalau pun ada, lebih banyak mana frekuensi penggunaan kata itu dibandingkan dengan makna yang berkebalikan dengan makna umpatan, seperti contoh berikut ini?
ADVERTISEMENT
Bukankah kata <anjay> sering sekali terdengar terucap antarsesama anak zaman sekarang saat, misalnya, menyampaikan pujian, atau tersentak melihat sesuatu yang mengagumkan, mengejutkan tetapi menyenangkan, sebagaimana terdapat pada contoh berikut?
anjir lu bagus banget mobilnya
A: Bro, si Bobi hapenya baru tuh!
B: Anjaaaaaay.. iphone 11 bro!
Mengkhawatirkankah pemakaian kata <anjir>, termasuk <anjaaaaay>, yang dieja dengan “melanggar” aturan EYD ini, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian generasi yang lebih senior, generasi “baby boomer”, atau yang diistilahkan “jadul” oleh kaum muda? Kekhawatiran seperti ini bisa jadi, belum sampai terdengar, tetapi sudah dibalas balik dengan tuturan, yang sayangnya berlum teterjemahkan ke dalam bahasa gaul: “OK boomer, kami memang beda maka perlu bahasa yang berbeda.”
ADVERTISEMENT
Bambang Kaswanti Purwo
Pemelajar Bahasa Gaul
Unika Atma Jaya