Mudik dan Pulang Kampung

Bambang Kaswanti
Guru besar linguistik di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Selengkapnya: http://bit.ly/2veGAfu
Konten dari Pengguna
4 Mei 2020 13:44 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Kaswanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas terkait antisipasi mudik Lebaran melalui telekonferensi bersama jajaran terkait dari Istana Kepresidenan Bogor. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas terkait antisipasi mudik Lebaran melalui telekonferensi bersama jajaran terkait dari Istana Kepresidenan Bogor. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr
ADVERTISEMENT
Setelah acara Mata Najwa 22 April 2020, yang berjudul “Jokowi Diuji Pandemi”, heboh cuitan di Twitter mengenai bagaimana memaknai mudik dan pulang kampung. Cuitan itu bertolak dari cuplikan Presiden Jokowi, menanggapi pernyataan Mata Najwa tentang telah kaburnya satu juta orang meninggalkan Jakarta sebelum larangan mudik efektif 24 April: “Kalau itu bukan mudik, namanya pulang kampung.”
ADVERTISEMENT
Tanggapan yang serta-merta muncul, sebagai penutur bahasa Indonesia, adalah bahwa pemaknaan seperti itu tidaklah benar. Kedua istilah itu bersinonim. Lalu, kamus bahasa Indonesia diserbu menjadi tumpuan untuk melacak bagaimana makna kedua istilah itu. Ternyata kamus memang menjelaskan keduanya dengan makna yang bersinonim. Serta-merta cuplikan dari kamus bahasa Indonesia tentang pemaknaan kedua istilah itu pun bermunculan.
Banyak di antara mereka yang, sekalipun jarang membuka kamus bahasa Indonesia, tergerak untuk membuka, membaca, dan bahkan berbagi di dunia maya hasil pelacakan di kamus itu. Maka menjadi tersebarlah ke mana-mana cuplikan kamus tentang kedua istilah itu sehingga mereka yang belum sempat melacak ke kamus pun sekurang-kurangnya ikut membaca tentang bagaimana kamus menguraikan makna kata.
ADVERTISEMENT
Kejutan yang membahagiakan: ini sumbangan nyata dari Mata Najwa – mendukung imbauan dari guru bahasa Indonesia – dalam menggerakkan generasi muda penutur bahasa Indonesia memperdalam pengetahuannya mengenai bahasa Indonesia dengan memanfaatkan kamus. Tanpa disulut oleh diskusi di Mata Najwa itu belum tentu mereka tersemangati untuk – atas prakarsa sendiri – bercepat-cepat membuka kamus, mencari bukti pembenaran terhadap pengetahuan mereka tentang kata yang bersinonim. Kedua istilah yang diangkat di Mata Najwa itu benar sama makna dan memang di dalam kamus terdapat kata-kata yang bersinonim, antara lain, telah dan sudah, bantu dan tolong.
Penyamaan makna mudik dan pulang kampung, setelah mendapat konfirmasi pembenaran dari kamus, lalu dijadikanlah bahan pijakan untuk beramai-ramai melancarkan serangan ke Presiden Jokowi bahwa beliau salah dalam memaknai kedua istilah itu.
ADVERTISEMENT
Namun, dapat dipertanyakan benarkah kata-kata yang bersinonim itu seratus persen sama makna? Di dalam bahasa tidak ada dua kata atau lebih – meskipun dinyatakan bersinonim di dalam kamus – yang benar-benar persis sama makna seratus persen, saat digunakan di dalam berkalimat, di dalam konteks berkomunikasi.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi ketiga (2005) tercatat bahwa bantu (hlm. 105) sama dengan tolong dan tolong (hlm. 1204) sama dengan bantu. Kamus Indonesia-Inggris (KIE) Edisi Ketiga (1992) John M. Echols dan Hassan Shadily pun mencatat kesamaan makna membantu (hlm.51) dan menolong (hlm. 583): ‘help, aid, assist’. (Tempo 29 Oktober 2007) [https://majalah.tempo.co/read/bahasa/125438/pembantu-dari-rumah-tangga-sampai-presiden]
Kata membantu dan menolong dapat saling menggantikan pada kalimat Bisakah membantu/menolong saya? Tampak sama juga arti keduanya pada membantu sesama dan menolong sesama, atau pada Kami siap membantu/menolong kapan pun.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kalau seseorang yang berenang di laut dalam keadaan akan tenggelam berteriak di dalam bahasa Inggris, ”Help!”, bagaimana bahasa Indonesianya? Bukan ”Bantu!” melainkan ”Tolong!”.
Kembali dengan cuitan di Twitter – ada yang lain lagi – bagaimana dengan bukti yang ditayangkan seorang warganet (@mas_piyuu, 23 April 2020) yang menampilkan data bahwa Presiden Jokowi tidak konsisten dalam membedakan makna antara mudik dan pulang kampung? Oleh Presiden kedua istilah itu dipakai pada pernyataannya saat berlebaran 28 Juni 2017di Surakarta, bukan dengan makna yang berbeda, melainkan bersinonim:
“Seperti Anda yang pulang kampung Idul Fitri, saya pun mudik di hari kedua Lebaran. Saya pulang ke Solo untuk sungkem …”
Mengapa baru pada saat pandemi Covid-19 ini dan mengapa baru pada 22 April 2020 Presiden Jokowi menyatakan secara jelas-jelas bahwa kedua istilah itu berbeda makna?
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017 belum ada penutur bahasa Indonesia satu pun – termasuk mereka yang terlibat di dalam penyusunan kamus – yang menyadari betapa perlunya pembedaan makna pada kedua istilah itu; padahal, ketika itu, bahkan pada tahun-tahun sebelumnya, kedua istilah itu memang sudah memilki makna sendiri-sendiri. Untuk, misalnya, menyebutkan TKI yang kembali ke tanah air menuju ke tempat asalnya, kalimat yang digunakan bukan “mereka mudik”, melainkan “mereka pulang kampung”. Sebab, mereka kembali ke tempat asalnya bukan untuk berlebaran.
Memang ada yang sama, yaitu bahwa kedua istilah itu sama-sama berupa gerakan (atau perpindahan tempat) dari tempat bekerja sehari-hari menuju ke tempat asalnya (bisa tempat lahir, tempat dibesarkan, sebelum pindah ke tempat lain, untuk bekerja). Namun, rasa atau emosi, termasuk motivasi, untuk berpindah tempat itu berbeda.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sudah layak dan sepantasnyalah kita semua bersyukur bahwa Mata Najwa 22 April yang lalu membuka peluang bagi Presiden Jokowi membangkitkan kesadaran kita bersama perlunya secara tersurat membedakan mudik dengan pulang kampung. Sumbangan para warganet – yang bernada cercaan pun – menyemarakkan pesta pora pada hari-hari di sekitar terlahirkannya kesadaran bersama ini – kesadaran agar tidak menyamakan persis makna kedua istilah itu. Suasana pesta pora ini semoga menjadi pengingat bagi upaya pencantuman masing-masing kata itu, dengan makna yang berbeda, pada KBBI edisi berikutnya.
Bambang Kaswanti Purwo Guru Besar Linguistik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya