Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
NDESA: Apa Maknanya?
18 Juli 2017 22:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Bambang Kaswanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memaknai bahasa tidak bisa lepas konteks. Kalau mencoba-coba memaknai bahasa tanpa memperhitungkan konteksnya, itu istilah Jawanya <ngawur>. Kalau itu sampai terjadi – dan pemaknaan bahasa yang <ngawur> itu yang justru diterima secara resmi dan dianggap benar – maka itu berpeluang menuai korban orang yang tak bersalah diresmikan jadi bersalah. Menyedihkannya, ini sudah terjadi di negeri kita ini! Yang jelas sudah jatuh satu korban belum lama ini, dan bisa jadi (moga-moga tidak jadi) akan ada satu korban lagi.
ADVERTISEMENT
Maka mari kita cermati pemaknaan kata <ndesa> ini, dengan tidak mengabaikan konteks pemakaiannya dalam tindak komunikasi.
(1) Thukul Arwana wong ndesa.
(2) Thukul Arwana ndesa. (ini juga jadi judul lagu, kan ya?)
Ini baru dalam konteks (a) satu kalimat, belum konteks pemakaiannya dalam (b) tindak komunikasi. Kita bahas yang (a) saja, yang sederhana. Apa beda <ndesa> pada (1) dan (2) itu? Makna yang (1) ‘Thukul adalah orang yang berasal dari desa’ – ini fakta. Benar tidaknya ini kita bisa cari tahu ke ybs: lahir di mana, dibesarkan di mana, lama tinggal di mana. Makna yang (2) ‘Thukul berpenampilan, berperilaku “ndesa”’ – ini pendapat, bukan fakta. Benar tidaknya perlu argumen, perlu penjelasan. Orang bisa berbeda pendapat mengenai yang (2) ini, tetapi tidak demikian halnya mengenai pemaknaan pada yang (1).
ADVERTISEMENT
Berarti wilayah makna yang (2) ini bisa berbahaya. Beda pendapat membuka peluang untuk bertengkar dan pembenaran di antara versi argumen yang berbeda-beda itu bisa diperdebatkan, bahkan sampai ke pengadilan, kalau sampai dikait-kaitkan ke ranah politik.
Ketika Thukul memopularkan <ndesa> pada “Bukan Empat Mata”, itu membuat banyak orang terhibur. Semua tanpa kecuali sama reaksi: tertawa. Sebab, <ndesa> tidak dibawa-bawa ke ranah politik. Dan memang yang itu makna yang sebenarnya dari <ndesa>.
Kali ini (belum lama ini) lain, gara-gara muncul di vlog dan arahnya (mudah sekali tertebak) menuju ke ranah politik. Reaksi orang banyak yang muncul bukan terhibur dan tertawa-tawa seperti pada zamannya Thukul. Yang muncul upaya-upaya menjelaskan apa makna <ndesa> pada (2) itu. Ada yang langsung menyimpulkan – tanpa disertai penjelasan makna (berdasarkan konteks pemakaian bahasa). Tertebak arahnya, yaitu ke ranah politik: “penutur dan pengunggah di vlog itu diwacanakan berbuat kesalahan yang layak diperkarakan”.
ADVERTISEMENT
Sementara itu upaya pemaknaan kata itu beredar – juga di dunia maya – yang sesungguhnya tidak berbau politik, tetapi yang penjelasannya justru bisa dijadikan argumentasi bagi mereka yang berusaha membawa-bawa ke politik. Ini yang perlu dicermati, diarahkan, dan dikembalikan ke pemaknaan yang benar, seperti yang dirintis peredarannya oleh Thukul. Konteksnya adalah bahwa kata <ndesa> itu dipakai dalam suasana santai, akrab, bisa menimbulkan tertawa pada mereka yang mendengarnya dan tidak akan terjadi bahwa ada yang marah, termasuk pihak yang terkena sebutan <ndesa> itu.
Ini penjelasan makna yang perlu dicermati dan diluruskan itu: <ndesa> dipadankan maknanya dengan <kampungan>. Kedua kata itu diperlakukan bersinonim; padahal, <ndesa> tidak mungkin untuk dipadankan dengan satu kata dalam Bahasa Indonesia, apalagi dalam Bahasa Inggris. Celakanya, bagi penutur Indonesia yang tidak kenal Bahasa Jawa, akan melihat ke Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di KBBI hanya ada penjelasan mengenai <kampungan>, tidak ada mengenai <ndesa>. Tertera makna <kampungan>: ‘tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, kurang ajar’; padahal, ketiga butir makna ini sama sekali bukan makna kata <ndesa>. Orang yang dikatakan <ndesa>, seperti pada kalimat (2) di atas, tidak akan menjadi marah, tetapi kalau disebut <kampungan> akan naik pitam dan – lebih dari itu – bisa jadi perang.
ADVERTISEMENT
Ketika Presiden Jokowi, dalam posisi duduk berdampingan dengan Bu Iriana, diwawancara mengapa memilih Bu Iriana sebagai istri, jawabannya begini, dalam suasana santai, “Orangnya sederhana dan .... ndesa.” Semua yang di sekitar itu langsung tertawa, juga Bu Iriana, dan malah ia mencubit-cubit Pak Jokowi berkali-kali sambil keduanya tertawa-tawa cukup lama.
Tantangan kita bersama bagaimana mengajak seantero Nusantara untuk memaknai kata <ndesa>, kata pinjaman dari Bahasa Jawa ini, mengikuti apa yang sudah dirintis oleh Thukul dan jangan sampai bergeser ke yang belakangan ini direkayasa dengan mencomot kasus di vlog, yang – sesuai dengan forumnya – disajikan secara santai dan bisa untuk menghibur.
Catatan:
Sengaja di tulisan ini tidak dipakai ejaan <ndeso> , melainkan <ndesa> karena mengikuti ejaan resmi bahasa Jawa. Dalam Bahasa Jawa dibedakan antara <loro> ‘dua’ dan <lara> ‘sakit’. Ejaan <a> dapat diucapkan sebagai <a> pada <lara> dan <a> pada <ora> ‘tidak”. Seandainya mengikuti ejaan resmi ini, tidak akan sampai terjadi penulisan kata <rosa> menjadi <roso>, seperti pada iklan minuman energi yang dipopularkan oleh Mbah Maridjan. Pada kata <rosa> ‘kuat’ itu, <o> diucapkan seperti pada <loro>, sedangkan <a> diucapkan seperti pada <lara>.
ADVERTISEMENT
27 Okt 2010 - Roso! Roso! Jargon iklan minuman energi Kuku Bima Energi milik PT Sidomuncul lekat dengan sosok Mbah Maridjan sang juru kunci Gunung