RENUNGAN DI BULAN ULANG TAHUN KEMERDEKAAN AGUSTUS 2020

Bambang Kaswanti
Guru besar linguistik di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Selengkapnya: http://bit.ly/2veGAfu
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2020 14:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Kaswanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
oleh SDYT Ayah Tyaskristi
Pengantar (dari pengunggah)
Tulisan ini saya terima di WA japri dari Dr. Sudaryanto kemarin dan saya unggah ke Kumparan sepengetahuan penulisnya. Pencantuman nama penulisnya di sini mengikuti tradisi Jawa. Sebagai orang Jawa, yang sudah berkeluarga dan beranak, ia tidak lagi dipanggil “Sudaryanto”, nama pemberian orang tuanya setelah ia lahir dulu. “Nama panggilan”-nya mengikuti nama anak pertama: “ayah (dari) … [nama anak pertama]”.
ADVERTISEMENT
Dr. Sudaryanto adalah ahli bahasa yang disertasinya (Universitas Gadjah Mada, 1983) mengenai tipologi konstruksi Predikat-Objek dalam bandingannya dengan tipe-tipe bahasa di dunia. Di dalam tulisan ini ia mengajak kita -- menjelang ulang tahun kemerdekaan RI 2020 – untuk merenungkan tipe-tipe manusia (Jawa) Indonesia. Sesuai dengan “tingkat kehalusan akal budinya”, ada tiga kelompok: dhupak bujang, esem mantri, dan semu bupati.
Bambang Kaswanti
(1)
Perayaan di bulan kemerdekaan ke-75 ini, bagi mereka yang menyadari, sungguh2 istimewa. Betapa tidak. Dalam kondisi dan situasi wabah corona yang melanda seluruh dunia, terkukuhkan fakta bahwa bangsa Indonesia diperkenankan Tuhan masih ada; bulan Agustus 2020 ini juga merupakan momen syukur bagi siapa pun yang senantiasa masih cinta NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 45, dan Pancasila lewat periode kedua kepresidenan Jokowi--Jokowi yang dulu berprofesi tukang kayu hidup di pinggir kali dan kental dengan budaya Jawa.
ADVERTISEMENT
(2)
Mutiara budaya Jawa memperlihatkan adanya tiga kelompok manusia (jawa) sesuai dengan TINGKAT KEHALUSAN AKAL BUDI-nya. Dari (a) kelompok DHUPAK BUJANG, lantas (b) kelompok ÈSEM MANTRI, sampai (c) kelompok SEMU BUPATI. Kelompok (c) itulah yang layak menjadi panutan dan pemimpin.
(3)
Di tingkat (c) itu, Jokowi kini berada: memiliki kesanggupan BERENDAH HATI, MENGENDALI DIRI, dan BEREMBUG. Dengan kesanggupan itu, sanggup pulalah dia memilih jurus "katak rebus" dan sekaligus melaksanakan jurus itu dalam menghadapi lawan² dan mereka yang memusuhinya. Dengan ditempatkan atau bahkan menempatkan sendiri diri mereka di kuali "nyaman tak terusik" penuh air, si lawan² yang berkualitas katak itu be-renang² keenakan tanpa menyadari bahwa airnya sederajat demi sederajat pelan² dipanaskan sampai akhirnya si katak² itu pun harus "mati", atau setidaknya cuma melongo lumpuh tak berkutik karena sudah tak mampu lagi meloncat dari kuali yang makin "panas" itu. Dengan bahasa yang lebih lugas--tetapi tetap metaforis--mereka "dibiarkan" merana, dan kalau berteriak pun menyakitkan tenggorokannya sendiri, atau justru dipeluk dengan rangkulan maut.
ADVERTISEMENT
(4)
Apa pula yang dimaksud dengan DHUPAK BUJANG? [dhupak = depak, tendang]. Kelompok ini kemampuan mengertinya cenderung kuat pada apa yang dikenal LANGSUNG oleh panca inderanya saja, terutama yang dilihat dan didengar. Hanya bisa membaca apa yang jelas tersurat; tidak mampu memahami yang ada di balik itu. Sesuai dengan kadar kemampuannya yang semacam itu, kelompok DHUPAK BUJANG sama sekali tidak mengharamkan untuk berbuat kasar, cepat tersinggung lamban merenung. Lebih mengedepankan "okol" daripada "akal". Omong teriak bukan pantangan. Tak segan² membanggakan ucapan, perilaku, dan tindakan yang sesungguhnya justru memalukan. Sedikit² meminta, bahkan menuntut, pihak lain bertindak sebagaimana yang mereka kehendaki; sementara itu, mereka sendiri tidak sanggup memberi. Pihak lain itu bisa siapa pun, bahkan juga bisa Gusti Allah, dengan "doa" yang dipamerkan dan bernada menuntut harus terkabul (karena doanya dianggapnya sendiri doa yang terbaik).
ADVERTISEMENT
Adapun yang dimaksud dengan ÈSEM MANTRI adalah kelompok yang mampu pula melihat MAKNA yang terkandung dalam apa yang nampak. [Jadi, mampu memaknai "senyum" YANG DITAMPAKKAN seseorang karena tahu siapa yang senyum, di mana dan kapan senyum, serta dalam suasana apa senyum itu diperlihatkan]. Akal sehat dan rasa perasaan lebih banyak digunakan dalam menanggapi sesuatu.
Terakhir, yang dimaksud dengan SEMU BUPATI adalah kelompok yang mampu membaca MAKSUD pasemon, maksud dari apa yang tidak dikatakan tetapi hanya diungkapkan lewat lambang2 tertentu pada perilaku. Kelompok SEMU BUPATI inilah yang menjunjung makna NGRETI ing SEMU, TANGGAP ing SASMITA, ANGON WAYAH, EMPAN PAPAN, NGONO YA NGONO NING AJA NGONO, dan kearifan UNÈN² semacamnya.
ADVERTISEMENT
(5)
Sulitkah menjadi bagian dari kelompok (c) "semu bupati" itu? Sulit, memang; maka tidak setiap orang bisa. Kebanyakan dari kita, MESKIPUN KEDUDUKAN FORMAL-nya "Yang Mulia" atau "Yang Terhormat" tetapi dari ucapan²-nya dan tindakannya segera nampak bahwa mereka masih layak berada dalam tingkat (a) dhupak bujang; itu pun pada tingkat yang paling awal, sehingga mudah membuat kegaduhan mengaduk emosi yang memrihatinkan; hilang kesantunan; dan sebagaimana dikatakan di atas, diam² atau terbuka suka membanggakan ucapan dan tindakannya yang lepas dari akal sehat, yang sesungguhnya justru cukup memalukan.