Kasus Ahok Basuki: Runtuhnya Moralitas Hukum Kekuasaan?

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
17 Februari 2017 11:17 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ahok Gubernur (Foto: istimewa)
Pada beberapa hari belakangan ini ada gegeran, heboh berkepanjangan, dan berseliweran begitu banyak pernyataan maupun opini yang mempersoalkan kenapa Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Basuki atau Ahok), belum diberhentikan sementara kendati sudah dinyatakan sebagai terdakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP?
ADVERTISEMENT
Tentu saja, ada pro-kontra atas tidak diberhentikan sementaranya Basuki. Ada begitu banyak kolom opini dibuat oleh ahli hukum untuk menjelaskan masalah dan posisi hukumnya dengan berbagai alasan hukum sambil merujuk pada dasar hukum yang sebagian besarnya menggunakan Pasal 83 ayat (1) UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 83 ayat (1) UU dimaksud menyatakan “…Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun , tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”…”.
ADVERTISEMENT
Jika ingin lebih ditelisik lebih mendalam lagi, perdebatannya berkisar, apakah pasal yang didakwakan dapat dijadikan dasar hukum untuk pemberhentian sementara Basuki karena masuk dalam kualifikasi “… tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun …”.
Lebih spesifik lagi, ada 2 (dua) kosakata utama yang harus dikaji dengan sangat mendalam, yaitu: kesatu, diancam; dan kedua, paling singkat lima tahun.
Sebagian besar ahli hukum berpendapat, syarat pemberhentian sementara sudah terpenuhi sesuai Pasal 83 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah karena pasal itu crystal clear sehingga tak perlu diinterpretasi lagi; dan tentu saja, ada sebagian lainnya, menolak pemberhentian Basuki dengan alasan, diancam pidana penjara “… paling singkat lima tahun …” tidak sama dengan diancam pidana penjara “… selama-lamanya lima tahun …”.
ADVERTISEMENT
Selain kualifikasi kejahatan, apakah pasal 156a dan pasal 156 sudah memenuhi kualifikasi perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
Tulisan singkat ini hendak mengambil sudut pandangan lain. Teks harus berpijak pada konteks dan nilai moralitas hukum dari kekuasaan dalam proses penegakan hukum. Quid leges sine moribus atau apa artinya hukum atau perundangan tanpa disertai moralitas.
Dalam pengertian operasional, moralitas hukum dari kekuasaan hendak dimaknai sebagai pernyataan, sikap dan perbuatan dari kekuasaan, seyogyanya, konsisten dilakukan untuk menjaga public trust dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
Hal ini dilakukan agar perdebatan tekstual kian utuh untuk menilai, sejauh mana konsistensi penegakan hukum dan keadilan. Kita semua tidak ingin terjebak di dalam perdebatan berkepanjangan yang pada akhirnya hanya akan meninggikan tempat jatuhnya kehormatan dari kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Tjahjo Kumolo dalam kapasitasnya sebagai Menteri Dalam Negeri mewakili kepentingan kekuasaan. Karena itu, sebagian moralitas kekuasaan tercermin pada berbagai pernyataan dan sikap resminya.
Pada konteks ini, sudah begitu banyak pernyataan yang telah dikemukakan mengenai status Basuki. Pernyataan-pernyataan itu disampaikan melalui laman resmi Kementerian dalam Negeri dan media online lainnya.
Itu sebabnya amat menarik jika melihat dinamika pernyataan yang dikemukakan Mendagri untuk mengukur moralitas kekuasaan di dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum dan posisi rasa keadilan atas kasus yang dihadapi Basuki agar kewibawaan kekuasaan tetap berada dalam singgasana kehormatannya.
Pada awalnya Mendagri menyatakan akan memberhentikan Basuki begitu masa cutinya habis dan selesai. Hal ini sesuai pernyataannya “… Kalau kepala daerah dalam masa cuti, begitu cutinya habis maka akan kita berhentikan …”. Pernyataan itu diungkapkan di Jatinangor, Jumat (16/12). Pernyataan soal pemberhentian juga pernah disampaikan Desember tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut juga dikemukakan, seorang kepala daerah yang sedang menjalani persidangan atau ditahan akan dibebaskan sementara dari jabatannya. Tujuannya, kepala daerah tidak mengambil kebijakan dan dapat fokus menjalani persidangan. Itu artinya sikapnya sangat tegas: Basuki, selesai cuti akan diberhentikan sementara agar dapat fokus pada persidangan dan tidak mengambil kebijakan karena tersangkut masalah hukum.
Kemudian, pernyataannya agak berubah. Ketika ditanyakan soal pemberhentian Basuki, di suatu media online dikemukakan “… Dasarnya cuti sudah selesai. Yang kedua kami menunggu surat dari pengadilan negeri, registernya … maka dia diberhentikan tetap atau tidak dasarnya hukum …”.
Pernyataan itu dikemukakan tanggal 19 Desember 2016 di kampus UNJ, Rawamangun, Senin 19 Dec 2016, 12:28 WIB. Pernyataan ini sudah sudah agak berbeda dengan pendapat terdahulunya. Pemberhentian dilakukan, bukan hanya sekadar cuti sudah selesai tapi juga perlu menunggu surat register dari pengadilan negeri.
ADVERTISEMENT
Pada saat Basuki usai masa cuti, publik diberikan suatu pernyataan dengan nada tegas yang menyatakan “…Terkait Gubernur Ahok (Basuki Tjahja Purnama), Kemendagri menunggu tuntutan resmi JPU nantinya di persidangan. Kalau tuntutannya 5 tahun, ya kami berhentikan sementara, kalau di bawah 5 tahun tetap menjabat sampai putusan hukum tetap …”, (laman Kemendagri, Sabtu, 11 Pebruari 2017 18:16:29).
Ketegasan pernyataan Mendagri itu, kini, mensyaratkan, adanya tuntutan 5 (lima) tahun agar dapat memberhentikan sementara Basuki.
Untuk menguatkan konsistensinya dalam melaksanakan suatu perundangan dan menangkis tuduhan melakukan tindakan diskriminatif dalam melakukan pemberhentian sementara, Kemendagri acap kali mengajukan suatu contoh. “… selama ini saya putuskan sebagai Mendagri antara lain terkait kasus hukum Gubernur Gorontalo, kemarin tuntutan di bawah 5 tahun, dan tidak ditahan, maka tetap menjabat sampai inkcraht …”.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, hal ini terlihat sebagai suatu konsistensi dan di sebagiannya, menjadi tidak terbantahkan!
Ternyata, di dalam praktik tata pemerintahan yang dijalankan kekuasaan, ada fakta lain yang dilakukan Mendagri. Pendeknya, ada contoh berbeda dari yang bisa dikutip di atas yang juga pernah diambil kekuasaan sehingga ada pertanyaan, atas konsistensi sikap dan perilaku yang seharusnya dilakukan.
Andi Idris Syukur, Bupati Barru, ternyata, tidak pernah ditahan hingga divonis 4,5 tahun penjara, sekitar 22 Agustus 2016, dalam kasus dugaan pemerasan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait izin tambang di Kabupaten Barru, dalam sidang putusa di Pengadilan Tipikor Makassar.
Tapi faktanya, Andi Idris sudah diberhentikan sementara kendati tidak ditahan sejak tanggal 4 April 2016 lalu, ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah Sumarsono. Fakta ini dapat memunculkan sinyalemen, adanya tindakan diskriminatif dari kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Fakta atas putusan pemberhentian Andi Idris Syukur, Bupati Barru, menjelaskan dengan sangat tegas, Kemendagri tidak dapat lagi berlindung dan berselimut argumentasi, seolah memiliki sikap konsisten dengan menggunakan contoh Gorontalo.
Kini, untuk meminimalkan sinyalemen, meredam tudingan dan dipertanyakannya moralitas hukum hukum karena pendapatnya menggunakan contoh yang diskriminatif dan absolutely, tidak utuh dan menjadi keliru, diperlukan sikap yang responsif dan tidak terus mengulur-ngulur waktu lagi agar kegaduhan politik dapat diatasi.
Yang jauh lebih penting, kekuasaan tidak dituding tengah membesarkan sikap kerdilnya untuk terus konsisten tanpa jeda karena tidak menegakan hukum dan keadilan, yaitu: sangat berpihak, berperilaku diskriminatif, tidak dapat dipercaya dan sekaligus tidak amanah.
Untuk diperlukan kesadaran yang dituntun kearifan dalam mengelola diskursus publik yang kian meningkat ketegangannya. Uraian dan fakta di atas juga menegaskan, persoalan untuk pemberhentian sementara Basuki bukan sekedar perdebatan tekstual Pasal 83 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah. Kendati opini hukum yang bertebaran sangat menarik untuk didiskusikan, tetapi ada suatu kenyataan berupa moralitas hukum dari kekuasaan yang sedang dipertaruhkan dan mempunyai dampak sangat besar bagi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Saatnya Presiden mengambilalih persoalan. Kewenangan untuk melakukan pemberhentian sementara seorang Gubernur, sesungguhnya, berada pada tangan Presiden, seusai Pasal 83 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, bukan pada Mendagri.
Namun selama ini, berbagai pernyataan, justru diajukan Kemendagri, tidak jelas betul, apakah pernyataan itu sudah merujuk, memperhatikan dan mempertimbangkan posisi Presiden dalam seluruh kegaduhan politik itu. Karena yang dipertaruhkan adalah kewibawaan dan kehormatan Presiden yang memiliki legalitas untuk memberhentikan sementara seorang Gubernur, bukan posisi hukum seorang Menteri Dalam Negeri.
Padahal, jika berpijak pada argumen tekstual, sebagian besar ahli hukum mempunyai pandangan, pemberhentian sementara sudah mempunyai dasar legitimasi karena interpetasi pasalnya sudah sangat clear cristal sehigga tidak perlu diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Presiden bisa saja meminta pandangan Mahkamah Agung tapi ada fakta yang terbantahkan, kini, modalitas trust public pada kekuasaan terus tergerus dan kian melorot tajam karena pernyataan politik atas persoalan hukum yang terus berubah-ubah.
Ditambah lagi dengan pandangan dan pesepsi dari sebagian kalangan yang makin menguat dan meluas bahwa moralitas hukum dari kekuasaan makin tidak amanah, sikapnya berbeda-beda dan mulai tidak dapat dipercaya.
Semoga jalan kemuliaan segera diambil dengan mengedepankan akal sehat dan nurani keadilan. Agar dapat menjadi dasar berpijak serta penuntun moralitas hukum bagi kekuasaan yang berpihak pada kemaslahatan publik, sepenuh-penuhnya, tegak lurus dan tanpa pandang bulu atas persoalan pemberhentian sementara Basuki.
ADVERTISEMENT