Memetakan Kompleksitas Putusan 'Kompromistis' Mahkamah Atas UU Cipta Kerja

Bambang Widjojanto
Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Konten dari Pengguna
26 November 2021 11:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya No. 91/PUU-XVIII/2020 memutuskan 9 (Sembilan) diktum pada Amar Putusannya dalam Pokok Permohonan. Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan berkaitan dengan Putusan MK dimaksud, yaitu sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Putusan ini menjadi “menarik” karena terdapat 4 (empat) Hakim MK yang mengajukan dissenting opinion dari 9 (Sembilan) orang Hakim MK sehingga tidak heran bila terlihat ada “kompromi”. Hal itu dapat menimbulkan “kompleksitas” masalah sehingga potensial menciptakan kontroversi dan dampak bagi kepentingan kemaslahatan publik. Pertanyaan yang perlu diajukan, sejauh mana kepentingan keadilan dalam perspektif kemaslahatan publik itu hendak diperjuangkan secara serius?
2. Di satu sisi, MK mencoba menjawab “kemarahan & kegelisahan” publik seantero pelosok Indonesia yang sebagiannya sudah sampai pada suatu kesimpulan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2021 dibuat secara tergesa-gesa, menegasikan prudentialitas & profesionalitas pembuatan UU. Hal ini dapat dilihat dalam diktum ketiga di dalam amar putusan yang menyatakan “…. pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat … sejak putusan ini diucapkan”;
ADVERTISEMENT
3. Di sisi lainnya, MK terlihat bersikap “gamang” dan “kompromis” yang dapat menciderai kehormatannya karena kendati pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga hasilnya harus juga dinyatakan melanggar konstitusi tetapi Mahkamah pada diktum ketiga tersebut juga menyatakan “… pembentukan Undang-undang …. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
4. Itu artinya, pembentukan UU No. 11 Tahun 2021 dinyatakan melanggar UUD 1945 tapi masih tetap berlaku sebagai UU dan mengikat kecuali tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun. Hal ini makin jelas jika membaca diktum keempat amar putusan yang menyatakan “… masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini…”.
ADVERTISEMENT
5. Kosa kata “perbaikan” menimbulkan kompleksitas bila dimaknai secara sempit dan hanya sekadar tata cara pembentukannya saja yang diperbaiki? De facto, UU Cipta Kerja telah merevisi sekitar 79 Undang-Undang (UU) yang memuat 1.244 pasal sehingga memuat banyak isu krusial karena menegasikan dan mengabaikan kepentingan daulat rakyat.
6. Adapun isu krusial tersebut seperti dikemukakan, misalnya oleh UGM dalam Catatan Kritisnya terhadap UU Cipta kerja, yaitu meliputi:
a. pertama, UU Cipta Kerja (UUCK) memuat masalah dari aspek metodologis, paradigma dan rumusan substansi kebijakan.
b. Kedua, pada UUCK ada upaya yang secara sengaja mendelegitimasi & mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
c. Ketiga, adanya potensi problem berupa hyper-regulated dan over-lapping pada UUCK karena mensyaratkan adanya sekitar 500 aturan turunan sehingga berpotensi melahirkan kompleksitas yang menciptakan ketidakadilan substantif bagi rakyat.
ADVERTISEMENT
7. Putusan MK di dalam diktum ketujuh perlu diapresiasi karena menyatakan secara tegas menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; serta
8. Kini saatnya rakyat mengambil peran aktifnya dalam seluruh proses perubahan dan perbaikan atas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja agar kesewenangan yang menjurus pada abuse of power tidak terjadi lagi; dan saatnya, pemerintah dan parlemen bersikap rendah hati karena harus bersungguh-sungguh berpihak untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat karena diktum keenam Putusan MK menyatakan dengan sangat jelas bahwa jika “… tidak dapat menyelesaikan perbaikan … maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah … dinyatakan berlaku Kembali …”.
ADVERTISEMENT
Semoga Putusan MK ini bisa menjadi pintu masuk untuk meningkatkan harapan pada situasi yang makin kritikal pada tahun mendatang karena kian tinggi situasi ketidakpastiannya. Hal ini disebabkan ketidakmampuan kita dalam mengelola tantangan yang hadir pada hari ini.
Bambang Widjojanto, 26 November 2021