Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Terobosan Judicial Review Anggaran Dasar Partai Demokrat
14 Oktober 2021 15:06 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jagad penegakan hukum baru saja dihebohkan dan potensial menciptakan guncangan tatanan kepastian hukum yang akhirnya berdampak pada rasa keadilan. Semoga Mahkamah Agung (MA) sebagai pilar kekuasaan kehakiman punya sensitivitas atas hal dimaksud.
ADVERTISEMENT
Kehebohan itu berkaitan dengan diajukannya permohonan Hak Uji Materiil (HUM) atau Judicial Review (JR) atas objek permohonan HUM berupa Anggaran Dasar Partai Demokrat yang nyata-nyata bukan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah UU.
Tulisan ini hendak “mendiskusikan” permohonan HUM di atas agar dapat dipetakan tantangan non judicial yang akan memengaruhi putusan. Apakah Permohonan HUM di atas merupakan terobosan hukum atau justru “terobosan” yang justru menciptakan banyak kemudharatan. Yang sangat dikhawatirkan, adanya potensi “intervensi” dari pihak yang mempunyai posisi strategis di dalam kekuasaan, di lingkaran terdalam pusat kekuasaan.
Selain itu, adanya informasi yang memuat sinyalemen berupa dugaan kuat terjadinya politik uang atau indikasi tindak koruptif di mana perbuatan itu potensial dapat menyelinap masuk dalam proses permohonan. Artikel ini adalah tulisan pertama dari trilogi tulisan yang didedikasikan untuk mendiskusikan permohonan HUM di atas.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada 3 (tiga) hal menarik yang sangat mungkin seolah memicu “kehebohan”. Yang pertama, ada yang tak biasa, untuk tidak menyebutnya sebagai ketidaklaziman, permohonan HUM ditujukan untuk menguji Anggaran Dasar (AD) Partai Politik. Ini kali pertama, itu sebabnya berkembanglah pro-kontra dan terjadilah diskursus, apakah Anggaran Dasar Partai dapat dikualifikasi sebagai objek dari permohonan HUM?
Ada banyak kalangan berpendapat dengan sangat clear crystal bahwa AD adalah kesepakatan dari kelompok orang tertentu yang sifatnya terbatas karena hanya mereka yang menjadi anggota suatu partai politik saja. Jadi, AD bukanlah reglement yang berasal dari legislatif maupun eksekutif sehingga musykil dapat diuji melalui proses judicial review di MA. Ketidakmungkinan itu yang sangat “menantang” dalam perspektif positif dan menambah “nilai” kasusnya menjadi fantastis.
ADVERTISEMENT
Untuk menambah “bobot” kehebohan sembari mengurangi efek untuk tidak dituding sedang berjudi “coba-coba” yang lebih dekat “kecerobohan”, pengaju permohonan HUM dengan cerdik menggunakan frasa kata “terobosan” hukum dalam advokasinya. Ada pertanyaan, apakah publik tengah dikelabui dengan reproduksi diksi yang senyatanya bertolak belakang dengan tujuan yang sesungguhnya?
Terlalu prematur untuk menyimpulkan-nya walau aromanya terasa menyengat. Tapi, pilihan diksi “terobosan” secara sengaja digunakan untuk mengesankan adanya upaya kemaslahatan yang hendak diperjuangkan melalui proses permohonan HUM. Tapi apa betul begitu?
Bukankah, bisa saja yang terjadi legal brutality di mana penegakan hukum diinstrumentasi dengan menggunakan instrumen hukum?. Hukum hanya dijadikan cover seolah telah terjadi proses kontestasi yang berpijak pada fairness tapi nyatanya putusan sudah diambil atas dasar kesepakatan jahat dan curang yang didasarkan atas transaksi di pasar gelap ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, legal argument sebagai dasar justifikasi permohonan perlu diajukan dan dibangun sedemikian rupa, berpijak pada doctrine necessity untuk menunjukkan ada pelanggaran hukum yang sangat fundamental di dalam Anggaran dasar sehingga seolah perlu dikoreksi melalui proses Permohonan HUM. Padahal, bisa saja, apakah yang sesungguhnya terjadi adalah persekongkolan kejahatan?.
Pada titik ini diperlukan seorang “professional” yang punya kemampuan meracik argumen hukum secara “ciamik” serta mempunyai kepribadian “dingin” untuk menghadapi segala tudingan secara terbuka dan jika perlu melakukan serangan balik dan dilakukannya secara offensive.
Kedua, suka atau tidak suka, ada sosok orang dengan posisi strategis yang punya potensi berperan penting dalam “mengorkestrasi” semua proses permohonan ini. Bisa jadi tuduhan ini dituding bersifat spekulatif tapi ada begitu banyak fakta notoar dapat dijadikan rujukan digital atas sikap dan perilaku pihak dimaksud.
ADVERTISEMENT
Ada media menuliskan, pada saat KLB Demokrat akan digelar, Moeldoko mengumbar foto dirinya usai salat Jumat di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Foto itu seolah-olah menggambarkan dirinya tak terlibat dalam KLB. Namun memasuki malam keputusan nama Moeldoko diumumkan menjadi Ketum baru Demokrat versi KLB, Moeldoko nampak hadir dengan mengenakan jas biru Demokrat, dan kemudian memberikan pidato.
Moeldoko tidak menampik bahwa dia bertemu dengan sejumlah kader partai Demokrat yang bertamu ke rumahnya, tapi mereka hanya berbincang-bincang seputar situasi terkini tapi Moeldoko keberatan jika dituding melakukan kudeta. Tapi ada juga media lainnya yang mengutip dokumen pemeriksaan internal Partai Demokrat di mana ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Demokrat Jhoni Allen Marbun dan mantan Bendahara Umum Demokrat sekaligus mantan terpidana korupsi Muhammad Nazaruddin turut membantu Moeldoko.
ADVERTISEMENT
Bila dikaitkan kembali dengan Permohonan HUM maka ada yang menarik. Para pemohon prinsipal dalam permohonan HUM ini adalah orang biasa saja sehingga dinilai sebagian kalangan terlalu “mewah” mempunyai pemikiran untuk menguji AD dari partai yang dulu menaunginya dan membesarkan-nya.
Apalagi membiayai proses permohonan yang disinyalir berbagai media mempunyai nilai yang unbelievable. Pada konteks inilah, adanya pertanyaan, apakah orang dengan posisi strategis dengan menunjuk pada indikasi keterlibatan Moeldoko yang mengatur dan membiayai semua proses ini menjadi relevan dan kontekstual?
Persoalan utamanya bukan posisi orang strategis dalam kapasitasnya sebagai “bohir” tetapi dia mempunyai akses dan jaringan serta kemampuan penetrasinya dengan menggunakan cover posisi strateginya bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya walau tidak bisa menuduhnya. Tapi, Partai Demokrat melalui Juru Bicaranya menyatakan "Strategi mereka, Dalang-nya Moeldoko, Wayangnya Yusril, dengan pemeran pembantu para pemohon tersebut”.
ADVERTISEMENT
Ada situasi khas yang punya kaitan dengan permohonan HUM bila “dibaca” dalam perspektif politik kekuasaan. Partai Demokrat adalah salah satu dari dua partai “minoritas” yang tersisa dan kini berada di luar kekuasaan dan bukan afiliasi dari The Ruling Parties. Keduanya, saat ini, memang belum menjadi ancaman tapi tetap bisa menjadi “duri” yang potensial “menusuk daging” kekuasaan.
Di tahun depan, tepatnya, di Tahun 2022 akan dimulai verifikasi partai agar dapat mengikuti kontestasi dalam Pemilu Raya serentak di Tahun 2024. Jadi dalam satu-dua tahun ke depan, ada situasi yang kritikal bagi partai-partai agar dapat menyiapkan institusinya dalam kontestasi di atas.
Ada pertanyaan yang relevan untuk diajukan, apakah gonjang-ganjing yang terjadi pada Partai Demokrat sengaja dilakukan dan punya relasi dengan proses politik di atas dengan hitungan kalkulasi politik tertentu yang ditujukan untuk menyingkirkan Partai Demokrat?
Ketiga, adakah politik uang juga ikut “bekerja” di dalam proses permohonan HUM? Pertanyaan ini dikemukakan bukan untuk menuduh tapi tindakan antisipasi pada semua kemungkinan yang terjelek yang bisa saja terjadi. Informasi atas hal di atas mulai sayup terdengar sehingga harus segera diklarifikasi, apakah politik uang sudah bekerja karena akan merugikan banyak pihak yang berkepentingan dan juga seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada situasi seperti ini, Mahkamah Agung punya kepentingan untuk menjaga kehormatan-nya dan membebaskan dirinya dari setiap upaya dan kemungkinan yang akan menikam keagungan-nya dan sekaligus meruntuhkan marwah institusi sebagai pilar penting di dalam menegakkan hukum dan keadilan. Tidak ada pilihan lain, MA harus menjaga setiap kemungkinan yang dapat menghancurkan reputasinya.
Jika terjadi politik uang maka hal itu akan menjadi bencana dan kian menjustifikasi sinyalemen yang selama ini bersemayam di sebagian keyakinan masyarakat bahwa di setiap upaya pencarian keadilan ada potensi transaksi gelap berupa “jual-beli” keadilan. Bila hal ini terjadi maka keadilan adalah fatamorgana, ilusi dan fantasi dari suatu imaji.
Bukan hanya hal tersebut di atas, proses konsolidasi demokrasi yang terus menerus diupayakan akan rubuh dan luruh. Kita harus memastikan agar Rakyat tidak akan kehilangan kepercayaannya atas semua proses pembangunan demokrasi karena adanya sinyalemen, dengan biaya kapital puluhan miliar saja suatu partai politik dapat ditenggelamkan hingga karam di kedalaman lautan serta diporak-porandakan eksistensi legalitas-nya hingga menjadi butiran pasir di tepi pantai melalui proses hukum.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya, setiap potensi transaksi gelap dalam proses pencarian keadilan harus dieliminasi. Yang sangat mengerikan, jangan sampai terjadi, politik uang bersekutu dengan kepentingan kekuasaan dengan mengeksploitasi jabatan strategis dan kedekatan dengan lingkaran dalam kekuasaan. Hal ini akan menyingkirkan dan menghancurkan harapan yang menyebabkan keadilan adalah kemustahilan karena menjadi tak mungkin untuk dihadirkan.
Semoga keadilan bisa melindungi proses demokrasi yang otentik dan Mahkamah Agung tampil membawa harapan karena menjadi benteng terakhir dari proses demokrasi.
Dr. Bambang Widjojanto, Advokad dan Pengajar di UNIDA, UI dan Univ. Trisakti