Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Upaya Pemberantasan Korupsi Presiden Jokowi Stagnan?
4 Maret 2019 12:39 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada bulan pertama tahun 2019, Transparency International (TI) mengeluarkan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks itu dapat dijadikan salah satu ukuran untuk melihat capaian dan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jokowi dilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada tanggal 20 Oktober 2014, sehingga untuk menilai upayanya dalam pemberantasan korupsi dilihat dari IPK dari tahun 2015 hingga 2019. Sejak awal pemerintahannya, presiden mematok skor 65 sebagai target pencapaian upaya pemberantasaan korupsi di Indonesia.
Pada awal 2019, TI merilis hasil skor IPK dan Indonesia masih bertengger di angka 38 serta di peringkat 89 dunia. Skor Indonesia masih di bawah rerata skor negara Asia Pasifik yang besarnya 44 dan itu masih sangat jauh dari target yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah.
Tentu presiden tak bisa disalahkan sepenuhnya atas stagnasi indeks IPK Indonesia, tetapi sebagai kepala negara yang punya otoritas tertinggi, dapat menggerakan seluruh sumber daya bangsa, dan menjadi dirigen dari orkestrasi pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi harus dapat dimintai pertanggungjawaban atas stagnasi upaya pemberantasan korupsi yang terjadi pada periode jabatannya sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2015, skor IPK Indonesia berada di angka 36 dan Transparansi Internasional Indonesia (TII) mengumumkan capaian IPK Indonesia pada 30 januari 2019 adalah 38. Artinya, skor capaian dari upaya pemberantasan korupsi tak hanya masih sangat jauh dari target yang dicanangkan oleh pemerintah sendiri, tetapi juga menjadi fakta yang tak terbantahkan, bahwa selama pemerintahan Presiden Jokowi, IPK Indonesia hanya naik sekitar 2 poin saja.
Jika dibandingkan dengan capaian Presiden RI lainnya, capaian ini masih jauh di bawah prestasi Presiden SBY. Ketika SBY dilantik dalam jabatan keduanya sebagai Presiden RI, pada tanggal 20 Oktober 2009 hingga tahun 2014, IPK Indonesia berada di skor 28 dan meningkat mencapai 36 atau 8 poin pada akhir masa jabatannya.
ADVERTISEMENT
Jika dibandinglan lagi dengan awal pemerintahan Presiden SBY, IPK Indonesia pada tahun 2005 baru mencapai 22, kemudian pada tahun 2009 skornya meningkat menjadi 28. Artinya, Presiden SBY, pada awal pemerintahannya, dapat meningkatkan skor IPK Indonesia sebesar 6 poin.
KPK mengembangkan metode penghitungan increment (membanding antara capaian skor IPK dengan lamanya periode jabatan) dan mengukur capaian prestasi dari seluruh presiden di Indonesia. Rinciannya seperti tersebut di bawah ini:
Kesimpulannya, pada era Presiden Jokowi, skor IPK Indonesia hanya meningkat 2 poin saja. SBY mampu meningkatkan skor IPK Indonesia sebesar 6 poin pada periode jabatan pertama, sedangkan pada periode kedua, IPK Indonesia meningkat 8 poin.
Prestasi Presiden Jokowi, jika menggunakan penilaian incremental seperti yang dilakukan KPK, indeks capaiannya di antara para presiden era reformasi adalah yang paling rendah. Presiden Megawati (4 poin) dan Gus Dur (3 poin), capaian skor IPK-nya jauh lebih baik daripada Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Jika dilacak lebih lanjut perihal skor Indonesia yang masih stagnan atau setidaknya hanya meningkat 1 poin saja pada tahun 2018 dari tahun sebelumnya, TI menjelaskan faktor penyebabnya. Ternyata, nilai indeks IMD World Competitiveness Yearbook turun hingga 3 poin dari 41 ke 38. Indeks ini menjelaskan, suap dan korupsi politik masih menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem kekuasaan di Indonesia. Itu artinya, korupsi politik masih hidup dan melekat, bahkan berkembang secara berkelanjutan di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Situasi di atas terkonfirmasi dengan stagnannya indeks Political Risk Service karena ternyata potensi risiko korupsi dalam sistem politik belum berubah. Itu sebabnya, ada indikasi kuat, relasi kolusif antara politisi dan pebisnis begitu intensif dan makin mencurigakan. Untuk mendukung sinyalemen di atas dapat dilihat dari analisis Faisal Basri, salah satu ekonom yang integritasnya sudah teruji.
ADVERTISEMENT
Pada 2018, Faisal menyatakan, ada data bahwa baru enam bulan (Januari-Juni 2018) saja, impor beras sudah mencapai 1,1 juta ton dan izin itu sudah dikeluarkan Kementerian Perdagangan untuk tahun ini sebesar 2 juta ton. Padahal, Bulog mengaku baru mengimpor 500.000 atau setengah juta ton.
Faisal lalu mempertanyakan pihak yang mengimpor sisanya. Fakta ini menjelaskan, ada ribuan ton impor beras tak jelas juntrungannya. Apakah juga ada kaiatananya dengan tahun politik?
Situasi sengkarut importasi bahan pokok ini menyebabkan peningkatan cukup baik dalam indeks Global Insight Country Risk Ratings, yaitu: proses berusaha, perizinan, dan investasi. Kendati dinilai semakin mudah, hal ini tidak ada gunanya karena tidak dapat digunakan dan tidak bermanfaat maksimal untuk membebaskan diri dari fakta bahwa atmosfer korupsi yang berbasis kolusi dalam sistem kekuasaan masih masif terjadi.
ADVERTISEMENT
Berpijak dari kondisi ini, perlu diajukan pertanyaan reflektif perihal kemudahan berusaha, serta perizinan dan investasi yang masih tetap berada di dalam genggaman tradisi suap, korupsi politik yang terus menggurita, serta kian intensifnya tindak kolusif diantara politisi dan pebisnis. Kalau hal itu yang terjadi, maka kita secara sadar dan sistematis tengah berupaya untuk mempertebal gincu dan memoles wajah bopeng sistem kekuasaan yang sesungguhnya masih koruptif, kolusif, dan nepotistik.
Untuk menjelaskan hal di atas, ada baiknya untuk melihat secara jelas berbagai kasus yang tengah ditangani KPK, misalnya kasus e-KTP, Meikarta, Reklamasi di Jakarta Utara, maupun kasus PLN Riau-1. Pada kasus-kasus itu, 'titik api' yang harusnya menjadi pembatas kepentingan pebisnis dan politisi tak lagi bisa dibedakan secara tegas. Keduanya telah berkelindan dan bersekutu, sebagiannya “merampok” uang negara.
ADVERTISEMENT
Acap kali juga bersama dengan otoritas eksekutif yang sebagiannya juga merupakan politisi dan berasal dari kalangan pebisnis. Bukankah ini yang disebut dengan oligarki? Sudah separah itukah oligarki merasuk di dalam sistem kekuasaan di pemerintahan?
Fakta di atas akan kian menakutkan bila mengkaji fakta korupsi kepala daerah dalam kaitannya dengan OTT yang dilakukan KPK sepanjang 2018. Ada sekitar 70 persen atau 21 kepala daerah kena OTT dari 30 OTT yang dilakukan KPK sepanjang tahun 2018.
Berpijak dari sumber media yang beredar luas, sejumlah 76 persen atau 16 kepala daerah tersebut adalah mereka yang menjadi bagian tak terpisahkan dari The Ruling Party, yaitu 8 orang kader PDIP, 5 orang berasal dari Golkar, 2 orang dari Nasdem dan 1 orang Perindo. Sisanya, berasal dari kalangan partainya oposisi.
Berpijak dari uraian di atas, jika hendak meningkatkan skor IPK secara signifikan dan sekaligus menaklukan korupsi, maka mata rantai korupsi yang berbasis pada suap harus diputus melalui pengendalian yang ketat dan berbagai upaya lainnya. Khususnya, korupsi yang terjadi di dalam sistem politik serta relasi kolusif antara pebisnis dan politisi yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan. Semuanya harus dikontrol secara sistemik dan terstruktur yang disertai reward and punishment yang tegas.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara pararel dan simultan. Tidak hanya peningkatan penghasilan aparatur sipil negara agar dipenuhi basic need minimum, tetapi juga harus disertai dengan pembangunan infrastruktur anti-korupsi, sistem pencegahan atas penyalahgunaan kekuasaan, serta revitalisasi dan konsolidasi institusi pengawasan.
Selain itu, diperlukan juga pemberian sanksi yang tegas untuk menimbulkan efek deterent. Salah satunya dengan menggabungkan tindak korupsi dengan kejahatan pencucian uang dan tindak ekonomi lainnya serta upaya memiskinkan koruptor dengan membebankan social cost of corruption pada pelaku kejahatan.
Hal yang juga sangat penting, pemberantasan korupsi harus diprioritaskan pada sektor yang menyangkut hajat hidup rakyat kebanyakan serta perlindungan atas “agunan” masa depan Indonesia di sektor SDA & Energi. Hal ini ditujukan untuk dapat mempercepat perwujudan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan sekedar kemudahan berusaha, perizinan, dan investasi saja.
ADVERTISEMENT
Pendeknya, kerja tak sekedar untuk kerja. Apalagi kerja yang diletakan dalam upaya pemberantasan korupsi. Kerja harus dituntun oleh visi dan misi yang dilakukan para pihak yang integritasnya tak diragukan lagi, pelaksanaannya secara sistematis dan terstruktur serta ditujukan untuk kepentingan kemaslahatan rakyat.
Selamat tinggal stagnasi dan selamat datang upaya percepatan pemberantasan korupsi.
---
DR. Bambang Widjojanto
Pengajar Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia, Pimpinan KPK periode 2011-2015