Atasi Kekeringan, Walhi Jabar Desak Revisi Kebijakan RTRW

Konten Media Partner
28 Agustus 2018 17:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Atasi Kekeringan, Walhi Jabar Desak Revisi Kebijakan RTRW
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ilustrasi kekeringan. (Pixabay)
BANDUNG, bandungkiwari – Kekeringan yang melanda Jawa Barat akibat kemarau panjang harus diatasi secara jangka panjang. Selama ini, pemerintah dinilai cenderung melakukan upaya jangka pendek yang tidak menyentuh akar dari masalah kekeringan.
ADVERTISEMENT
Direktur Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan mengatakan, tidak cukup jika mengatasi kekeringan di Jawa Barat dengan langkah jangka pendek saja. Saat ini kondisi lingkungan maupun Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jawa Barat sudah mengalami krisis neraca air sehingga membutuhkan penanganan secara jangka panjang.
“Pemerintah daerah dan pusat bisa secara bersama-sama merumuskan kebijakan dan program penanganan bencana kekeringan dalam jangka panjang, tentu harus terpadu dari hulu ke hilir, lintas sector,” kata Dadan, melalui siaran persnya, Selasa (28/8/2018).
Hal yang mendasar dalam jangka panjang misalnya bagaimana harus melakukan revisi atas kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selama ini tidak memiliki persfektif perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengurangan resiko bencana kekeringan khususnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga harus ada upaya bersama yang mempercepat pemulihan kerusakan lingkungan hidup yang masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Barat 2018-2023.
“Jadi program antisipasi kekeringan dan penanganan dampak dan resiko kekeringan harus masuk ke dalam RPJMD untuk 5 tahun ke depan,” tegas Dadan.
Dadan membeberkan, saat ini akibat kekeringan dan kurangnya air di beberapa wilayah menyebabkan warga sulit mendapatkan air bersih, banyak warga yang kemudian memanfaatkan air sungai yang kotor untuk kebutuhan rumah tangga seperti yang terjadi di Kabupaten Sukabumi.
Kemudian, sawah-sawah juga tidak bisa ditanam akibatnya petani tidak bisa panen seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Subang, Indramayu, Cirebon, Majalengka, dan lain-lain.
“Kami melihat, upaya pemerintah Jawa Barat untuk mengantisipasi kekeringan sudah ada dengan program dan kebijakan baik di Dinas Pertanian, Kehutanan dan dinas PSDA, namun tidak menjawab pada akar masalah salah urus ruang, kebijakan tata ruang yang makin mengurangi kawasan lindung dan resapan air,” katanya.
ADVERTISEMENT
Di lapangan, lanjut dia, pihaknya belum melihat upaya yang nyata dari pihak pemerintah mengatasi dampak kekeringan, walaupun pemprov Jawa Barat sudah memiliki rencana pengadaan pompanisasi dan perbaikan saluran irigasi pertanian.
Tapi fakta di lapangan, petani Indramayu misalnya, masih kesulitan untuk mendapatkan air untuk tanam padi. Sedangkan bagi warga yang kesulitan air bersih untuk rumah tangga dinilai belum ada upaya yang nyata.
Untuk antisipasi kekeringan/kekurangan air di musim kemarau, menurutnya masyarakat sudah aktif secara swadaya.
“Sebelum pemerintah bergerak, masyarakat sudah melakukannya sendiri. Karena air adalah kebutuhan dasar. Banyak upaya masyarakat yang sudah dilakukan, warga berkorban membeli air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dengan uangnya sendiri,” katanya.
Ia menambahkan, banyak petani yang mengeluarkan modal untuk membuat sumur tanah di sawah, atau melakukan pompa air mengambil air dari sungai ke lahan-lahan sawah. Kelompok masyarakat di desa juga sudah bergerak membuat embung-embung air, membagi jatah air bersih dan tentu warga melakukan penanaman-penanaman pohon di lahan-lahan kritis untuk menyelamatkan sumber-sumber mata air. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT