Bedah Sosok Seniman Serba Bisa Putu Wijaya di Bandung

Konten Media Partner
3 Maret 2019 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seminar Nasional bertajuk “Menggali Produktivitas Putu Wijaya” di Gedung YPK/PPK, Jalan Naripan, Bandung. (Iman Herdiana)
zoom-in-whitePerbesar
Seminar Nasional bertajuk “Menggali Produktivitas Putu Wijaya” di Gedung YPK/PPK, Jalan Naripan, Bandung. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Sejak Jumat (1/2) lalu, perhatian publik seni Bandung tertuju ke Gedung YPK/PPK, Jalan Naripan, Bandung. Sosok yang menarik perhatian tidak lain maestro Putu Wijaya yang menggelar rangkaian acara bertajuk “Bertolak Dari Yang Ada”.
ADVERTISEMENT
Pada hari kedua, Sabtu pagi (02/3), acara yang digagas Institut Nalar Jatinangor dan Second House itu menyajikan Seminar Nasional bertajuk “Menggali Produktivitas Putu Wijaya”. Tepat pukul 09.00 peserta seminar sudah berdatangan dan antri di bagian registrasi, satu per satu mereka duduk di kursi yang sudah disediakan.
Seminar dimulai dengan sajian musik balada dari musisi Bandung kang Adew Habtsa dilanjutkan pembukaan oleh Ketua Pelaksana Seminar Topik Mulyana. Topik menjelaskan bahwa seminar nasional ini penting diadakan untuk menggali pemikiran Putu Wijaya yang sangat beragam, tidak hanya di bidang sastra melainkan teater dan seni rupa.
“Penggalian produktivitas kekaryaan Putu Wijaya di bidang seni dan budaya penting untuk kita gali. Apalagi Putu Wijaya adalah seniman yang serba bisa. Kemampuannya dalam menulis sastra, sudah menghasilkan karya-karya hebat seperti novel, cerpen, naskah drama, juga tidak hanya itu garapan teater dari naskahnya sendiri beliau pentaskan bersama Teater Mandiri yang dipimpinnya. Dan tidak hanya itu rupanya Putu Wijaya juga menghasilkan karya-karya lukisan yang menarik juga,” kata Topik.
ADVERTISEMENT
Para pembicara yang mengisi seminar tersebut mewakili bidangnya masing-masing di antaranya Herry Dim (seniman), Putu Fajar Arcana (jurnalis), Lina Meilinawati Rahayu (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unpad), dan Asep Solahudin (Dosen IAILM Suryala) dan dimoderatori oleh Lili Awaludin (Dosen Sastra Inggris UIN Bandung).
Putu Wijaya hadir dalam Seminar Nasional bertajuk “Menggali Produktivitas Putu Wijaya” di Gedung YPK/PPK, Jalan Naripan, Bandung, memakai kursi roda. (Iman Herdiana)
Seminar diawali Herry Dim yang memaparkan analisisnya dari kaca mata keteateran Putu Wijaya. Dalam paparannya Herry Dim mengungkapkan bahwa teater itu bisa dikatakan hebat setelah berada di panggung.
Menurutnya, naskah yang ditulis Putu Wijaya akan sulit jika sekadar dibaca saja, namun bisa mudah dipahami jika menonton pertunjukannya. “Teks tidak bisa lepas dari ruang gerak (pertunjukan),” katanya.
Putu Fajar Arcana yang mengungkap kekaryaan Putu Wijaya dari sisi geneologi. Putu Fajar menjelaskan keberangkatan produktivitas Putu Wijaya dari lokalitasnya sebagai orang Bali. Putu Wijaya secara geneologi berasal dari keturunan kerajaan Bali dari kalangan ksatria.
ADVERTISEMENT
“Artinya sebagai masyarakat dia memiliki posisi penting. Namun dalam konsep berkeseniannya Putu Wijaya selalu melakukan pemberontakan pada sistem kerajaan dan berpihak pada kerakyatan. Istilah yang dipakainya “memberontak tanpa membenci”,” katanya.
Karya-karya Putu Wijaya juga disebut-sebut mengandung “teror”. Putu Fajar mengatakan, dalam tradisi kain bali ada corak warna hitam putih dan abu-abu. Putu Wijaya memilih konsep corak abu-abu ketika membuat karya maka muncullah teror-teror itu karena keluar dari tradisi hitam putih.
Lina Meilinawati Rahayu sebagai pembicara ketiga dalam seminar, melihat dari sudut pandang yang lain. Lina menjelaskan bahwa jika melihat judul-judul karya Putu Wijaya teksnya itu bersifat “subversif” atau dari sisi lain ada kecenderungan “foreshadowing dramatic” dalam bahasa Sunda disebut dengan kila-kila atau pertanda.
ADVERTISEMENT
Seminar semakin hangat karena Lina dengan ceplosan-ceplosan bahasanya yang terkadang bercampur dengan bahasa Sunda membuat peserta tertawa. Di samping itu juga Lina mengungkapkan kebanyakan tema yang diangkat Putu Wijaya selalu mengungkapkan keabsurdan.
“Putu Wijaya merekam bahwa kehidupan itu adalah absurd karena keabsurdan itu untuk menjaga kewarasan,” tuturnya.
Selanjutnya pembicara terakhir yang dipaparkan oleh Asep Salahudin lebih merujuk pada karya-karya Putu Wijaya yang dikaitkan dalam kehidupan hari ini. Asep memaparkan bahwa karya Putu Wijaya adalah rekaman sejarah pengalaman hidup kita sehari-hari dan menulis dari apa yang terjadi di sekitar kita.
Asep juga menyinggung bahwa karya Putu Wijaya secara prosais disebut dengan platform Revolusi Mental. Para peserta semakin riuh penuh keakraban, karena Asep dengan gaya humoris menyatakan bahwa Putu Wijaya itu agamanya NU.
ADVERTISEMENT
Setelah keempat pembicara memaparkan temuannya masing-masing, selanjutnya ada pernyataan yang diwakili oleh peserta seminar yakni C.W. Watson dan Aquarini Priyatna, dan diakhiri closing statement langsung dari Putu Wijaya tentang konsep “Bertolak Dari Yang Ada” bahwa dalam tradisi Bali ada yang disebut dengan “Ana Tan Ana”. (Iman Herdiana)