news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Daluang, Kertas “Papyrus” Asli Indonesia yang Kurang Diperhatikan

Konten Media Partner
8 Maret 2019 13:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mufid Sururi menunjukkan lakon wayang beber dengan kertas daluang kolaborasi dengan Faris Wibisono, pegiat wayang beber dari Wonogiri. (Iman Herdiana)
zoom-in-whitePerbesar
Mufid Sururi menunjukkan lakon wayang beber dengan kertas daluang kolaborasi dengan Faris Wibisono, pegiat wayang beber dari Wonogiri. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Jika peradaban Mesir kuno mewariskan papyrus, maka nusantara punya kertas daluang. Namun dua kertas yang dibikin secara tradisional ini beda nasib. Papyrus hingga kini menjadi ikon peradaban Mesir yang ekslusif, sedangkan nasib kertas daluang nyaris terabaikan.
ADVERTISEMENT
Kertas daluang kurang dikenal oleh generasi masa kini, bahkan terasing. Padahal perajin kertas ini masih ada meski jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Mereka tersebar di nusantara. Mereka berusaha mempertahankan warisan leluhur yang di masa lalu derajatnya sangat tinggi, karena sebeum ditemukan kertas industri, kertas tradisional daluang inilah yang dipakai sebagai media tulis menulis, medianya ilmu pengetahuan.
Di Bandung, pembuatan daluang digeluti Mufid Sururi yang disebut juga tukang saeh karena sehari-hari menekuni pembuatan kertas daluang yang bersumber dari kulit pohon saeh atau bahasa Latinnya, Paper mulberry (Broussonetia papyrifera).
“Jadi kalau di Mesir ada papyrus, Jepang punya washi, Korea punya hanji, ternyata kita punya daluang. Tapi kenapa daluang tak bisa seperti washi atau papyrus?” kata Mufid, saat berbincang di worskhopnya, Jalan Bagus Rangin, dengan Bandungkiwari, Senin lalu (25/2).
Kiri, piagam dari kertas daluang, kanan, lukisan ikan duyung hasil kolaborasi Mufid Sururi dengan seniman luar negeri. (Iman Herdiana)
Papyrus hingga kini masih diproduksi Mesir. Bahkan Mufid bisa mendapatkan papyrus di Tegalega, Bandung. Artinya, kertas klasik tersebut tak dilupakan, tapi jadi komoditas ekspor oleh Mesir. Begitu juga dengan kertas tradisional Jepang, yakni washi yang kini dipakai untuk merestorasi naskah-naskah kuno. Kertas Jepang lainnya ialah yang biasa dijadikan dinding rumah, yakni soji.
ADVERTISEMENT
Pemuliaan warisan leluhur juga dilakukan Korea Selatan. Negeri ginseng ini punya kertas hanji yang kini jadi buah tangan pariwisata.
Dengan kondisi tersebut, Mufid menyayangkan nasib kertas daluang. Kertas yang menjadi kebanggaan nusantra ini bisa dibilang nyaris punah. Kertas ini digeluti perajin-perajin individual dan berjalan sendiri.
Padahal Mufid yakin, daluang punya potensi besar jika dipromosikan. Kertas ini bisa menjadi produk ekslusif mandiri maupun sebagai komponen dari suatu produk. Misalnya, menjadi kertas untuk merek gitar, menjadi piagam penghargaan, kanvas lukisan, tas, topi, penutup lampu, kain, dan lainnya.
Kolaborasi Mufid Sururi dengan seniman Jepang. (Iman Herdiana)
Bahkan baru-baru ini Mufid membuat daluang sebagai komponen utama bagi alat musik perkusi. Di lokasi workshopnya, Mufid menunjukkan kendi-kendi tanah liat yang bagian mulutnya ditutup kertas daluang sehingga bentuknya seperti rebana atau tam-tam. Alat musik ini dimainkan dengan dipukul.
ADVERTISEMENT
Mufid sempat mendemonstrasikan permainan perkusi daluangnya, nadanya bisa dalam tempo cepat seperti menabuh tam-tam. Perkusi tersebut dibuat dari berlapis-lapis kertas daluang sehingga kuat saat dipukul.
Eksplorasi dari saeh lainnya selain perkusi, antara lain, kolaborasi dengan Asep Nata, seorang etnomusikolog, lalu membuat lakon wayang beber yang dilukis dari gulungan kertas daluang. Lakon ini mengisahkan proses pembuatan kertas daluang dari kulit saeh.
Mengenai wayang beber ini, Mufid yang juga tergabung dalam band Lil' Alamin punya cerita “tragis” tersendiri. Seni tradisional berusia ratusan tahun ini kini di ambang kepunahan juga. Kendati demikian, Mufid menuturkan, wayang beber masih bisa kita jumpai di Pacitan, Gunung Kidul, dan satu set berada di Leiden, Belanda. Jadi perlu segera dilakukan penanganan, salah satunya, perbaikan dan pembuatan ulang wayang beber.
ADVERTISEMENT
Mengapa kertas daluang berbeda nasib dengan kertas tradisional di negara lain? Menurut Mufid, kertas daluang merupakan warisan leluhur yang layak dipertahankan dan dilestarikan. Potensi untuk menggali nilai ekonomis dari kertas ini pun ada, tinggal niat dan kemauan dari pemangku kebijakan.
Kolaborasi Mufid Sururi dengan pelukis Diyanto. (Iman Herdiana)
Pada 2014, kertas hasil tempaan kulit kayu pohon saeh tersebut ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun setelah penetapan itu, ia tak melihat upaya lanjutan untuk mengangkat derajat daluang dari sisi pendidikan maupun ekonomi.
Di sekolah maupun di fakultas seni, ia tidak menemukan pelajaran, walaupun yang bersifat pengantar, tentang seni membuat daluang. Padahal dalam sejarahnya, kertas daluang erat kaitannya dengan desain grafis, gambar, lukis, sablon, percetakan dan lainnya. Lalu di bidang ekonomi, kertas daluang bisa dimanfaatkan sebagai oleh-oleh pariwisata, tapi potensi ini juga tidak didorong.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah produksi kertas daluang ialah keberadaan pohon saeh. Mufid menepis alasan itu, menurutnya, pohon saeh merupakan sejenis pohon perdu atau liar. Pohon ini mudah dibudidayakan. Ia sendiri menanam pohon saeh dalam pot. Terbaru, ia mengirim benih pohon saeh ke Sulawesi Selatan.
“Tinggal niat, untuk menggali pohon saeh ini kita kan punya fakultas pertanian di Unpad dan IPB,” tegasnya.
Mufid menekuni “profesi”-nya sebagai tukang saeh sejak 2006. Ia mengenal daluang dari peneliti UPI, Tedi Permadi.
Mufid si Toekang Saeh dalam perjalanannya menekuni kertas daluang, sudah melakukan pelbagai pameran, berkolaborasi dengan berbagai pihak mulai dari kalangan pesantren, seniman dari dalam negeri seperti pelukis dan kurator Diyanto, dan dari luar negeri seperti dari Jepang, Rusia, Mesir, Kroasia.
ADVERTISEMENT
Mufid ingin mempertahankan daluang, kertas yang memiliki nilai sejarah dan identitas. Jangan sampai kertas istimewa ini dilupakan dan punah. (Iman Herdiana)