Film More than Work: Sisi Gelap Pekerja Perempuan di Industri Media

Konten Media Partner
18 Agustus 2019 21:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana nonton bareng film More than Work di Bandung, Sabtu (17/8). (Foto: rana)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana nonton bareng film More than Work di Bandung, Sabtu (17/8). (Foto: rana)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANDUNG, bandungkiwari - Perempuan itu berjalan perlahan memasuki salah satu gedung di ibu kota. Mata kamera terus mengikutinya. Dari dari satu gedung ke gedung lain, perempuan itu berjalan lagi. Sesekali dia terlihat berbincang serius dengan perempuan lain. Mengungkapkan pengalaman pahit yang dialaminya. Pengalaman kelam yang harus dia telan saat dia bekerja sebagai sekretaris pimpinan di salah satu perusahaan media.
ADVERTISEMENT
Perempuan itu lalu bertutur tentang perlakuan bosnya yang mencoba melecehkan dirinya di ruangan kerja. “Saya sudah berusaha menolaknya, tapi dia malah mengancam saya agar tidak berbuat macam-macam. Saya ancam balik dia, kalau dia tidak berhenti maka saya akan berteriak,” tutur perempuan itu.
Begitulah salah satu adegan yang terlihat pada Film “More than Work” yang disutradarai oleh Luviana. Film yang bercerita tentang potret buram para pekerja perempuan di industri media ini diputar oleh Akatiga dan Institut Perempuan di Bandung, Sabtu (17/8).
Menurut Luviana, ini film pertama tentang perempuan dan media yang ada di Indonesia. Mantan jurnalis Metro TV itu menjelaskan, sebenarnya masih ada empat orang pekerja perempuan yang mendapatkan pelecehan yang sama dari bos media itu. “Tapi hanya satu orang yang berani melaporkan ke polisi. Lalu korban didampingi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) serta LBH (Lembaga Bantuan Hukum) APIK,” ujar Luviana.
ADVERTISEMENT
Selain menceritakan bentuk pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan, film ini juga membeberkan bentuk diskriminasi yang sering dirasakan oleh pekerja media. Misalnya, cerita tentang LGBT yang tersingkir di dunia kerja. Atau seorang presenter yang harus berwajah cantik karena akan ditampilkan di depan kamera. “Sedangkan perempuan lain yang wajahnya “biasa-biasa saja” biasanya ditempatkan di lapangan,” katanya.
Sebagai sutradara, Luvi juga memberikan perhatian terhadap seorang artis yang belakangan tersandung kasus penghinaan yang melibatkan suaminya. “Wawancara dilakukan pada tahun 2018, tentang pengalamannya sebagai artis. Honornya dia masih Rp 250 ribu saat itu,” kata Luvi.
Agar bisa terus mendapatkan tawaran di dunia hiburan, kata Luviana, artis itu harus pandai merawat diri. “Karena itu ongkosnya juga lumayan mahal seperti yang dia ungkapkan di film ini,” ujar Luvi.
ADVERTISEMENT
Peneliti dari Akatiga, Nurul Widyaningrum mengapresiasi film ini. Menurutnya film ini penting karena bercerita tentang nasib pekerja perempuan yang masih kerap diwarnai stigma, bahkan oleh aparat. “Ada kultur yang permisif di media yang bisa menjadi awal terjadinya pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan,” katanya.
Nurul khawatir fenomena yang ditampilkan pada film ini hanya sebagian puncak gunung es. “Apalagi hingga saat ini industri media masih menjanjikan bisa menjadi masa depan anak muda yang ingin berkarir setelah lulus dari perguruan tinggi,” katanya. (rana akbari fitriawan)