Foto: Benjang, Seni Gulat Khas Bandung yang Bergulat dengan Waktu

Konten Media Partner
2 Maret 2019 9:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seni benjang, Pertarungan gulat tradisional khas Bandung, dalam Festival Pesona Bauran Cap Go Lak 2019 di Jalan Manisi Lapangan Kp Jati Pasirbiru, Cibiru, Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
zoom-in-whitePerbesar
Seni benjang, Pertarungan gulat tradisional khas Bandung, dalam Festival Pesona Bauran Cap Go Lak 2019 di Jalan Manisi Lapangan Kp Jati Pasirbiru, Cibiru, Bandung. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Anak gerimis masih berlarian, sereda lelahnya hujan besar yang ikut menari pada festival yang mengusung toleransi untuk menghormati perayaan Cap Go Meh, Festival Pesona Bauran Cap Go Lak 2019 di Jalan Manisi Lapangan Kp Jati Pasirbiru, Cibiru, Bandung.
ADVERTISEMENT
Keriaan masih berlangsung meski gerimis tidak bosan menyentuh kepala masyarakat. Di atas panggung yang dipeluk mendung, suara tetabuhan mulai terdengar nyaring. Anak-anak bersama orang tua bergerak tanpa komando menuju panggung.
Suara Terbang, berpadu kendang, gong dan terompet Pencak Silat menggiring hawa pertempuran merasuki tubuh-tubuh pemuda.
"Benjang euy!" teriak anak kecil yang tampak begitu akrab dengan seni membanting itu.
Benjang memang menjadi pertunjukan terakhir yang menutup rangkaian festival, Sabtu pekan lalu (23/2) itu.
Bagi sebagian besar orang tentu tidak mengenal seni Benjang. Benjang yang berasal di daerah kawasan Bandung timur ini merupakan beladiri gulat.
Benjang merupakan aliran beladiri gulat dari Jawa Barat yang selalu dinantikan para pemuda untuk menguji kemampuan mereka dalam memiting dan membanting.
ADVERTISEMENT
Tanah parkir sore itu berubah menjadi medan pertempuran. Seorang pemuda telah memasuki, seraya menari gaya puyuh ngungklung mengikuti irama tabuhan kendang yang dinamis.
Pada saat menari itulah penantang biasanya menghitung dan memerkirakan ketangguhan lawan. Jika dirasa tidak mampu tentu tidak maju ke arena. Sebaliknya jika ada seseorang masuk, pebenjang yang menari pun akan melihatnya. Bila merasa sepadan akan langsung bersalaman, jika tidak tentu akan keluar dari arena.
Akhirnya hadir penantang lain yang siap untuk bertanding. Seorang lelaki paruh baya bernama Aceng Muslimin menjadi wasit untuk menjaga pertarungan tetap dalam aturan dan kesepakatan yang tidak membahayakan.
Pertandingan pun dimulai. Dua lelaki berhadapan diiringi tabuhan gamelan yang semakin dinamis. Beberapa kali mereka saling berusaha membanting. Namun akhirnya kelengahan membuat seorang pebenjang harus menatap langit beserta awan yang gelap.
ADVERTISEMENT
Di tengah tetabuhan yang dinamis, dan hiruk pikuk penonton wajah Aceng Muslimin yang kerap disapa Wa Mus, terlihat berbeda.
"Jarang ada kegiatan menampilkan benjang," ucapnya.
Menurut Wa Mus, pementasan yang menampilkan benjang gulat sangat minim terselenggara di daerah Cibiru. Berbeda dengan aktivasi benjang di daerah Ujung Berung yang selalu ada kegiatan.
"Dulu ketika masih satu kecamatan dengan Ujung Berung, sebelum ada pemekaran kita pun ramai dapat undangan untuk mentas. Sekarang mah karena sudah misah jadi jarang diajak, karena beda wilayah," tegasnya.
Sepinya kegiatan benjang gulat yang kalah populer dengan benjang helar, mengakibatkan perkembangan benjang di daerah Cibiru pun tidak seramai daerah Ujung Berung.
Hal tersebut menurutnya berbeda ketika Ujung Berung dan Cibiru masih dalam kawasan yang sama. Kegiatan Benjang begitu ramai bahkan menjadi salah satu penyumbang atlet gulat nasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu pada perkembangan saat ini minat anak-anak terhadap benjang di daerah Cibiru sangat minim, karena banyaknya pilihan hiburan untuk anak-anak.
"Kecuali yang punya darah atau keturunan benjang dari keluarganya," jelas Wa Mus.
Padahal dulu menurutnya, benjang hadir dalam aktifitas keseharian masyarakat. Usai panen, hajatan, 40 harian, kelahiran; benjang mewarnai masyarakat.
Sebagai orang yang memiliki darah benjang, Wa Mus tentu ingin mengembangkan dan terus menghadirkan benjang agar tidak tergerus peradaban beladiri asing. Namun acapkali pementasan benjang terkendala izin yang tidak diberikan. Hal tersebut disebabkan karena selalu terjadi keributan ketika pementasan benjang.
Selain ingin terus menghadirkan benjang gulat dalam realitas keseharian masyarakat, Wa Mus pun ingin kembali menghidupkan topeng benjang yang keberadaannya semakin terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
"Di rumah juga ada yang nopeng, tapi ga ada yang ngendangnya. Tukang kendangnya tidak ada," ucap Wa Mus diselingi tertawa yang penuh keprihatinan.
Bahkan menurutnya ada sisi lain dari seni tradisi benjang yang juga terlupakan selama ini, saya yakni pengobatan.
Pengobatan benjang merupakan satu paket dengan benjang gulat. Karena bagaimanapun ketika latihan, mentas atau mengikuti pertandingan, para pebenjang tidak akan jauh dari cedera karena dibanting atau terkunci.
Pada titik itulah pengobatan tradisional benjang wajib dimiliki para pebenjang terutama orangtua yang terlibat dalam kegiatan benjang.
Suara tetabuhan yang mulai senyap, seiring terbang dan kendang, Terompet dan sinden yang membereskan peralatan. Sebuah catatan kaki tentang benjang, membayang dalam nalar. Ketakutan Wa Mus akan tenggelamnya benjang dalam hiruk pikuk peradaban modern, sesungguhnya bukan hanya milik Wa Mus. Melainkan milik setiap orang yang terlibat dan mencintai seni budaya warisan leluhur.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun benjang telah memberi identitas pada negeri ini akan kehadiran gulat tradisi yang sarat nilai kehidupan. Namun bukan hanya ans sich, olahraga fisik yang mengandalkan kekuatan tubuh, tetapi unsur kedalaman hidup terkandung dalam setiap bunyi dan geraknya.
Lalu bagaimana perjalanan benjang pada kurun waktu puluhan tahun mendatang?
Akankah punah? Atau justru semakin menggeliat?
Tidak ada yang tahu.
Namun bukankah setiap tubuh manusia adalah tubuh sosial dan tubuh budaya. Bagaimana jika tubuh budaya anak-anak Cibiru, kelak berpuluh tahun ke depan kehilangan idéntitasnya sendiri? (Agus Bebeng)