Iwa Karniwa Klarifikasi Enam Hal dalam Nota Pembelaan

Konten Media Partner
5 Maret 2020 8:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang tindak pidana korupsi Eks Sekda Jabar Iwa Karniwa, Rabu (4/3). (Foto: Assyifa/bandungkiwari.com)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang tindak pidana korupsi Eks Sekda Jabar Iwa Karniwa, Rabu (4/3). (Foto: Assyifa/bandungkiwari.com)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Sidang tindak pidana korupsi Eks Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat Iwa Karniwa kembali dilaksanakan pada Rabu (4/3). Melalui persidangan tersebut, Iwa membacakan nota pembelaan terkait tuntutan 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp400 juta dari Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
ADVERTISEMENT
Dalam nota pembelaannya, Iwa mengklarifikasi enam hal terkait dakwaan dari Jaksa KPK. Hal pertama yang disebutkan oleh Iwa yaitu keikutsertaannya dalam penjaringan bakal calon Gubernur Jawa Barat.
"Perlu diketahui bersama, bahwa pada saat itu saya tetap fokus menjalankan tugas sebagai sekda. Penjaringan tersebut saya ikuti karena desakan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat Jawa Barat yang menginginkannya," ujar Iwa.
Selain itu, Iwa juga mengklarifikasi mengenai pertemuannya dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat Waras Wasisto, anggota DPRD Bekasi Soleman, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bekasi Neneng Rahmi, dan Sekretaris Dinas PUPR Bekasi Henry Lincoln di Rest Area KM 72.
Iwa menyebutkan, bahwa pada saat itu Waras lah yang memintanya untuk bertemu dengan pihak-pihak tersebut. "Jangankan seorang anggota DPRD, masyarakat Jawa Barat yang ingin menyampaikan kepentingannya, jika waktu dan alasannya memungkinkan, saya sangat terbuka untuk bertemu," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Iwa tidak memungkiri adanya pembicaraan mengenai Rancangan Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi dalam pertemuan tersebut. Namun, Iwa meminta membahas hal tersebut di kantornya.
"Saya tidak pernah menyampaikan permintaan atau menawarkan bantuan, apalagi mengharapkan imbalan," tutur Iwa.
Ia pun tidak memungkiri adanya pertemuan dengan keempat orang tersebut di ruangannya terkait pembahasan RDTR Kabupaten Bekasi. "Memang saya katakan akan membantu, apabila dokumen pengurusan tersebut telah lengkap dan sesuai," lanjutnya.
Menurut Iwa, ia hanya menghubungankan pihak-pihak tersebut dengan instansi yang berwenang. "Saya masih berpegang teguh dan berkeyakinan sepenuh hati, bahwa saya tidak bersalah karena apa yang saya lakukan tidak bertentangan dengan tupoksi saya sebagai sekda," ujar Iwa.
Selanjutnya, Iwa juga mempermasalahkan ketidakhati-hatian Jaksa KPK dalam menetapkan dakwaan. Awalnya, Jaksa KPK menduga adanya suap sebesar Rp900 juta untuk mempermulus keluarnya persetujuan substansi RDTR Kabupaten Bekasi. Namun dalam tuntutannya, jaksa hanya bisa membuktikan sebesar Rp400 juta.
ADVERTISEMENT
"Dampak dari fitnah tersebut telah menjatuhkan martabat saya dan keluarga. Pemberitaan mengenai sangkaan saya menerima uang sebesar Rp900 juta telah dipublikasikan secara masif. Dengan muèdahnya beliau mengubah tuntutannya," tuturnya,
Dalam pleidoi tersebut, Iwa juga membantah adanya permintaan kepada Neneng Rahmi maupun Henry Lincoln untuk mengadakan alat peraga kampanye terkait keikutsertaannya dalam penjaringan bakal calon Gubernur Jawa Barat. 
"Faktanya saya tidak pernah mengetahui atau melihat spanduk tersebut, tidak pernah tahu dipasang di mana spanduk tersebut," kata Iwa.
Iwa juga mengklarifikasi mengenai paraf miliknya yang terdapat dalam draf persetujuan substansi RDTR Kabupaten Bekasi. Menurutnya, ia membubuhkan paraf tersebut karena telah adanya paraf Deny Juanda yang merupakan Ketua Harian Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu saya tidak ragu memparaf, dengan keyakinan draf surat sudah dibahas dalam rapat pleno sesuai dengan ketentuan," tuturnya.
Ia pun mengatakan, draf tersebut tidak pernah ditandatangani oleh Gubernur Jawa Barat pada masa itu, yaitu Ahmad Heryawan. Sehingga, draf tersebut tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
"Pencari keadilan, Iwa Karniwa. Bandung, 4 Maret 2020," ujarnya. (Assyifa)