Kasepuhan Ciptagelar: Saat Tradisi Bertemu Teknologi

Konten Media Partner
10 Maret 2018 20:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kasepuhan Ciptagelar: Saat Tradisi Bertemu Teknologi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com
SUKABUMI, bandungkiwari - Selain teknologi turbin, masyarakat adat Ciptagelar mengolah pula media informasi secara mandiri, berupa stasiun televisi komunitas yang bernama Ciga TV dan stasiun radio yang diberi nama Radio Swara Ciptagelar.
ADVERTISEMENT
Siaran dua stasiun ini tentu tidak seberagam TV swasta lain yang saat ini dinikmati di kota besar. Umumnya tayangan berisi kegiatan di Ciptagelar, mulai dari pertanian, mainan anak-anak, seni angklung hingga upacara tradisi. Meski terkadang menayangkan pula film-film untuk hiburan masyarakat.
“Ciga TV selain sebagai sarana informasi untuk warga Ciptagelar, juga merupakan pendidikan untuk anak-anak untuk memahami dunia informasi,” ujar Yoyo Yogasmana yang merupakan juru bicara Kasepuhan, sekaligus pengelola Ciga TV.
Kasepuhan Ciptagelar: Saat Tradisi Bertemu Teknologi (1)
zoom-in-whitePerbesar
Yoyo Yogasmana (kanan pembaca) pengelola Ciga TV sedang melakukan proses penyuntingan video yang akan ditayangkan.
Dalam proses peliputannya Ciga TV memang menjadikan warga Kasepuhan sebagai reporter sekaligus kameramen. Mereka belajar secara otodidak tata cara mencari, mengolah informasi hingga proses penyuntingan dan penayangannya. Namun tidak jarang ketika kedatangan mahasiswa atau tamu dari luar yang faham dunia informasi, masyarakat tidak segan untuk meminta ilmu yang terkait dengan cara kerja jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Maka jangan merasa heran jika berkunjung ke tempat ini, tamu bisa melihat anak-anak yang merekam kegiatan dengan kamera maupun drone. Berada di kampung dan area pegunungan bukanlah halangan.
Seperti keberadaan teknologi, drone di Ciptagelar bukan diperuntukkan untuk hobi atau sensasi semata. Drone menjadi salah satu piranti penting yang digunakan untuk pemetaan daerah dan pemantauan area Ciptagelar yang berada di kawasan Konservasi Gunung Halimun. Namun bukan hanya sebatas pengguna teknologi dari luar, Abah Ugi sendiri merakit drone sesuai dengan kebutuhan di area Ciptagelar.
“Kadang suka berantem ama ibu-ibu di sini. Soalnya drone suka nabrak atap rumah,” ucap Abah Ugi yang bahkan saat ini tenggelam dalam pembuatan parabola berbahan tutup panci dan katel (wajan).
ADVERTISEMENT
Meski teknologi sudah diterapkan dalam laku hidup warga Ciptagelar, urusan yang terkait tradisi sama sekali tidak melibatkan teknologi. Bukan tidak mampu masyarakat di Ciptagelar menggunakan traktor atau menggunakan drone untuk memupuk tanaman, misalnya. Namun hal tersebut dianggap tabu atau pamali dilaksanakan.
“Adat istiadat tidak boleh hilang, meski kita memakai teknologi. Mengurangi tidak boleh, tetapi kalau menambah tidak apa-apa,” lanjut Abah Ugi.
Kasepuhan Ciptagelar: Saat Tradisi Bertemu Teknologi (2)
zoom-in-whitePerbesar
Junen sedang menerbangkan drone yang digunakan untuk keperluan pemantauan dan pengambilan foto area Ciptagelar.
Abah Ugi menjelaskan yang dimaksud mengurangi tidak boleh, adalah hal yang sudah digariskan dan diwariskan sejak lama tidak boleh dikurangi. Semisal dalam urusan pertanian padi, masyarakat Ciptagelar dilarang mengurangi apapun dalam tata adat mengelola padi. Semua aturan dijalankan sesuai pola yang sudah dilakukan secara turun temurun, mulai masa menanam hingga masa panen.
ADVERTISEMENT
Adapun yang bisa ditambah adalah wilayah di luar tradisi yang sudah ada. Seperti penggunaan turbin, tv, radio, gawai, internet yang tentunya harus diselaraskan dengan norma yang berlaku di masyarakat Ciptagelar.
Perkawinan tradisi dan modernitas itulah yang terjadi di Kasepuhan Ciptagelar. Masing-masing peradaban memiliki peran dan fungsinya tersendiri tanpa saling mengganggu bahkan membunuh peradaban itu sendiri.
Hal terpenting dari tradisi dan teknologi adalah hadirnya keseimbangan dalam hidup. Keseimbangan hubungan berbagai unsur yang ada di alam semesta, tanpa meninggalkan identitas lokal sebagai bangsa mandiri, dan tidak menuhankan teknologi sebagai pegangan hidup.
“Terpenting kita harus selaras dengan alam,” ucap Abah Ugi memungkas obrolan, menunggu datangnya pagi. (Agus Bebeng)