Kerentanan Buruh Migran Perempuan Lebih Tinggi dari Laki-laki

Konten Media Partner
13 Maret 2019 13:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Atribut unjuk rasa yang dibawa oleh ratusan aktifis perempuan dari 65 organisasi kemasyarakatan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Atribut unjuk rasa yang dibawa oleh ratusan aktifis perempuan dari 65 organisasi kemasyarakatan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Buruh migran perempuan (tenaga kerja wanita/TKW) memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Karena itu TKW yang bekerja di luar negeri juga perlu mendapatkan perlindungan lebih.
ADVERTISEMENT
“Tingkat kerentantan perempuan lebih tinggi dari laki-laki, tingkat perlindungan juga berebda dibanding laki-laki, apalagi untuk TKW yang menjadi jadi korban kekerasan seksual,” kata Direktur Sapa Institut, Sri Mulyati, saat dihubungi Bandungkiwari.
Adanya kasus kekerasan seksual menjadi salah satu faktor yang membuat TKW perlu mendapat perlindungan lebih. Menurut Sri, buruh migran perempuan yang mendapat kekerasan seksual akan menghadapi banyak tahap penanganan, mulai dari stigma, kehamilan, rusaknya organ tubuh, proses pemulangan, sampai pemulihan pasca-dipulangkan.
Ia mengungkapkan, berdasarkan data Forum Pengada Layanan (FPL) (Kab. Cirebon, Kab. Sukabumi, Kab.Bandung, Kota Bandung) pada 2018, total ada 325 kasus yang menimpa perempuan, termasuk buruh migran. Dari jumlah itu, kasus kekerasan seksual sebanyak 152 kasus, dan kasus perdagangan perempuan 24 kasus.
ADVERTISEMENT
Sri menuturkan salah satu kendala besar dalam melakukan pendampingan terhadap buruh migran ialah soal upaya pemulangan dari negara tempatnya bekerja, walaupun sudah ada keterlibatan lembaga negara.
“Misalnya kasus kehilangan kontak dengan TKW, tak bisa dijangkau dengan cepat. Bagi LSM yang tak punya akses hubungan ke luar negeri untuk pemantauan jadi kelusitan luar biasa,” katanya.
Kendala lain dalam pemulangan ini soal dana. LSM advokasi perempuan seperti Sapa Institut biasanya melakukan pendanaan secara patungan, bukan dari pemerintah.
“Terakhir kita pemulangan ke Cirebon, transit dulu di Batam dalam keadaan hamil dan depresi. Kami juga melakukan patungan dengan lembaga layanan Batam, Bandung, Cirebon. Pemda tahu masalah ini, tapi tak memberi kontirbusi dengan alasan angaran belum cair, anggaran ada di provinsi. Harusnya anggaran tersebut juga ada di kabupaten,” tutur Sri.
ADVERTISEMENT
Ia menuturkan, banyak kasus TKW yang kerja di luar negeri tanpa memiliki kelengkapan dokumen (undocumented). TKW inilah yang biasanya sulit dipulangkan terutama jika tertimpa kasus.
Menurutnya, kasus TKW tersebut seringkali disebut illegal. Namun Sri menegaskan, status mereka yang illegal tak bisa disalahkan. Hal ini justru jadi bukti lemahnya pemantauan untuk meminimalisir tenaga kerja illegal.
Salah satu kasus TKW yang mencuat ialah Siti Aisyah yang menjadi terdakwa pembunuhan bersama seorang wanita Vietnam Doan Thi Huong. Mereka ditangkap pada Februari 2017 atas pembunuhan Kim Jong-nam, abang tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di bandara Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka dituduh mengusapkan cairan kimia VX yang membunuh Kim Jong-nam. Kedua perempuan tersebut kemudian menjadi terdakwa pengadilan Malaysia. Setelah melewati proses hukum yang panjang, Pengadilan Malaysia pada Senin (11/3) kemudian membebaskan Siti Aisyah.
ADVERTISEMENT
Menurut Sri, kasus Siti menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan pemantauan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
“Ini sebagai bahan evaluasi terhadap lemahnya pemantauan dan implementasi kebijakan sehingga banyak TKW yang bisa lolos. Soal mereka illegal atau kami menyebutnya undocumented, itu tidak bisa jadi dalih untuk lepas tanggung jawab dalam memberikan perlindunganan,” tandasnya. (Iman Herdiana)