Kisah Cinta Bilal Bin Rabah untuk Sang Nabi yang Anti-Diskriminasi

Konten Media Partner
19 Mei 2019 12:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Teater "Kasidah Cinta Bilal Sang Muadzin" di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung, Sabtu (18/5). Teater ini garapan kelompok teater Senapati yang dinahkodai oleh Rosyid E. Abby. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
zoom-in-whitePerbesar
Teater "Kasidah Cinta Bilal Sang Muadzin" di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung, Sabtu (18/5). Teater ini garapan kelompok teater Senapati yang dinahkodai oleh Rosyid E. Abby. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Dakwah tentu tidak harus identik dengan khotbah atau membuat kelompok pengajian agama. Beragam cara mampu dilakukan untuk melakukan ajakan, seruan atau imbauan yang terkait dengan menerjemahkan konteks agama pada sisi realitas sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara yang mampu dilakukan semisal dengan pementasan seni teater bernuansa islami.
Tersebutlah kelompok Teater Senapati Bandung. Kelompok yang dinahkodai oleh Rosyid E. Abby ini kerap hadir pada saat puasa dengan mementaskan beragam sisi sejarah Islam dengan tema besar 'Kasidah Cinta'.
'Kasidah Cinta' yang terus bergulir sejak 2007 lalu melahirkan banyak pementasan yang bertema sejarah Islam. Seperti pementasan di Rumentang Siang, Teater Senapati Bandung mementaskan teater bertajuk 'Bilal Sang Mu'adzin' pada Sabtu (18/5).
Rosyid E. Abby yang menulis naskah sekaligus menjadi sutradara pementasan mencoba menghadirkan satu sisi sejarah tentang seorang Bilal.
Kisah ini menceritakan tentang Bilal bin Rabah yang tertarik ajaran Nabi Muhammad yang tak membeda-bedakan (diskriminasi); majikan dan hamba, kaya dan miskin, berkulit putih dan berkulit hitam, orang Arab dan non-Arab.
ADVERTISEMENT
Bilal mengucapkan kalimat Syahadat. Dirinya termasuk golongan orang yang kali pertama masuk Islam. Selain Ammar bin Yassir, Yassir, Sumayyah, Shuhaib, dan Al-Miqdad.
Bilal adalah seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah (Ethiopia). Di mata majikannya, Umayyah bin Khalaf, Bilal hanya budak belian yang tak punya hak milik terhadap dirinya sendiri. Dia tak boleh masuk Islam, kecuali harus seizin majikannya.
Namun Bilal memiliki keyakinan, hanya Allah yang sesungguh-sungguhnya majikan; majikan bagi dirinya, majikan bagi Umayyah, bahkan majikan bagi semua umat manusia. Jadi, yang sesungguh-sungguhnya majikan itu tiada lagi kecuali Allah SWT.
Karena keimanannya itulah, Bilal harus mengalami siksaan dari majikannya dan dari orang-orang kafir lainnya. Dia diikat dan ditelentangkan di padang pasir, di bawah teriknya matahari. Sementara sebongkah batu besar menindih dadanya yang tipis.
ADVERTISEMENT
Dia pun dicambuk untuk tidak mengakui Allah sebagai tuhannya. Akan tetapi, dengan ketabahannya yang luar biasa, tak sekalipun mulut Bilal lepas dari kata-kata "Ahad! Ahad!".
Baginya, kata Ahad itu memberikan kekuatan luar biasa dalam menjalani siksaan tersebut, juga serasa memberi semangat padanya untuk semakin mempertebal keimanannya terhadap Allah.
Karena keimanannya itu pulalah, akhirnya Abu Bakar ash Sidiq menebus/membeli dia dari majikannya itu. Bilal kemudian menjadi orang yang selalu dipercaya Rasulullah untuk selalu mendampingi ke mana pun beliau pergi.
Bilal, budak berlian yang terbebas dari belenggu itu, memiliki suara yang merdu. Sehingga akhirnya Rasulullah memberi kepercayaan kepadanya sebagai muadzin (juru adzan).
"Kasidah Cinta Bilal Sang Muadzin" adalah gambaran dan bukti cinta Bilal terhadap tuhannya, Allah Azza wa Jalla, dan Rasul-Nya, Muhammad SAW," ucap Rosyid usai pementasan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi di luar konteks cerita yang dipentaskan, 'Kasidah Cinta' sendiri bagi Rosyid merupakan misi seni yang mengusung muatan pendidikan agama dan bahasa.
Dalam segi pendidikan agama, Rosyid menjelaskan bagaimana kelompoknya mementaskan teater sejak 2006 dengan segmentasi penonton para pelajar.
"Kalau dalam segi bahasa, jelas kita mengajak anak-anak pelajar dan masyarakat umum untuk tetap mengenali dan menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian," ungkapnya.
Kelompok teater yang dibangun sejak 17 tahun lalu ini memang berawal dari komunitas kecil teater SMA Pasundan 3 Bandung.
Dalam perjalanan berkeseniannya, kelompok ini selalu menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar pertunjukan.
Selain memang memiliki misi melestarikan bahasa lokal, hal tersebut tiada lain karena latar kesenimanan Rosyid yang aktif dalam sastra Sunda.
ADVERTISEMENT
Kembali pada persoalan Ramadan sebagai bulan meningkatkan keimanan, kelompok ini memang selalu hadir dengan pementasan religiusitasnya pada aspek kesejarahan Islam.
Mungkin inilah salah satu darma bakti teater untuk membumikan kembali sejarah Islam kepada para pelajar, meski mereka harus bekerja keras membangun produksi tanpa keterlibatan sponsor dari manapun. (Agus Bebeng)