Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten Media Partner
Konflik Agraria Jadi Isu Utama Pertemuan Internasional di Bandung
14 September 2018 9:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB

ADVERTISEMENT
Ketua Panitia GLF 2018 Iwan Nurdin. (Utara Jaya)
BANDUNG, bandungkiwari - Konflik agraria di Indonesia bakal dibahas menjadi isu utama dalam konferensi internasional Global Land Forum (GLF) 2018. Berlangsung setiap tiga tahun sekali, dan kali ini akan gelar di Bandung pada 22-27 September.
ADVERTISEMENT
Ketua Panitia GLF 2018, Iwan Nurdin mengatakan permasalahan agraria di Indonesia cukup pelik sehingga kerap berubah menjadi konflik sosial. Maka, dia memastikan isu konflik agraria ini patut menjadi tema pembahasan dalam GLF 2018 yang diprediksi bakal diikuti oleh ratusan perwakilan dari 70 negara.
"Ada tiga hal penting yang harus dibahas, satu penyelesaian konflik agraria, kedua soal pembangunan pedesaan dan ketiga soal reformasi agraria itu sendiri, yaitu tata cara bagaimana ketimpangan tanah itu berakhir," kata Iwan di Bandung, Kamis (13/9/2018).
Menurut Iwan, Indonesia juga salah satu negara dengan kasus konflik agraria terbanyak. Dari catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Dia menyebutkan pada 2017 lalu terdata 667 konflik agraria yang melibatkan masyarakat, investor maupun dengan pemerintahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
"KPA itu mencatat setiap tahun atau di 2017 kemarin itu ada 657 konflik, kalau luasan kira-kira lebih dari 500 ribu hektar," tegas Iwan yang juga berposisi sebagai Ketua Dewan Nasional KPA.
Jumlah tersebut dinilainya berpotensi bakal terus meningkat, mengingat kasus lama yang masih ada sampai sekarang pun banyak belum tertuntaskan sepenuhnya. "Setiap tahun konflik agraria meningkat tapi proses penyelesaiannya itu tidak bisa kita sebut berhasil," tegasnya.
Sebagai salah satu indikatornya, Iwan menyatakan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia begitu jomplang, sehingga berdampak pada pergeseran menjadi konflik sosial. Sebab, segelintir pihak baik perorangan maupun satu korporasi yang bisa menguasai hak atas tanah yang sangat luas.
"Indeks gini rasio di bidang soal tanah itu 0,6 kalau indeks gini rasio bidang pengeluaran memang 0,34. Artinya itu sangat tinggi, jadi ada sedikit orang yang menguasai tanah begitu luas dan banyak orang menguasai begitu sempit bahkan tidak bertanah," katanya. (Utara Jaya)
ADVERTISEMENT