Lahirnya Istilah "Halalbihalal" di Masa Kiai NU dan Sukarno

Konten Media Partner
2 Juli 2019 18:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Halalbihalal Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bandung. (Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Halalbihalal Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bandung. (Dok. Istimewa)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Suasana halalbihalal masih dirasakan lapisan masyarakat Indonesia yang telah menunaikan ibadah Ramadan bulan lalu. Hal ini pula yang dilakukan sejumlah organisasi masyarakat, antara lain, halalbihalal yang digagas Pengurus Cabang (PC) Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Halalbihalal tersebut terbilang unik, karena membahas sejarah halalbihalal itu sendiri. Ulasan sejarah ini disampaikan tokoh NU KH. Habib Syarif Muhammad Al-Aydarus -Assalam.
“Halalbihalal historisnya adalah ketika Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia meminta nasihat dan arahan dari Kiai Wahab untuk memecah kebuntuan para politikus di Indonesia yang membeku pascapemilu, maka saran Mbah Wahab adalah dengan mengadakan pertemuan di bulan Syawal dengan saling memaafkan kesalahan sesama anak bangsa dengan nama halalbihalal,” papar KH. Habib Syarif, saat dikonfirmasi, Selasa (2/7).
Kiai Wahab yang dimaksud KH. Habib Syarif adalah Mbah KH. Wahab Hasbullah, Rais Aam PBNU di masa Presiden Sukarno. Kiai Wahab juga tokoh Sarekat Islam.
Habib Syarif melanjutkan ulasan jejarahnya sial halalbihalal, bahwa istilah halalbihalal diambil karena sangat Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Itulah mengapa warga NU dan bangsa Indonesia pada umumnya harus tetap memakai nama halalbihalal dalam pertemuan silaturahmi di bulan Syawal untuk saling memaafkan,” terangnya seraya menambahkan istilah halalbihalal harus tetap dipakai mengingat yang menamakannya adalah Mbah KH. Wahab Hasbullah yang sohor karena pemikiran agama maupun politiknya itu.
Acara halalbihalal yang digagas PC NU Kota Bandung sendiri digelar 28 Juni lalu, seperti dikutip dari siaran pers PC NU Kota Bandung. Selain mengungkap sejarah halalbihalal, juga melacak akar historis NU di Kota Bandung.
Halalbihalal Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bandung. (Dok. Istimewa)
Acara menghadirkan narasumber para kiai Kota Bandung, selain KH. Habib Syarif, juga KH. Maftuh Kholil, KH. Zaenal Abidin Somawijaya, KH. Ahmad Suherman, KH. Agus Syarif Hidayatullah selaku Ketua Tanfidziyah Kota Bandung, Ketua Ansor Kota Bandung AA. Abdul Rozak, Lora Wayan sejarawan muda UIN Bandung. Acara diikuti ratusan Banser dan santri muda NU.
ADVERTISEMENT
Diawali lantunan ayat suci Al-Quran dan kesenian religi, bedah sejarah NU Kota Bandung dipandu moderator Kiai Wahyul Afif Al-Ghofiqi /Kang Mako selalu sekretaris NU Kota Bandung. Diskusi mengangkat tema sarasehan “Halaqoh Sejarah Kota Bandung”.
Dalam pemetaan awal Sejarah NU Kota Bandung pembicara pertama pemerhati sejarah Abdullah Alawi atau Abah Zuma membeberkan data-data tentang keberadaan dan geliat NU di Bandung melalui pendirian rumah berobat, kegiatan-kegiatan NU dari kursus bahasa Belanda, advokasi hukum, sampai Kongres NU di Bandung, serta kiprah para ulama terdahulu dari Pesantren Sukamiskin, Pesantren Sirnamiskin, Pesantren Cijawura, dan lainnya.
Terdapat juga nama-nama seperti Mama Zarkasy Cibaduyut, Habib Utsman Al-Aydarus Sasak Gantung, Mama Gedong, Mama Dimyati, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Juga, peranan Raden Aria Wiranatakusumah II alias Dalem Kaum I (Bupati Kabupaten Bandung 1794-1829) dalam mensupport NU di Bandung. Tidak kalah pentingnya kisah tentang Ibu Djuaesih tokoh perempuan Bandung dalam mendorong berdirinya organisasi perempuan di tubuh NU yang disampaikan dalam pidato dihadapan para kyai dalam Muktamar NU di Menes, Banten.
Dalam kesempatan tersebut Habib Syarif juga mengatakan, style NU Kota Bandung berbeda dengan NU di daerah lain. Pelaku dan penggerak NU ini menjelaskan, NU Kota Bandung ditopang para saudagar kaya dari Palembang dan Pekalongan hingga bisa bergotong royong membangun NU.
Sedangkan Kiai Zaenal Abidin Somawijaya sebagai kader NU yang aktif sejak usia muda merasakan benar bagaimana menjadi pengurus Ansor maupun NU itu harus bisa ngaji. Dalam artian, bukan hanya ngaji Al Quran tapi juga bisa membaca Kitab Kuning, minimal paling dasar kitab Safinatun Najah.
ADVERTISEMENT
“Itu NU zaman dahulu semua pengurus dari tingkat ranting sampai pusat minimal harus bisa ngaji atau baca berjanji,” kata tokoh yang pernah menjadi Ketua Ansor tingkat ranting hingga pengurus cabang ini.
Demikian juga Kiai Maftuh yang mengatakan bahwa menjadi pengurus NU sampai menjadi Ketua Tanfidziyah merupakan amanah kepada para kiai dan umat agar NU tetap kokoh dan merakyat. Kiai Maftuh merupakan ketua Tanfidziyah pertama asal Bandung.
Pemaparan lainnya disampaikan Kiai Ahmad Suherman. Mantan aktivis Ansor ini menceritakan bagaimana Ansor dan NU di Bandung langsung dibesarkan oleh pengurus PBNU pusat. Ada tim 9 kiai yang ditugaskan untuk menyebarkan aswaja dan kaderisasi di seluruh wilayah seperti Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Asnawi, Kiai Idris kamal, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Bisri Samsuri, Kiai Solikhin, Kiai Abdul Halim, Kiai Abas, Kiai As’ad Samsul Arifin.
ADVERTISEMENT
Termasuk generasi sesudahnya, antara lain Mahbub Junaedi yang dikenal sebagai penulis, pendiri PMII, singa podium. Mahbub Junaedi juga politikus sekaligus pengurus PBNU yang ikut terjun membesarkan NU Kota Bandung.
Pada masa Orba masih berkuasa gerakan NU dibekukan termasuk di Jawa Barat, dan lebih spesifik Kota Bandung sebagai Ibu Kota Provinsi. Maka tak ayal kalau Kota Bandung menjadi sorotan ke-NU-an nya hingga sekarang.
Menurut Suherman, Mahbub Junaedi juga seorang organisatoris handal. Pada era Walikota Ateng Wahyudi, gagasan Mahbub Junaedi tentang program Rihlah Khittah mampu membawa hasil baik.
Pengurus NU Kota Bandung yang dimentor oleh Mahbub Junaedi kemudian disandingkan dengan Walikota Bandung, yang akhirnya membuat NU mempunyai daya tawar tinggi di hadapan pengambil kebijakan. Di tahun 1996 gedung NU yang di Jalan Yuda Kota Bandung direnovasi menjadi megah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di masa Orba NU dipandang sebagai oposisi. Mahbub Junaedilah yang meredakan ketegangan dengan penguasa walaupun taruhannya harus mendekam di jeruji besi sampai bertahun- tahun.
Mahbub Junaedi meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Bandung. Padahal Mahbub kelahiran Jakarta. Ini menandakan bahwa Mahbub berperan dalam membesarkan NU di Bandung yang tetap eksis sampai sekarang. (Iman Herdiana)