Manikmaya, Kolaborasi Musikus Difabel yang Teduh dan Inklusif

Konten Media Partner
4 Mei 2019 11:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kelompok musik Manikmaya saat tampil di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
zoom-in-whitePerbesar
Kelompok musik Manikmaya saat tampil di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Rabu (1/5) sore usai hiruk pikuk May Day yang menyedot perhatian dunia, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, sekelompok grup musik memainkan irama ceria.
ADVERTISEMENT
Harmonisasi musik menenangkan kepala dan pikiran yang sebelumnya menyala seperti tungku perapian revolusi. Suluh-suluh kayu abadi yang diteriakan para buruh padam di ruangan itu.
Manikmaya nama grup musik yang menenangkan itu. Beraliran pop yang renyah dengan irama sejuk di telinga, mengajak anak muda di ruangan menggerakkan badannya.
Kelompok musik Manikmaya saat tampil di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
Selain permainan musik mereka yang menawan, sebenarnya ada hal lain yang melahirkan tanda tanya di kepala.
Tiada lain karena melihat dua musisi disabilitas terlibat di dalamnya. Ada Ovin Hartawijaya yang penyandang tunanetra dan Imam Mutaqin yang tunadaksa. Keduanya sama-sama memainkan gitar.
Mereka bermain lepas dengan canda tawa bersama; Raindah Maudina vokalis yang sedang menyelesaikan kuliah. Ada pula Geani Budiningsih Istira penggebuk drum; tidak tertinggal Rizki Permana, seorang basis yang berangkat dari dunia mengamen dan jalanan.
ADVERTISEMENT
Sempat terpaku ketika kamera membekukan mereka sesaat. Naluri bertanya pun hadir seperti Plato yang mengubek pasar demi mencari akar kebenaran.
Usai memainkan beberapa lagu pada acara salah satu Karang Taruna di kota Bandung. Mereka berkumpul dalam satu meja. Ovin dituntun menuju bangku, sementara Imam duduk manis di kursi roda yang didorong sahabatnya.
Kelompok musik Manikmaya saat tampil di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
Mereka yang menamakan diri Manikmaya, memang tidak membedakan di antara para personelnya.
Manikmaya seolah menjadi muara yang memertemukan para pecinta harmoni dalam ruang inklusi bersama.
"Awalnya kami hanya bertiga. Ada saya, Iki dan Ovin," ucap Raindah Maudina sang vokalis yang kerap dipanggil Indah, membuka kisah kelompoknya.
Dalam perjalanan melarung di kancah musik akhirnya Gea dan Imam ikut terlibat menjadi satu kesatuan yang utuh. Mereka bersama membangun kesadaran dan kampanye tentang arti persahabatan tanpa batas.
ADVERTISEMENT
Nama Manikmaya memang memiliki makna pilosofis bagi mereka. Dalam dunia pewayangan Manikmaya memang menjadi salah satu tokoh disabilitas.
"Kenapa memilih nama itu, karena kami ingin bermusik tanpa ada batasan. Kita pengin nunjukkin ke masyarakat, bahwa teman difabel bisa bermusik," tegas Indah.
Sementara itu Ovin penyandang disabilitas netra menginginkan agar masyarakat bisa menerima keterbatasan individu penyandang disabilitas.
Sekat-sekat pembatas itulah yang ingin mereka dobrak dengan pendekatan musik. Apalagi dalam sudut pandang bermusik masyarakat bisa menilai kemampuan mereka bermain tanpa melihat sisi individual di dalam kelompoknya.
Kelompok musik Manikmaya. (Dok. Manikmaya)
Keinginan untuk menciptakan masyarakat inklusif itulah sebenarnya hal penting kehadiran grup musik ini.
Seperti diketahui masyarakat inklusif dapat diartikan sebuah masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan keberbedaan.
ADVERTISEMENT
Adapun yang dimaksud dengan berbagai bentuk perbedaan dan keberagaman di antaranya adalah keberagaman budaya, bahasa, gender, ras, suku bangsa, strata ekonomi. Serta termasuk di dalamya keberbedaan kemampuan fisik dan mental yang disebut disabilitas.
Percakapan sejenak bersama Manikmaya menghadirkan seribu jalan kebaikan. Musik sebagai jembatan menghadirkan kebijaksanaan memang terlalu tinggi.
Namun seorang sufi bernama Hazrat Inayat Khan pernah berkata, "Tidak ada yang lebih baik daripada musik sebagai sarana untuk mengangkat jiwa."
Semoga Manikmaya yang baru seumur jagung ini mampu mengejawantahkan masyarakat inklusif dengan harominisasi bunyi dan suara. (Agus Bebeng)