Membongkar Politik Antropologi Bersama Sarah Anaïs Andrieu

Konten Media Partner
29 September 2018 10:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Membongkar Politik Antropologi Bersama Sarah Anaïs Andrieu
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Peneliti Prancis, Sarah Anaïs Andrieu dalam presentasi ilmiah “Mencari Pribumi: Riwayat Etnografi dari Abad 19 Sampai Sekarang” di KaKa Café, Jalan Sultan Tirtayasa 48 Bandung. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Kolonialisme yang datang ke negeri-negeri terjajah, termasuk di Indonesia, tak lepas dari sokongan ilmu pengetahuan. Peneliti Prancis, Sarah Anaïs Andrieu, membedahnya dalam presentasi ilmiah “Mencari Pribumi: Riwayat Etnografi dari Abad 19 Sampai Sekarang”.
Sarah Anaïs Andrieu merupakan doktor antropologi sosial dari Lembaga penelitian Centre Asie du Sud-Est (CASE) Paris, Prancis. Ia lama menetap di Bandung untuk meneliti wayang golek Sunda. Dalam presentasi yang digelar di KaKa Café, Jalan Sultan Tirtayasa 48 Bandung, baru-baru ini, Sarah membongkar hubungan istilah pribumi dengan etnografi, antropologi dan kolonialisme.
Menurutnya, etnografi tak lepas dari antropologi yang resmi menjadi disiplin ilmu sejak abad ke-19. Lahirnya antropologi dalam konteks revolusi industri dan kolonialisme. Kolonialisme kemudian menyadarkan negeri-negeri barat akan keanekaragaman manusia.
ADVERTISEMENT
Fokus penelitian antropologi di awal-awal sebagai disiplin ilmu ialah evolusi manusia. Para peneliti bekerja di bawah bayang-bayang pemikiran evolusionisme dan primitivisme yang memandang kaum pribumi atau masyarakat di negeri jajahan sebagai fosil yang bakal punah sehingga perlu diabadikan melalui tulisan dan dokumentasi.
“Dengan demikian, memori kaum pribumi bisa diselamatkan. Upaya ini diyakini demi kebaikan orang-orang pribumi itu sendiri,” kata Sarah, di hadapan hadirin yang kebanyakan mahasiswa.
Doktrin awal antropologi itu menganggap pribumi sebagai korban yang pasrah menerima kolonialisme dan revolusi industri. “Tak dipikirkan bahwa pribumi punya akal dan punya strategi sendiri untuk bisa selamat,” kata perempuan yang mendapatkan gelar doktor bidang antropologi sosial dan etnologi dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS, Paris) pada tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Doktrin antropologi mendapat penentangan dari ilmuwan barat sendiri. Di Jerman lahir antropologi fungsionalis yang fokus pada aktor dan konteks penelitian. Mereka mengganti fokus dari sejarah dan masuk ke lapangan untuk mengerti kegiatan orang-orang yang ditelitinya.
Kemudian entografer Bronislaw Malinowski (1884-1942), peneliti Polandia yang belajar di Inggris, melakukan penelitian etnografi di Papua. Sarah menuturkan, Bronislaw datang ke Papua ketika Perang Dunia I meletus. Lebih dari 4 tahun Bronislaw melakukan penelitian mendalam di Papua.
Bronislaw kemudian melahirkan metode observasi partisipatori yang menuntut etnografer seharusnya tinggal di tempat yang dia teliti untuk berhubungan dengan masyarakat yang ditelitinya. Antara peneliti yang diteliti terjalin hubungan timbal balik yang tak berjarak.
Bronislaw menulis buku “Argonauts of the Western Pacific” (1922) yang kemudian menandai lahirnya etnografi kontemporer. Sarah menyebut Bronislaw sebagai pahlawan etnografi.
ADVERTISEMENT
Metode observasi partisipatori kemudian dipraktikkan Sarah dalam meneliti wayang golek dan melahirkan buku “Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda” (2018), hasil penelitiannya di Bandung selama 12 tahun.
Dari uraian sejarah itu, kata Sarah, istilah pribumi di Indonesia awalnya diciptakan sistem kolonial untuk membedakan dengan orang barat dan pendatang. Namun pasca-kemerdekaan, istilah pribumi dipakai pemerintah Orde Baru untuk membedakan warga negara pendatang seperti Cina, India, Arab dan lain-lain.
Pasca-reformasi, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gusdur menghilangkan istilah pribumi dan non-pribumi. Dengan tegas Gusdur menyatakan semua warga Indonesia adalah sama. Namun kini Sarah melihat masalah identitas kembali mengeras. Hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintah dan globalisasi. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT