news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

40 Persen Pengidap Thalasemia di Indonesia Ada di Jawa Barat

Konten Media Partner
9 Mei 2018 7:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
40 Persen Pengidap Thalasemia di Indonesia Ada di Jawa Barat
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kantong darah (Foto: Pixabay)
BANDUNG, bandungkiwari – Jumlah penyandang thalasemia di Jawa Barat tertinggi di antara provinsi yang ada di Indonesia. Penyandang thalasemia di Indonesia lebih dari sembilan ribu, sebanyak 40 persen di antaranya berasal dari Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Dokter hematolo‎gi onkologi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Susi Susanah menyatakan, saat ini tim khusus thalasemia terus berupaya mensosialisasikan penyakit kelainan sel darah itu, mulai di tingkat rumah sakit hingga puskesmas.
Tim tersebut disebar ke seluruh daerah untuk memberikan edukasi tentang thalasemia.
"Di tim kita menampung dan sosialisasi ke dokter dan rumah sakit serta puskesmas bagaimana merawat thalasemia ini, di kita (Jawa Barat) sekarang kurang lebih 3.500 an penyandang thalasemia," kata Susi di sela peringatan Hari Thalasemia Internasional di Trans Studio Bandung, Selasa (8/5/2018).
Susi menuturkan, jumlah penyandang thalasemia meningkat seiring adanya pengobatan yang ditanggung oleh pemerintah lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebab, kata dia, masyarakat lebih terbuka untuk melakukan pemeriksaan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, masyarakat enggan memeriksakan dirinya terkait thalasemia. Padahal resiko terkena thalasemia yang merupakan turunan dari orang tua ini cukup tinggi, sekalipun kedua orangtuanya tidak memiliki riwayat pengidap thalasemia berat.
‎"Di Kota Bandung ada sekitar 300-an, kalau di Bandung Raya sekitar 800‎ orang. Di Indonesia dari 9 ribu tercatat yang thalasemia mayor itu 40 persennya ada di Jawa Barat, dan sebetulnya itu under reporting karena masih banyak lagi," ujarnya.
Menurut Susi, biaya perawatan penyandang thalasemia tidak murah. Untuk satu orang dalam satu kali proses pengobatan saja bisa menghabiskan biaya paling kecil Rp 5 juta, atau bahkan mencapai Rp 10 juta.
‎"Satu pasien 350 sampai 400 juta per tahun kalau memang perawatannya betul," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu upaya menekan angka thalasemia, menurutnya perlu dilakukan konseling terhadap calon pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Sebab, kata dia, apabila pria dan wanita yang memiliki genetika pembawa sifat menjadi resiko besar untuk melahirkan anak mengidap thalasemia.
Apabila sudah terlanjur menikah, Susi juga akan memberikan edukasi agar ‎mempertimbangkan dengan sangat matang jika ingin memiliki anak. Walaupun, sambung dia, deteksi thalasemia bisa dilakukan sejak anak masih dalam kandungan.
‎"Kalau sudah menikah kita adakan konseling genetik, kalau keukeuh ketahuan pembawa sifat, kita akan kasih tahu. Saya punya pasien sampai kelima anaknya penyandang. Saat hamil bisa dilihat pada usia 12 minggu dari cairan ketuban‎," terangnya.
Susi menjelaskan, thalasemia merupakan penyakit genetika berupa kelainan sel darah yang mudah hancur. Apabila umur sel darah merah kurang dari 90 hari sudah hancur lebih dulu, terlebih dalam waktu lebih singkat, maka bisa dikatakan sebagai penyandang thalasemia berat.
ADVERTISEMENT
Dampak kelainan sel darah merah itu, lanjut Susi, zat besi akan keluar dan menumpuk pada organ lain di dalam tubuh. ‎Zat besi inilah yang kemudian menjadi persoalan karena untuk bisa menaikan darah merah harus dilakukan transfusi darah, sementara zat besi lama belum berkurang lalu darah baru yang masuk membawa zat besi baru.
"Ini bisa dinaikan dengan transfusi darah, kalau yang mayor itu sampai seumur hidup karena sel darah hancur ada kompensasi jadi besi itu sudah banyak, ditambah saat transfusi makanya jadi kelebihan, dan ini bsia numpuk di seluruh tubuh, jantung, hati dan kelihatannya makanya numpuk di kulit," ujarnya.
Penyandang thalasemia harus selalu meminum obat penurun zat besi. ‎Cara ini cukup ampuh meningkatkan angka harapan hidup penyandang thalasemia, dengan catatan, pasien harus disiplin minum obat.
ADVERTISEMENT
Obat penurun zat besi berupa sirup, tablet dan sunti. Sebelum ada obat tersebut, rata-rata pasien thalasemia meninggal di usia balita. “Sekarang sudah ada (yang hidup) lebih dari 40 tahun‎," ujarnya. (Utara Jaya)