Meninggalkan Atribut Demi Menghindari Diskriminasi

Konten Media Partner
21 November 2018 8:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Meninggalkan Atribut Demi Menghindari Diskriminasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lula memilih tinggal di sebuah apartemen daripada di tempat kost yang lingkungannya cenderung diskriminasi. (Mega Dwi Anggraeni)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - “Ketika beribadah, gue akan meninggalkan atribut dan kembali menjadi laki-laki. Karena kodrat gue laki.”
Lula, duduk di atas tempat tidur queen sizenya. Tangannya menggenggam satu handphone, sementara satu handphone lain dan iPad nya tergeletak di sampingnya. Matanya yang besar dan bulat menatap layar handphone dalam genggamannya. Rambut panjang imitasinya tergerai di bahu. Selama beberapa saat dia diam sebelum akhirnya mulai berbicara.
“Ini, salah satu yang akhirnya bikin gue membulatkan tekad untuk belajar agama Islam,” katanya kepada Bandung Kiwari, beberapa waktu lalu di kamar apartemennya.
Dia baru saja membaca beberapa ayat Al-Quran dari aplikasi handphonenya, sembari membaca pesan dari teman-temannya.
Lula memang baru belajar agama Islam selama beberapa bulan terakhir. Sejak kecil, transgender kelahiran 22 tahun lalu itu selalu rajin beribadah di salah satu Gereja Katolik bersama ibu dan adik-adiknya. Setiap Minggu pagi dan perayaan besar lainnya, bersama-sama mereka berangkat ke gereja. Beranjak dewasa, urusan ibadah pelan-pelan dia tinggalkan. Hanya sesekali saja dia datang ke gereja bersama keluarga besarnya.
ADVERTISEMENT
Selama menjalankan ibadah, Lula kerap meninggalkan rambut palsu, kuku palsu aneka warna, rok, dan lainnya. Hingga dia tidak perlu mendengar intimidasi atau diskriminasi dari orang-orang di sekitarnya. Apalagi tidak banyak keluarga yang mengetahui identitasnya sebagai seorang transgender.
“Cuma Mamah dan adik-adik gue yang tahu,” imbuhnya.
Alasan itu juga yang membuat Lula akhirnya meninggalkan rumah. Dia memilih menyewa satu unit apartemen. Menurutnya, apartemen adalah pilihan paling tepat untuk tempat tinggalnya saat ini. Lantaran para penghuninya tidak terlalu memedulikan statusnya sebagai transgender. Meski, beberapa kali Lula mendapatkan tatapan tidak menyenangkan dari beberapa orang. Tapi hanya sebatas itu. Berbeda ketika dia tinggal di kamar kost.
“Gue pernah tinggal di kostan, ibu kostnya sih ngga masalah. Yang jadi masalah tetangga-tetangga, pokoknya gimana caranya supaya gue diusir dari sana,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sekarang Lula bisa lebih bebas mengekspresikan dirinya sebagai transgender. Dia bisa memakai berbagai macam model dress sesuai keinginannya. Merias wajahnya dengan berbagai jenis make up, sesuai kebutuhannya. Dia juga tidak lagi memedulikan intimidasi, kecuali jika menurutnya sudah sangat keterlaluan. “Paling gue bales memaki,” ujarnya menutup obrolan.
Doa Ibu untuk Neng Lula
Meninggalkan Atribut Demi Menghindari Diskriminasi (1)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Pixabay)
“Sebagai ibu, saat ini saya hanya memberikan dukungan pada Neng Lula supaya menjalani hidupnya dengan baik,” kalimat itu muncul dari mulut Yanti.
Sekilas, penampilan Yanti memang mirip dengan Lula. Tubuhnya tampak proporsional dengan tinggi sekitar 160 cm dan berat di bawah 60 kg. Kulitnya kecokelatan, dengan rambut legam sepanjang punggung. Sorot matanya tajam, tapi sesekali bibirnya membentuk segaris senyum.
ADVERTISEMENT
Bukan hal mudah bagi Yanti untuk membicarakan putranya. Terlebih, keluarga besarnya belum mengetahui status putra sulungnya yang kini mengganti namanya menjadi Lula. Sembari duduk di lantai ruang tamu, Yanti mengaku kebingungan menghadapi keluarga dan putranya. “Saya ngga tahu harus bagaimana lagi menghadapi, Neng Lula,” imbuhnya.
Sejak memutuskan menikah ketika keluar SMA, Yanti berusaha mendidik anak-anaknya sebaik mungkin. Tetapi dia mengaku tidak bisa berbuat apa-apa ketika mengetahui putra sulungnya lebih menyukai lelaki. Yang bisa dia lakukan hanya mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang LGBTI. Berbagai referensi pun dia baca.
“Dulu saya pikir dia bermake up untuk latihan, karena kan dia sekolah menari,” katanya. Tapi rupanya, pemikirannya salah.
Meski perempuan kelahiran 42 tahun lalu itu mengaku tidak sepakat dengan keputusan putranya, tapi dia tidak keberatan dengan keputusan Lula untuk berpindah agama. Yanti bahkan mengaku akan memberikan dukungan kepada putranya, jika dia serius dengan keputusannya. Apalagi, sejak Lula dan adik-adiknya masih kecil, Yanti sudah memberikan kebebasan memilih agama kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Apalagi ajaran toleransi sudah dia tanamkan kepada anak-anaknya sejak dini. Meski beragama Katolik, terkadang, Yanti dan anak-anaknya ikut berpuasa ketika Bulan Ramadan. Bukan hanya itu, mereka juga kerap terlibat dalam kegiatan di masjid saat Ramadan.
“Kalau Neng Lula memang serius dengan keputusannya, ya saya akan mendukungnya. Mau pindah ke agama apapun, terserah. Asal dijalankan dengan benar. Karena toh, tidak ada agama yang mengajarkan keburukan,” katanya.
Yanti yang juga baru menjadi mualaf memang ingin memperdalam ilmunya. Dengan harapan, bisa mentransfer ilmu yang dia dapat kepada Lula suatu hari nanti. Tapi untuk saat ini, Yanti hanya bisa berdoa supaya Lula bisa menjadi orang yang lebih baik dengan perubahan yang sudah dia lakukan.
ADVERTISEMENT
“Mana ada sih ibu yang mau anak laki-lakinya jadi perempuan. Tapi ya mau bagaimana lagi. Itu pilihannya.”
Butuh Waktu Menerima Perbedaan
Meninggalkan Atribut Demi Menghindari Diskriminasi (2)
zoom-in-whitePerbesar
Sosiolog Unpad Budi Rajab. (Iman Herdiana)
Bukan hal mudah untuk menerima perbedaan, terutama di wilayah yang memiliki catatan sejarah panjang tentang intoleransi. Meski, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara.
Lula hanya satu dari ratusan transgender yang memilih meninggalkan rumah untuk menghindari perlakuan kurang menyenangkan di lingkungan tempat tinggalnya. Dia juga harus rela menghapus make up yang menghiasi wajahnya, mengganti pakaian perempuannya ketika melakukan ibadah supaya bisa diterima masyarakat.
Sosiolog Universitas Padjadjaran Budi Rajab menilai, hal tersebut terjadi karena masyarakat masih kesulitan memahami perbedaan. Meskipun Bhineka Tunggal Ika, sebagai ideologi negara sudah ditanamkan sejak masih duduk di bangku sekolah.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya muncul warga minoritas, bukan hanya para komunitas transgender. Tetapi juga warga yang perilaku, agama, dan kepercayaannya dinilai berbeda, mereka akan ditinggalkan,” katanya kepada Bandung Kiwari.
Menurut Dosen Fakultas FISIP Unpad itu, masyarakat masih kesulitan menjalankan peran sebagai warga negara yang mampu menerima perbedaan, sesuai dengan dasar-dasar negara. Terlebih, di daerah yang memiliki catatan sejarah panjang terkait kasus intoleran, seperti Jawa Barat.
“Banyak sejarah, panjang kalau disebutkan satu per satu. Tapi sebagai salah satu contohnya adalah masalah agama,” ujarnya.
Sampai saat ini Bumi Pasundan memang tercatat sebagai daerah dengan catatan intoleransi tertinggi di Indonesia. Berdasarkan survei yang dikeluarkan oleh Wahid Foundation tahun 2017 lalu, sebanyak 46 kasus intoleransi terjadi di Jawa Barat. Disusul Aceh dan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Penetapan Kota Bandung sebagai Kota Ramah HAM oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil pada 2015 lalu menurut Budi bukan tindakan tepat untuk mengubah pola pikir, cara pandang, dan pemahaman masyarakat tentang perbedaan.
Menanamkan pemahaman tentang perbedaan merupakan tugas yang membutuhkan perjuangan panjang dari pemerintah juga masyarakat. Jika tidak segera dilakukan, Budi mengatakan perubahan tidak akan terjadi. Masyarakat semakin sulit menerima perbedaan, dan penolakan dengan berbagai bentuk pelanggaran HAM pun akan terus terjadi.
“Salah satu upayanya memberikan sanksi tegas kepada para pelaku pelanggaran, seperti yang terjadi di luar negeri. Tapi kan sampai saat ini, pemerintah cenderung melakukan pembiaran,” tutupnya.
Transgender Tak Melanggar Hukum
Meninggalkan Atribut Demi Menghindari Diskriminasi (3)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur LBH Bandung, Willy Hanafi. (lbhbandung.or.id)
Menjadi transgender adalah hak asasi warga negara untuk mengekspresikan diri. Negara juga sudah memberikan perlindungan hukum dengan menerbitkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya regulasi yang melindungi transgender sebagai warga negara, Direktur LBH Bandung, Willy Hanafi menyebutkan seharusnya warga dan para aparat penegak hukum memiliki perspektif tentang perbedaan yang mereka miliki.
“Bukan karena mereka berbeda akhirnya perlindungan hukumnya jadi dibeda-bedakan juga,” ujarnya.
Dalam konteks HAM, transgender juga merupakan warga negara dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Mereka berhak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya, berhak mendapatkan layanan kesehatan yang sama dengan warga negara lainnya, berhak memiliki tempat tinggal, dan lain sebagainya.
“Toh sebagai warga negara, teman-teman transgender juga memiliki kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Jadi sudah seharusnya mereka juga mendapatkan hak yang sama seperti warga negara lain,” ujarnya menambahkan.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari aspek hukum transgender tidak bisa disebut sebagai pelaku pelanggaran hukum. Willy menyebutkan, tidak ada satu pun pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyebutkan transgender sebagai pelanggar tindak pidana. “Hukum apa yang mereka langar? Pasal berapa?” ujarnya bertanya.
Melihat kondisi saat ini, Willy menilai masyarakat dan pemerintah masih kurang mendapat pendidikan terkait pluralisme yang ada. Sehingga, masih banyak kekerasan yang menimpa komunitas transgender. Mengambil contoh, ketika terjaring operasi K3, transgender kerap dipermalukan dan mendapat perlakukan kurang manusiawi. Mulai dari digunduli hingga diminta untuk bertobat, seperti yang terjadi di Ciamis beberapa waktu lalu.
Untuk menekan angka diskriminasi gender, LBH Bandung terus mendorong pemerintah untuk menghentikan dan menindak tegas kelompok masyarakat yang melakukan sweeping atas nama Perda K3. Menurut Willy, kalaupun Dinas Sosial melakukan operasi terkait transaksi seksual yang dilakukan tidak pada tempatnya, mereka harus melakukannya dengan standar HAM.
ADVERTISEMENT
“Berkaca dari kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, ketika ada kasus penipuan dan pelecehan, ya tindak pidana itu yang harusnya diajukan. Jangan sampai dibungkus dengan isu aliran sesat. Sama seperti transgender, jangan akhirnya mereka dipidana karena statusnya,” katanya. (Mega Dwi Anggraeni)