Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Menjaga dan Menyelami Tradisi Tari Topeng Indramayu
20 Juni 2018 15:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Wangi Idriya tampil mementaskan tarian Topeng Klana, Indramayu. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari.com)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Dari balik bilik miring dan tembok kusam sejumlah orang tua dan beberapa bocah bermunculan. Mereka disedot suara tetabuhan yang terdengar nyaring menggoncang daerah Anjun di Indramayu. Warga perlahan menyemut memperhatikan dengan seksama sosok perempuan berparas ayu yang telah berdiri gagah di tengah panggung sederhana.
Dialah Wangi Indriya. Penari Topeng senior yang namanya tidak asing di jagad tari nasional maupun internasional. Rekam jejak digital mencatat dirinya terlibat di beberapa pementasan dalam dan luar negeri dengan para koreografer kelas dunia. Namun Wangi tetaplah seharum namanya, tidak sungkan untuk menari, meski di kelas hajatan panggung sederhana yang menutup jalan.
Selasa (19/6/2018) itu di tengah suasana lebaran, Wangi menari dengan lincah. Meski kini tubuhnya tak lagi muda, tetapi dirinya masih trengginas bergulat dengan irama musik Topeng yang keras. Hentakan badannya tidak lepas dari irama yang mengajak penonton sepuh mengunduh kerinduan masa lampau.
ADVERTISEMENT
Mbak Wangi biasa dirinya dipanggil memang bukan penari kemarin sore. Perempuan kelahiran 10 Agustus 1961 di desa Tambi Kidul, Kecamatan Sliyeg, ini sejak umur 10 tahun sudah bersentuhan dengan tari Topeng.
Mendapat sentuhan langsung dari sang kakek dan ayah dalam berlatih menari justru dari jauh keistimewaan. Alih-alih mendapat kasih sayang berlebih sebagai anak dan cucu, justru kebalikan itu semua yang Wangi terima bersama saudaranya.
“Sering menangis mas waktu latihan dulu,” kenang Wangi seraya menerawang mengumpulkan batas ingatan.
Sebagai anak kecil Wangi bersama saudaranya tentu memiliki dunia bermain. Namun ketika berlatih justru dirinya acapkali mendapat pukulan, jepretan bahkan bentakan. Apalagi ketika belajar tari Topeng Panji yang begitu sangat halus dalam bergerak.
ADVERTISEMENT
“Sekali saja narik napas terlihat. Hukuman langsung mendarat,” tuturnya.
Latihan keras itulah yang pada akhirnya membuatnya bersungguh-sungguh dalam menari, bahkan tidak membuat mimpinya menjadi penari surut. Meski sekarang dirinya mengajar di Sanggar Mulya Bhakti yang berada di Desa Tambi Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu, teknik mengajar yang didapat masa lalunya tidak diterapkan untuk muridnya.
“Bisa kabur mas, kalau dipukul,” jelasnya.
Tentu bukan karena urusan ekonomi Wangi ketakutan muridnya menghilang dari sanggar. Namun tiada lain karena keinginan besarnya agar penerus Topeng, selalu hadir dan menjadi identitas kultural Indramayu pada setiap babak jaman.
Menjaga tradisi tari Topeng tetap meruang itulah membuat dirinya selalu mengada di berbagai peristiwa dan di pelbagai tempat. Termasuk di sebuah hajatan khitanan sederhana Wangi tampil bersama beberapa muridnya.
ADVERTISEMENT
Bagi yang mengenal Wangi sangatlah tidak nyaman melihat pementasannya di tempat yang begitu sederhana. Tak ada lampu yang mengentalkan kisah lakon tari, atau suasana gedung yang membuat emosi berloncatan. Semua serba sederhana. Namun kesederhanaan itulah yang pada akhirnya melahirkan tari Topeng yang utuh pada rahim desa tempat di mana seni itu sendiri lahir.
Namun dibalik gerak kasar dan lembut yang mencelat seperti anak padah dari tubuhnya. Wangi menginginkan agar para penari tidak hanya hapal gerak Topeng semata. Pilosofi menjadi penting agar penari tidak lepas dari esensi gerakan topeng.
“Menari topeng itu belajar mati sajeroning urip,” ucapnya sambil menjelaskan makna kematian ketika masih hidup dengan pendekatan budaya Indramayu. Bahkan lebih tegas Wangi menjelaskan tentang sesungguhnya pengertian topeng dan kedok sangatlah berbeda.
ADVERTISEMENT
“Mapan sing Siji,” ucapnya lagi ketika percakapan membongkar topeng Panji.
Yakin terhadap yang satu, yaitu Tuhan, merupakan penutup pertunjukkan dan buah tangan yang sangat berarti. (Agus Bebeng)