Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Merawat Padi, Pangan Mandiri
11 Maret 2018 18:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB

ADVERTISEMENT
SUKABUMI, bandungkiwari - Padi menjadi pertanian utama masyarakat Ciptagelar yang telah diwariskan sekian lama. Selain sebagai makanan pokok, masyarakat Ciptagelar yang dalam sistem religi masih memercayai leluhur meyakini padi merupakan tempat bersemayam Dewi Sri.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari keyakinan itu membuat masyarakat Ciptagelar menghormati padi dan memerlakukannya dengan sangat santun. Bermacam larangan, pamali atau tabu melingkupi sisi kehadiran padi pada sosio kultural masyarakatnya. Termasuk salah satu di antaranya para petani tidak memperjualbelikan padi atau beras.
“Disini dilarang menjual padi. Larangan itu berlaku untuk siapa saja,” tegas Abah Ugi.
Tidak ada dalam sejarah masyarakat Ciptagelar menjual padi, karena menurut keyakinan mereka padi merupakan kehidupan. Jika menjual padi sama artinya dengan menjual kehidupan itu sendiri, yang tentunya berdampak pada banyak aspek. Selain itu padi diyakini sebagai pasangan hidup manusia yang saling memiliki ketergantungan untuk menjalani hidup di dunia. Maka hal tersebut berdampak secara langsung pada konsep pertanian, petani Ciptagelar yang tidak berorientasi uang alias non-profit.
ADVERTISEMENT
“Kita hidup karena memakan beras atau padi. Begitu pula padi hidup karena kita, makanya kita saling tergantung. Saling menghidupi. Nah ketika kita menjual padi artinya kita telah menjual kehidupan,” tegas Yoyo.

Warga bersiap mengikuti acara Seren Taun
Perlakuan istimewa tersebut berlandaskan pemahaman terhadap padi sebagai pasangan hidup yang harus pula diperlakukan dengan paripurna. Penggarapan pertanian padi yang dilakukan secara tradisional tidak lepas dari beragam upacara seperti: sasarap, ngabersihan, ngaseuk, tebar, mipit, ngadiukeun, nganyaran, ponggokan, dan seren taun menjadi ritual yang tidak pernah dilewatkan.
Bahkan sebelum menanam padi Abah Ugi bersama para sesepuh desa menentukan hari terbaik untuk tanam dengan sistem perbintangan yang telah teruji mampu menghasilkan panen yang melimpah. Meski budidaya padi hanya satu dilakukan dalam satu tahun satu kali, tetapi hasil panen pertanian Ciptagelar tidak bisa disepelekan.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang unik dalam perlakuan padi didapatkan ketika Bandung Kiwari, mengunjungi Kasepuhan Ciptagelar. Sepanjang perjalanan yang melalui sejumlah perkampungan kecil, banyak didapati Kincir Angin atau Kolecer dalam bahasa Sunda, yang berdiri menantang angin. Dalam pemahaman sederhana Kolecer merupakan mainan untuk penanda angin sedang kencang, tetapi ternyata dugaan itu meleset.
“Kolecer bukan sebatas penanda angin datang, tetapi hiburan untuk padi. Saat ini padi sedang mengidam, maka kami memberi hiburan dengan kolecer,” ungkap Yoyo.
Pernyataan Yoyo tersebut bisa jadi tidak lazim bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Sedemikian luar biasanya masyarakat Ciptagelar memperlakukan padi untuk kehidupan. Namun kenyataannya perlakuan itu berdampak pada panen yang selalu melimpah setiap tahunnya. Menurut Yoyo cadangan beras Ciptagelar “hanya” mampu bertahan untuk ketersediaan 95 tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Selain cadangan beras yang luarbiasa, saat ini Ciptagelar punya sekitar 120 varietas padi lokal yang bisa terus dikembangkan untuk kebutuhan pangan masyarakatnya. Bahkan tidak jarang, Ciptagelar mengirimkan benih padi ke pelbagai daerah yang masih memegang tatali paranti karuhun atau adat istiadat leluhur dalam aspek pertanian untuk membantu kebutuhan pangan masyarakat.
Hal tersebut sesuai dengan keinginan Abah Ugi yang menginginkan kebutuhan pangan masyarakat dapati dikelola daerahnya sendiri, tanpa tergantung kepada siapapun. Harapan Abah Ugi terhadap ketahanan pangan tiada lain karena keprihatinannya melihat sedemikian banyak masyarakat membutuhkan padi.
“Ke depan yang Abah takutkan kondisi pangan akan semakin berkurang, karena pertambahan penduduk semakin banyak. Sementara lahan pertanian semakin berkurang. Ke depan perang karena perebutan pangan akan terjadi di dunia,” jelas Abah Ugi menerawang ke depan.

Perempuan di Kasepuhan Ciptagelar melakukan aktivitas keseharian memasak dan aktivitas lainnya di area Imah Gede.
ADVERTISEMENT
Ketakutan akan krisis pangan dalam pandangan Abah Ugi pada jenjang waktu ke depan, membuat dirinya terus menjaga dan mewariskan kearifan lokal dalam pengelolaan padi. Tentunya tidak hanya untuk warga lokal Ciptagelar, bahkan untuk negara-negara di dunia.
Komitmen menjaga pangan itulah yang akhirnya Abah Ugi mengutus Yoyo Yogasmana menjadi pembicara utama untuk membahas almanak pertanian Ciptagelar dari pengetahuan lokal tentang rasi bintang kidang dan kerti di Belanda pada seminar internasional mengenai makanan dan lingkungan hidup.
Pada acara tersebut Kasepuhan Ciptagelar menerima penghargaan prestisius koin medali emas untuk pengelolaan alam dan lingkungan hidup. Medali yang diterima tersebut merupakan penghargaan kali pertama yang diberikan selama 14 tahun kepada aktivitas pengelolaan alam dan lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
Selain kemandirian pangan, hal lain yang harus dibangun menurut Abah Ugi adalah kemandirian energi. Karena bagaimanapun menurutnya dua aspek tersebut sangat penting dalam realitas keseharian manusia. Untuk itulah Ciptagelar terus menjaga tradisi pertanian mereka yang sesuai adat, dan mengupayakan pembangunan aspek energi yang berbasis lingkungan seperti mikro hidro yang terus diusahakan sampai saat ini.
Namun tentunya menjaga kebutuhan pangan menjadi hal penting untuk negeri tercinta ini, agar memiliki kedaulatan pangan di mata dunia. Tentunya kita tidak ingin negeri ini terus menerus mengimpor beras dari luar negeri, tetapi sebaliknya mengirim beras untuk menolong sesama manusia. Mungkin pemecahannya ketika kita menghargai petani, dan menghormati padi sebagai pasangan hidup manusia, maka kita mampu berdikari dan mandiri secara pangan. (Agus Bebeng)
ADVERTISEMENT