Konten Media Partner

Nyinyir di Medsos Tanda Kurang Baca Sastra

12 Agustus 2018 15:22 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nyinyir di Medsos Tanda Kurang Baca Sastra
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kegiatan komunitas Asian-African Reading Club (AARC), Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Media sosial (medsos) menjadi ruang berekspresi bagi semua orang di era internet ini. Semua orang bebas berkomentar atau mengekspresikan dirinya, meski tidak jarang kebebasan ini berujung perang ujaran kebencian alias nyinyir.
Dalam sebuah diskusi yang digelar komunitas Asian-African Reading Club (AARC), Bandung, Rabu pekan lalu, fenomena nyinyir atau debat kusir di medsos menjadi satu topik perbincangan menarik. Walaupun AARC tidak khusus membedah soal nyinyir karena tema yang dibahas sebetulnya tentang buku Yudi Latif berjudul “Menyemai Karakter Bangsa”.
Kegiatan rutin AARC kali ini menghadirkan narasumber sarjana sastra S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Muamar Abd. Halil. Setelah peserta AARC membaca buku Yudi Latif secara bergiliran, Muamar menyajikan analisanya tentang peran sastra dalam sejarah kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, lewat buku “Menyemai Karakter Bangsa” Yudi Latif khususnya mengingatkan kepada anak muda bahwa bertutur yang baik itu lewat sastra. Munculnya ujaran kebencian yang marak akhir-akhir ini tak lepas dari minimnya kesadaran dan kesantunan dalam berbahasa.
“Dari situ muncul kekacauan berpikir, mencaci, mengklaim paling menang, paling benar. Padahal dalam negara demokrasi tak boleh seperti itu,” kata Muamar yang juga dosen dari Universitas Hairun Ternate.
Dalam bincang-bincang santai tersebut juga terungkap bahwa orang yang senang marah-marah di dunia nyata maupun dunia maya, diduga karena kurang piknik. Piknik di sini juga berarti piknik imajinasi yang bisa didapat dengan membaca karya-karya sastra.
Sehingga setengah guyon, bisa jadi orang yang gemar nyinyir karena dia kurang membaca novel.
ADVERTISEMENT
“Ketika bahasa medsosnya begitu, bisa jadi kurang piknik, salah satunya baca novel karena mengimajinasikan pikiran pembacanya. Sastra mengaktifkan imajinasi,” kata Muamar.
Nyinyir di Medsos Tanda Kurang Baca Sastra (1)
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan komunitas Asian-African Reading Club (AARC), Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari)
Ia menjelaskan, sastra merupakan bahasa yang tingkatannya paling halus. Sastra mengolah hal ihwal yang dapat didengar, dilihat, dan dibayangkan untuk sampai ke hati pembaca atau sasarannya.
Menurut Muamar, Yudi Latif yang juga mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mampu memunculkan hal baru yang selama ini tak dipikirkan, bahwa sastra dapat menggugah kesadaran bernegara.
Para pendiri bangsa seperti Sukarno, M Hatta, M Yamin, Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain tak lepas dari karya sastra. Mereka sadar bahwa sastra mampu membangkitkan kesadaran berbangsa dan bernegara termasuk membangkitkan perlawanan terhadap penjajah.
ADVERTISEMENT
“Sebab siapa yang mampu menghipnotis dengan cerita selain sastrawan,” katanya.
Selain itu, sastra mampu membangkitkan perlawanan terhadap ketidakadilan. WS Rendra, kata Muamar, merupakan salah satu penyair yang mampu mengolah bahasa sebagai media protes. WS Rendra melakukannya tidak dengan demonstrasi sambil panas-panasan terjemur matahari yang tidak akan dipedulikan para politikus.
Tapi WS Rendra mengekspresikan demonstrasinya lewat sastra yang membuat banyak orang tergugah, yakni “Sajak Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta” yang penggalannya sebagai berikut:
Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor Menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu
Menurut Muamar, sajak Rendra bisa menjadi inspirasi bagi mahasiswa untuk melakukan demonstrasi dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak adil. (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT