Para Politikus Agar Ngaca Pada Bung Hatta

Konten Media Partner
31 Oktober 2018 14:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para Politikus Agar Ngaca Pada Bung Hatta
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Mohammad Hatta. (Istimewa)
BANDUNG, bandungkiwari – Foto-foto para calon anggota legislatif mulai nampang di jalan-jalan strategis. Mereka yang diusung partai politik untuk maju dalam Pemilu 2019, mengenalkan diri kepada masyarakat sambil menawarkan selogan.
ADVERTISEMENT
Namun memajang foto diri dan selogan di jalanan saja tak cukup sebagai bekal menuju kursi legislatif tingkat DPRD maupun DPR, walaupun uang yang dikeluarkan untuk kampanye sudah sangat besar. Apalagi cuma mengandalkan pencitraan dan perang opini di media massa maupun di media sosial.
Mereka tak bisa main-main jika nanti terpilih. Untuk itu mereka harus banyak belajar dari para pendahulu bangsa yang berjuang tanpa pamrih. Mereka harus bercermin dari sejarah.
Mohammad Hatta menjadi satu dari sekian banyak founding fathers yang bisa diteladani para caleg atau politikus. Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Asvi Warman Adam, Mohammad Hatta merupakan salah satu negarawan terbaik dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Bung Hatta salah satu contoh bagi caleg,” kata Asvi Warman Adam, dalam Seminar Kebangsaan yang digelar Pusat Studi Pancasila - Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Ciumbuleuit, Bandung, baru-baru ini.
Proklamator sekaligus Wakil Presiden pertama RI itu memiliki gaya hidup amat sederhana. Asvi menuturkan, untuk membeli sepatu Bung Hatta harus menabung dulu.
Bahkan Bung Hatta di masa pensiunnya tak sanggup membayar tagihan air (PDAM), listrik dan PBB. Hal ini diketahui Bang Ali--Gubernur legendaris DKI Jakarta Ali Sadikin. Bang Ali kemudian memperjuangkan pensiunan Perdana Menteri Indonesia itu sebagai warga kehormatan. Sehingga Bung Hatta bisa bebas dari tagihan PDAM, listrik dan PBB.
Meski hidup dalam kemiskinan, Bung Hatta tak berusaha menunjukkan dirinya tak punya uang, termasuk kepada istrinya. “Bung Hatta tak punya uang istri tak tahu,” cerita Asvi.
ADVERTISEMENT
Sekelumit cerita Bung Hatta bagai kisah sufi yang hidup dalam kezumudan, yang hidup hanya untuk cinta. Bung Hatta sangat mencintai negeri yang turut dibidaninya ini, sampai ia merasakan langsung kesulitan ekonomi yang dialami rakyat masa itu.
Tentu sulit di zaman sekarang mencari orang seperti Bung Hatta. Dan mungkin lebih sulit lagi mencari politikus yang punya rekam jejak seperti rekan seperjuangan Bung Karno itu di masa pra dan pasca-kemerdekaan itu.
“Sulit di masa sekarnag ini. Bung Hatta teguh pendiriannya, teguh memegang prinsip, santun dalam berbicara tapi berkomitmen dalam pendiriannya,” kata Asvi.
Asvi menceritakan salah satu keteguhan Bung Hatta dalam memegang prinsip. Pada 10 Maret 1965, bom meledak di Singapura. Pelakunya 2 orang prajurit Korps Komando Operasi (KKO)—Marinir era Presiden Sukarno—yaitu Usman Bin Hj Mohd Ali dan Harun Said.
ADVERTISEMENT
Usman dan Harun ditangkap aparat Singapura. Dalam pengadilan keduanya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman gantung. Di masa pemerintahan Soeharto, ada upaya permintaan keringanan hukuman. Permintaan ini disampaikan Soeharto kepada Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew. Namun ditolak. Keduanya tetap digantung pada 17 Oktober 1968.
“Usman dan Harun digantung padahal dia orang yang dalam kondisi perang, bukan kriminal. Indonesa marah waktu itu, demonstrasi di mana-mana, tuntutan perang muncul. Soeharto juga memikirkan tuntutan perang itu,” tutur Asvi.
Pengeboman yang dilakukan Usman dan Harun terjadi dalam konteks penentangan Presiden Sukarno terhadap upaya penggabungan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam Malaysia.
Menurut Asvi, Bung Hatta juga marah terhadap keputusan hukum mati yang menimpa Usman dan Harun. Namun dalam hal ini, Bung Hatta menunjukkan sikap negarawan yang tidak mau menonjolkan diri.
ADVERTISEMENT
“Ketika itu Bung Hatta tampilkan sikap negarawan. Kepada istrinya ia bilang jangan beri tahu yang lain bahwa ia marah terhadap penggantungan itu, dan mulai hari itu ia tak akan pernah kunjungi/transit ke Singapura. Sejak 1964, Bung Hatta memang tak pernah ke Singapura sampai meninggalnya,” cerita Asvi.
Sikap tersebut menunjukkan Bung Hatta yang dikenal santun dan lemah lembut tetapi juga keras dalam memegang prinsip. “Begitu tinggi prinsipnya. Padahal kalau semua orang waktu itu punya prinsip sama seperti Bung Hatta, Singapura bisa bangkrut,” ucap Asvi. (Iman Herdiana)