Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten Media Partner
Patahan Gempa di Indonesia Belum Banyak Diteliti
8 Agustus 2018 9:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Gempa Lombok. (PVMBG)
BANDUNG, bandungkiwari – Gempa bumi yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), secara geologi disebabkan adanya aktivitas tumbukan antar lempeng dalam satu wilayah patahan atau sesar.
ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Dicky Muslim menyatakan, gempa besar Lombok yang terjadi beruntun sebagai kasus spesial karena menyebabkan dua gempa besar terjadi secara berdekatan.
Pusat gempa yang berada di wilayah perairan utara Lombok ini berada pada jalur patahan naik Flores atau Flores Thrust. Berbeda dengan jalur patahan di Samudera Hindia yang memanjang mulai dari Aceh hingga Timor, jalur patahan yang memanjang dari Lombok hingga Flores ini memiliki kedalaman yang dangkal.
Kedalaman palung di patahan utara Lombok sekitar 200-400 meter. Berbeda dengan palung di Samudera Hindia bisa sampai 6-8 kilometer.
Dari patahan kecil ini, menurut Dicky, ada segmen berupa garis-garis patahan kecil yang mengikuti retakan utama. Suatu lempeng bergerak mencari kesetimbangannya sehingga menumbuk lempeng lainnya. Proses kesetimbangan ini yang menyebabkan satu batuan terdesak dan patah.
ADVERTISEMENT
“Gempa Lombok ini terjadi dari satu retakan kecil yang berdesak sehingga menyebabkan gempa. Sesudah itu, karena dia masih bergerak mencari kesetimbangan, maka masih ada gempa susulan terjadi,” ujar Dicky dalam keterangan tertulis kepada Bandungkiwari.com.
Ketua Pusat Studi Geologi Lingkungan, Rekayasa, dan Kebencanaan Geologi Unpad ini melanjutkan, biasanya aktivitas gempa susulan pascagempa besar terjadi dengan kekuatan yang terus merendah. Jika melihat ada dua gempa besar yang terjadi dalam waktu dekat dengan kedalaman pusat antara 15-25 kilometer, Dicky menduga ada sesuatu yang membedakan.
Sayangnya, belum banyak penelitian yang fokus terhadap aktivitas patahan di Indonesia, termasuk aktivitas patahan di utara Lombok tersebut. Padahal, Indonesia memiliki zona patahan yang menyebar di berbagai wilayah. Zona ini bisa saja menghasilkan aktivitas yang berpotensi menyebabkan gempa.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, aktivitas patahan bisa dianalisis waktu terjadinya. Dicky menjelaskan, berdasarkan kesepakatan ahli geologi, jika di suatu patahan terdeteksi pernah mengalami aktivitas sejak 2 juta tahun yang lalu, maka patahan tersebut akan kembali mengulang aktivitasnya dalam periode tertentu.
Hal ini bisa dimanfaatkan oleh para peneliti dan pihak terkait. Pencatatan aktivitas patahan dalam rentang waktu tertentu harus dilakukan. Data ini kemudian menjadi analisis untuk menemukan siklus aktivitas suatu patahan.
Jika sudah ditemukan siklusnya, pihak terkait maupun masyarakat setidaknya bisa mengantisipasi ancaman bencana yang akan ditimbulkan. Di wilayah Lombok sendiri setidaknya pernah terjadi gempa yang menyebabkan tsunami hebat di tahun 1992. Dalam rentang 1992 hingga 2018 setidaknya terjadi gempa berkali-kali.
“Intinya kita harus mewaspadai patahan,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Proses antisipasi atau mitigasi kebencanaan penting dilakukan. Sebagai wilayah yang rentan terhadap bencana, Nusa Tenggara Barat sudah selayaknya menyiapkan antisipasi kebencanaan yang efektif.
Dicky mengatakan, gempa di Lombok setidaknya berpotensi mengancam lahirnya bencana lainnya, seperti peningkatan aktivitas magma di Gunung Rinjani, atau ancaman longsornya material bukit.
Masyarakat juga diharapkan memahami prosedur standar perlindungan diri dari gempa, seperti berlindung di bawah material yang bisa menahan benturan hingga cepat tanggap mencari jalan keluar apabila sedang berada di dalam ruangan. (Ananda Gabriel)