Konten Media Partner

Perjalanan Vokalis Jeruji Ginan Koesmayadi dan Impian Indonesia Tanpa Stigma

30 Juni 2018 14:01 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Perjalanan Vokalis Jeruji Ginan Koesmayadi dan Impian Indonesia Tanpa Stigma
zoom-in-whitePerbesar
Ginan Koesmayadi. (Instagram)
BANDUNG, bandungkiwari – Kamis (21/6/2018) pekan lalu, kabar duka datang dari Ginan Koesmayadi, aktivis bidang HIV/Aids yang juga vokalis band hardcore Bandung, Jeruji. Banyak kisah inspiratif yang bisa digali dari almarhum semasa hidupnya.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum menjadi vokalis Jeruji, Ginan Koesmayadi, turut mendirikan Rumah Cemara, komunitas rehabilitasi narkoba yang memiliki pendekatan berbeda di tengah gencarnya perang terhadap narkoba yang dilakukan pemerintah.
Waktu itu Ginan dan kawan-kawan membuat terobosan berani, antara lain sosialisasi pentingnya jarum suntik steril yang merupakan bagian dari konsep harm reduction (pengurangan dampak buruk narkoba). Konsep harm reduction muncul karena tingginya penularan HIV dikalangan pengguna narkoba jarum suntik (Injecting Drug User (IDU)). Tujuan harm reduction untuk mencegah laju penyebaran HIV.
Inti harm reduction terutama mendorong pengguna narkoba untuk berhenti memakai narkoba. Jika tidak bisa, mereka diminta berhenti menggunakan narkoba suntik. Namun jika cara ini juga tidak bisa, mereka didorong untuk memastikan tidak berbagi peralatan suntiknya dengan pengguna lain. Kalau masih tidak bisa juga, mereka dilatih mensterilkan peralatan suntiknya.
ADVERTISEMENT
Dalam website resminya, Rumah Cemara didirikan lima pendiri mantan konsumen Napza ilegal pada 1 Januari 2003, yaitu DB, Hartanto Emka, Ikbal Rahman, Patri Handoyo, dan Ginan Koesmayadi yang waktu itu baru mau berusia 23 tahun.
Menurut Koordinator Rehabilitasi Rumah Cemara, Jimmy, latar belakang didirikannya Rumah Cemara, antara lain, karena kebutuhan akan panti rehabilitasi memadai di Bandung, sementara pengguna narkoba jumlahnya terus meningkat.
Perjalanan Vokalis Jeruji Ginan Koesmayadi dan Impian Indonesia Tanpa Stigma (1)
zoom-in-whitePerbesar
Karangan bunga duka di rumah duka orang tua Ginan Koesmayadi, kawasan Cihampelas, Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari.com)
Lima pendiri tersebut kemudian patungan, termasuk menyediakan tempat di Jalan Gegerkalong Girang No 52 Bandung. “Ada yang nyumbang karpet, kasur,” tutur Jimmy, saat berbincang dengan Bandungkiwari.com di Sekretariat Rumah Cemara, pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Hasil patungan diharapkan bisa memfasilitasi rehabilitasi yang nyaman, yang juga menjadi ruang untuk berbagi pengalaman dan informasi seputar narkoba dan HIV/Aids. Rehabilitasi dengan konsep inilah yang dinilai belum dimiliki Kota Bandung saat itu, di tengah opini bahwa pecandu narkoba dan Orang hidup dengan HIV/Aids (Odha) sebagai aib.
“Tahun 2000-an itu stigma dan diskriminasi kencang,” kata Jimmy, menggambarkan salah satu tantangan berdirinya Rumah Cemara yang mengusung tagline “Indonesia Tanpa Stigma”.
Masalah lain, teman-teman yang mengikuti program rehabilitasi di Rumah Cemara bisa dibilang awam dengan isu HIV/Aids, sehingga diperlukan pembahasan isu penyakit yang belum ada obatnya itu. Para Odha waktu itu hidup dalam ketertutupan di tengah tingginya stigma.
Salah satu terobosan dalam mengikis stigma ialah menggunakan olahraga sepakbola. Awalnya para pegiat Rumah Cemara sering main bola biasa, untuk meningkatkan kebugaran yang menjadi bagian dari program rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
“Lalu terpikir sepakbola bisa menjadi media ajang kampanye. Main bola kan minimal 25 orang yang terlibat, mereka bisa terpapar informasi, belum lagi yang nontonnya,” tutur Jimmy.
Akhirnya Rumah Cemara membuat pilot priject dengan mengundang tim-tim lokal (kampung) untuk bermain bola. Selesai bermain bola, mereka diundang ke sekretariat Rumah Cemara untuk menonton film dokumenter. Dari film itu mereka jadi tahu bahwa mereka bermain bola dengan Odha atau HIV positif.
“Respons mereka setelah nonton bareng berbeda-beda, ada yang takut saat diundang lagi, ada juga yang mau tes HIV karena ada anggapan HIV menular lewat keringat, ya itu jadi kesempatan kita bahwa HIV tidak seperti itu penularannya. Pas dicek negatif,” papar Jimmy.
ADVERTISEMENT
Namun ada juga yang tertarik terlibat lebih jauh dengan istu narkoba dan HIV/Aids hingga menjadi relawan Rumah Cemara. Selanjutnya, kampanye “Indonesia Tanpa Stigma” yang dilakukan Rumah Cemara lewat sepakbola terus berkembang dalam skala yang lebih luas.
Pada 2009, Ginan melakukan riset tentang kejuaraan sepak bola lokal atau nasional khusus untuk pecandu atau mantan pecandu, HIV positif, dan pihak-pihak yang terstigma dan terdiskriminasi lainnya.
Perjalanan Vokalis Jeruji Ginan Koesmayadi dan Impian Indonesia Tanpa Stigma (2)
zoom-in-whitePerbesar
Ginan Koesmayadi. (Instagram)
Ginan kemudian menemukan situs Homeless World Cup (HWC), sebuah ajang sepakbola dunia untuk kaum marjinal. Waktu itu HWC membuka kesempatan bagi perwakilan negara-negara yang ingin mengikuti HWC 2010 di Brazil. Lamaran yang dimasukkan Rumah Cemara kemudian diterima HWC. Namun, Rumah Cemara masih bingung mencari dana untuk keberangkatan tim sepakbolanya ke Brazil. Padahal berbagai upaya penggalangan dana sudah dilakukan, salah satunya lewat pameran foto.
ADVERTISEMENT
Hingga batas waktu keberangkatan, ongkos ke Brazil belum juga terkumpul. Akhirnya Rumah Cemara batal ikut turnamen tahunan tersebut. “Tapi pengalaman ini tak dianggap pengalaman pahit, tapi jadi motivasi buat kami untuk mengikuti HWC 2011. Menurut Ginan, pengalaman ini bagian dari suskses yang tertunda. Dan 2011 kita kembali diterima untuk mengikuti HWC di Prancis, alhamdulillah bisa berangkat meski perjuangannya berdarah-darah,” ungkap Jimmy.
Disebut berdarah-darah karena proses penggalangan dana yang tidak mudah. Ginan bahkan sampai harus ikrar jalan kaki Jakarta-Bandung jika timnya mendapatkan dana untuk ikut HWC Prancis. “Setelah bisa berangkat, sebagai nazar, Ginan harus berjalan kaki ke Jakarta-Bandung,” kenang Jimmy.
HWC Prancis 2011 menjadi pengalaman perdana tim Rumah Cemara yang mewakili Tim Nasional Indonesia. Tim Rumah Cemara berhasil menduduki posisi ke-6 dunia, mendapat penghargaan Best New Comer dan Ginan Koesmayadi terpilih menjadi Best Player.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, Rumah Cemara ditunjuk menjadi mitra HWC untuk Indonesia yang bertugas melakukan seleksi bagi peserta yang ingin berangkat ke ajang sepakbola tahunan tersebut. Sejak itu pula Rumah Cemara tidak putus memberangkatkan tim dengan berbagai latar belakang, HIV positif, mantan pecandu, kaum miskin kota, difabel, dan lain-lain, untuk mengikuti HWC. Terakhir, Rumah Cemara mengikuti HWC di Oslo, Norwegia, 2017.
Selain sepak bola, olahraga lain yang dipakai Rumah Cemara sebagai pendekatan kampanyenya ialah tinju. Ginan menjadi salah satu pegiat Rumah Cemara yang paling semangat mengembangkan program tinju yang sasananya dibangun di bagian belakang sekretariat Rumah Cemara.
Olahraga berat itu diikuti individu beragam latar belakang, mulai penyintas narkoba dan HIV/Aids di Rumah Cemara, mahasiwa, anak jalanan, dokter, dan lain-lain. Program tinju Rumah Cemara juga untuk menunjukkan bahwa mantan pecandu bisa melakukan kegiatan yang menyedot fisik dan mental.
ADVERTISEMENT
Jimmy menerangkan, setiap program olahraga Rumah Cemara, memiliki landasan bukan semata-mata mengejar prestasi seperti yang digaungkan pemerintah, melainkan membangun sebuah proses pengembangan diri. Sebab pengembangan diri menjadi dasar menuju kesuksesan baik di dalam maupun di luar dunia olahraga.
“Olahraga di Rumah Cemara bukan sekedar keringat dan mengejar prestasi, tapi development-nya dibangun,” kata Jimmy.
Latihan sepakbola maupun tinju di Rumah Cemara selalu disertai kampanye baik formal maupun non-formal, mulai pemutaran film documenter hingga ngobrol ngalor ngidul. “Latihannya tiga jam, ngobrolnya bisa lima jam,” kata Jimmy. Topik yang diobrolkan beragam, mulai isu HIV/Aids, narkoba, hingga masalah skripsi mahasiswa.
Meninggalnya Ginan tentu peristiwa duka bagi Rumah Cemara. Di mata Jimmy, Ginan lebih dari sahabat, melainkan sosok guru yang egaliter. Jimmy mengaku mulai dekat dengan Ginan sejak 2004. “Ginan selalu mengingatkan nilai kemanusiaan di atas segalanya. Program yang ia tawarkan selalu berdasar konsep memanusiakan manusia,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Ginan sosok yang antisenioritas. Jika ada orang baru yang mengikuti program rehabilitasi Rumah Cemara, maka orang itu menjadi yang paling penting. Artinya, yang baru masuk harus dibantu oleh kakak-kakaknya di program rehabilitasi.
Ginan dinilai mampu menterjemahkan ide-idenya ke dalam bahasa sederhana yang mudah dimengerti. Dengan bahasa itu, Ginan pandai mencairkan kebuntuan dan kebekuan organisasi. Namun tidak adanya Ginan bukan berarti menyurutkan program Rumah Cemara. Pegiat komunitas justru termotivasi untuk terus menjalankan program yang ada, termasuk mewujudkan mimpi-mimpi Ginan yang belum terlaksana.
Salah satu mimpi Ginan ialah jalan kaki dari Bandung ke Brighton, Inggris, untuk mengkampanyekan “Indonesia Tanpa Stigma”. Ginan dan pegiat Rumah Cemara sudah membahas program nyeleneh tersebut, termasuk memperhitungkan biaya, waktu dan jarak yang harus ditempuh. Jalan Indonesia-Inggris ditargetkan selesai dalam waktu 11 bulan, dengan catatan dalam sehari mampu berjalan selama 10 kilometer.
ADVERTISEMENT
“Jalan kaki dari Indonesia-Brighton sebenarnya tinggal nunggu momen, terutama ongkosnya,” tutur Jimmy.
Namun sebelum program jalan kaki tercapai, Ginan meninggal. Pria kelahiran Bandung 13 Juli tersebut dimakamkan di TPU Cibarunay, Sarijadi, Bandung, Jumat (22/6/2018). Tapi Rumah Cemara berniat mewujudkannya, mengingat visi “Indonesia Tanpa Stigma” bukan impian Ginan saja, melainkan mimpi besar Rumah Cemara, bahkan rakyat Indonesia. (Iman Herdiana)