Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung

Konten Media Partner
23 Desember 2018 16:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Wanggi Hoed, aktor pantomim tampil membawakan repertoar 'Klop' pada acara temu 3 Mimer 2 negara yang mengangkat tema 'Saimbang'. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Tubuh-tubuh tanpa kata itu bergerak dan terus bergerak, mengikuti iringan musik dan lampu temaram yang menyorot wajah berpupur putih. Isyarat yang kental dengan simbol adalah pengejawantahan terhadap kelindan persoalan yang mengkristal dalam labirin pikiran.
Ada bias kebahagiaan, canda, satir, komedi gelap, bahkan kekecewaan pada hidup dan lingkungan yang mencelat mental dari tubuh mereka; menjalar pada rongga berpikir penonton. Itulah pesan yang terpapar saat tiga aktor pantomim menampilkan repertoar realitas keseharian yang bersinggungan dengan mereka.
Ada Wanggi Hoed dan Dede Dablo (D’Dablos) dari Indonesia, tampil pula seorang Ebem Toala dari Ekuador. Pertemuan mime artist dari Indonesia dan Ekuador tersebut terjalin dalam benang pementasan yang berjudul “Saimbang” di Studio Teater ISBI Bandung pada Sabtu (22/12/2018) malam.
Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung (1)
zoom-in-whitePerbesar
Pementasan panomim yang bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, bukan hanya pertemuan kosong yang melahirkan tepuk tangan. Melainkan pertemuan yang menyelami kedalaman makna dari nilai perjuangan dari interpretasi yang berbeda dalam kekaryaan. Pun di dalamnya menggerakan dan menghidupkan kembali pantomim beserta literasi dunia mini kata tersebut agar terus dikenal dan membumi dari generasi ke generasi.
ADVERTISEMENT
Pementasan tiga Mimer dari dua negara tersebut merupakan estafet dari pembacaan peta seni pantomim Bandung, baik secara lokal, nasional bahkan internasional. Adanya kehadiran 3 seniman pantomime ini adalah bagian sejarah pantomime di Bandung, dimana ketiganya lintas generasi dan lintas negara bahkan melampaui kepantomimannya masing-masing.
Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung (2)
zoom-in-whitePerbesar
Pada pementasan yang penuh tafsir dan imaji tersebut tampil Ebem Toala dari Ekuador menampilkan karya berjudul “Kay Pacha”. Sebuah perenungan yang mendalam tentang bumi saat ini. Ebem berkisah bagaimana bumi saat ini sedang mengalami pertempuran yang sengit antara alam dan limbah plastik.
“Selamatkan planet bumi,” ucapnya pada acara diskusi seusai pementasan.
Tidak tertinggal tampil pula Dede Dablo salah satu aktor pantomime senior di Indonesia, menampilkan karya berjudul The Jibrutz. Dablo mengajak orang berpikir bagaimana jika bagian tubuh menjadi penguasa atas diri sendiri? Tidak sekedar menolak perintah otak, tetapi lebih dari itu bagian tubuh tersebut melakukan kudeta terhadap gerak tubuh yang lain.
Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung (3)
zoom-in-whitePerbesar
Dede Dablo, aktor pantomim tampil membawakan repertoar 'The Jibrutz' pada acara temu 3 Mimer 2 negara yang mengangkat tema 'Saimbang'. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
“Konsep ini berangkat dari pengalaman pribadi. Ketika saya lapar dan pergi ke dapur yang saya ambil adalah gelas bukan piring. Dari situ saya berpikir bagaimana jika tubuh ini punya kuasa sendiri,” tegasnya.
Sementara itu Wanggi Hoed yang tampil dengan repertoar berjudul “Klop”, mencoba mengajak penonton untuk meretas batas ingatan tentang pertemuan dengan seseorang. Namun orang yang diajak berbincan tidak memiliki frekuensi energi yang sama. Kemudian membandingkan dengan pertemuan orang-orang yang memiliki frekuensi sama, dimana terjadi pertukaran bathin di antara mereka.
Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung (4)
zoom-in-whitePerbesar
“Akhirnya saya menemukan bahasa klop untuk pertemuan yang memiliki frekuensi sama. Dengan hadirnya teknologi menjauhkan kita, tetapi hal-hal yang bersifat realitas harus dihadirkan lebih dominan, seperti halnya pertemuan-pertemuan,” tutur lelaki berkumis panjang ini.
ADVERTISEMENT
Ketiga aktor pantomim ini mempresentasikan tema SAIMBANG dalam pementasan tersebut. Dimana kata SAIMBANG atau SEIMBANG, merupakan tawaran gagasan tentang kondisi dan peristiwa dalam lingkup dunia pertunjukan pantomime Indonesia di masa kini dan masa depan.
Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung (5)
zoom-in-whitePerbesar
Dalam acara diskusi Ipit Dimyati dosen ISBI Bandung sekaligus pengamat seni menyatakan bahwa media utama pantomime adalah tubuh. Pantomime sendiri menurutnya merupakan bagian dari pertunjukkan yang lahir di Mesir Kuno kemudian berkembang pada masa Yunani Kuno.
“Patnomim sendiri berasal dari bahasa Yunai yang berarti gerak isyarat atau bahasa iysarat. Mengungkapkan banyak hal melalui gerakan,” jelasnya.
Lebih lanjut Ipit menjelaskan setiap manusia memiliki tubuh tetapi tubuh sendiri telah dibentuk secara sosial, seperti kebiasaaan yang ditanamkan orangtua sejak kecil akan memengaruhi tubuh dalam bergerak.
Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung (6)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya tubuh kita tubuh budaya, tidak ada tubuh murni. Jika pantomim ingin mengangkat bahasa yang universal hal tersebut perlu dipertanyakan. Karena persoalannya tidak ada bahasa universal dalam tubuh,” tegasnya.
Maka menurut Ipit pada pementasan selalu ada kebocoran biografis yang hadir pada tubuh aktor. Dimana secara tidak sadar terlihat pola gerak aktor pada pementasannya. Hal tersebut diakui oleh Wanggi yang lahir dalam budaya Cirebon. Menurutnya pada pementasan dirinya menggunakan teknik kuda-kuda yang tidak disadari merupakan warna tubuh budaya yang berasal dari kampungnya.
Pertemuan Sunyi Seniman Pantomim Indonesia dan Ekuador di ISBI Bandung (7)
zoom-in-whitePerbesar
Ebem Toala, aktor pantomim dari Ekuador tampil membawakan repertoar 'Kay Pacha' pada acara temu 3 Mimer 2 negara yang mengangkat tema 'Saimbang'. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
Pada pementasan yang berdurasi cukup pendek tersebut memang hadir tiga aktor dari beragam budaya berbeda. Mereka masing-masing merepresentasikan hal yang menurutnya laik untuk disuguhkan kepada penonton untuk mendapatkan pengalaman rasa berbeda.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari hal tersebut, pementasan pantomim dari Ekuador dan Indonesia ini menarik untuk dicermati sebagai bentuk penyampaian pesan terhadap gejala sosial yang ada. Seperti yang dilakukan Dablo pada pementasannya yang mengajak dua kubu penonton untuk memainkan irama tepukan. Dablo seraya bercanda menyatakan hal tersebut adalah cermin rakyat Indonesia yang berkubu dan riuh. (Agus Bebeng)