Konten Media Partner

Pidi Baiq Soroti Taman Dilan dan Gerakan Reformasi 98

3 April 2019 20:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bedah buku “Lelaki di Tengah Hujan: Novel Sejarah Gerakan Mahasiswa 98” yang ditulis Wenri Wanhar di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu (3/4). (Iman Herdiana)
zoom-in-whitePerbesar
Bedah buku “Lelaki di Tengah Hujan: Novel Sejarah Gerakan Mahasiswa 98” yang ditulis Wenri Wanhar di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu (3/4). (Iman Herdiana)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Penulis novel “Dilan” Pidi Baiq menjadi salah satu narasumber yang mengulas buku “Lelaki di Tengah Hujan: Novel Sejarah Gerakan Mahasiswa 98” yang ditulis Wenri Wanhar di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu (3/4).
ADVERTISEMENT
Dalam acara bertajuk Musyawarah Buku itu, seniman penuh humor tersebut menyinggung soal novel Dilan yang kemudian difilmkan hingga menyulut kontroversi Taman Dilan. “Saya pikir acara ini (bedah buku) menyangkut acara pilpres. Saya tidak anti seseorang, tapi tidak mau jauh-jauh ke soal politik, apalagi Dilan jauh dengan politik,” kata Pidi Baiq.
Alumnus FSRD ITB yang juga pendiri band The Panasdalam itu mengaku terkejut begitu mengetahui di media sosial tim kampanye pilpres memakai istilah “Dilan” sebagai kepanjangan dari “Digital Pelayanan”, kemudian film Dilan mendorong Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk membikin Taman Dilan. Belakangan taman yang akan dibangun di GOR Saparua, Bandung, itu dinamai Sudut Dilan.
Dengan nada bercanda, ia merasa jadi korban karena Taman Dilan kemudian menimbulkan pro dan kontra termasuk di antara teman-temannya. “Teman-teman saya jadi pro kontra, aduh, ya Tuhan,” katanya, yang disambut tawa hadirin.
ADVERTISEMENT
Lalu ada juga partai politik yang meminta izin membuat maskot Dilan sebagai kependekan dari “keadilan”. Ia mengaku menolak pembuatan maskot tersebut.
Di media sosial, ia sampai harus menjelaskan bahwa dirinya tak terlibat partai politik mana pun. Ia juga tidak tahu menahu soal rencana pembuatan Taman Dilan oleh Kang Emil (Ridwan Kamil). “Dengan atau tanpa Taman Dilan saya tetap pulang ke rumah dengan istri saya tercinta,” katanya.
Makanya begitu ada tawaran bedah buku “Lelaki di Tengah Hujan”, tadinya ia tidak mau menjadi narasumber karena curiga acara ini terkait politik praktis. Namun ketika menerima kiriman buku “Lelaki di Tengah Hujan”, ia mengaku tertarik.
“Saya membaca bukunya sudah menduga ini buku sastra, atau lelaki itu masuk angin, atau dia orang yang menerima rahmat karena hujan kan rahmat dari Tuhan,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Namun setelah membaca sekilas isi buku, ia mengaku terkejut akan detail ceritanya. Isi buku memaksanya mengenang masa 98 ketika ia masih kuliah di ITB, salah satu kampus di Bandung yang banyak dihuni aktivis pergerakan kala itu.
Saat itu, ia punya cara tersendiri dalam melawan Orde Baru, yaitu dengan mendirikan The Panasdalam pada 18 Agustus 1995, di salah satu ruangan kuliah kampus ITB. The Panasdalam mendirikan NKRTPD, singkatan dari Negara Kesatuan Republik The Panasdalam, sebagai negara merdeka yang memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena kecewa pada presiden Soeharto.
Ia menjelaskan, NKRTPD adalah negara kecil berukuran 8X10 meter. Ia sendiri mengangkat diri sebagai Imam Besar NKRTPD, mengangkat seorang presiden yang mengurusi penduduk (anggota) cuma 18 orang.
ADVERTISEMENT
Tahun 1998 ketika Soeharto mundur, NKRTPD mengadakan muktamar yang pertama di daerah Dago Tee Huis, dengan hasil keputusan bersedia bergabung lagi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengubah namanya menjadi Daerah Istimewa The Panasdalam. Kini, The Panasdalam menyatakan diri sebagai komunitas sebagaimana komunitas lainnya yang ada di Bandung.
Dari novel “Lelaki di Tengah Hujan”, ia mendapati cerita gerakan yang detail dan penting diketahui generasi masa kini. Dalam novel disebutkan soal peristiwa pertemuan dengan Wiji Thukul, penyair yang kemudian diculik di masa pergerakan reformasi.
Menurutnya, novel tersebut mengacu pada gerakan bawah tanah di masa proses terjadinya reformasi di Indonesia. Wiji Thukul sendiri salah satu aktor yang ditakuti rezim Orde Baru. “Karena sastra atau puisi lebih banyak menggulingkan pemerintah di dunia ini, makanya banyak penyair dibunuh karena berbahya. Ini buku bagus,” katanya.
ADVERTISEMENT
Buku tersebut penting untuk dibaca terutama oleh generasi masa kini yang belum tahu banyak peristiwa 1998. “Masa lalu akan memberi motivasi kepada kita bagaimana berjalan ke depan,” katanya. (Iman Herdiana)