Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Ronggeng Gunung Dalam Terpaan Angin Perubahan
1 Oktober 2018 9:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB

ADVERTISEMENT
Mak Ees (63) ditemani Aki Kardi (66) tampil perdana setelah 50 tahun berhenti pada pementasan Ronggeng Gunung Sapuangin di Pondok Seni pada acara gladi revitalisasi yang diselenggarakan UPTD Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Cuaca pantai Pangandaran yang panas membuat tubuh ini memaksa bersahabat dengan tisu dan handuk. Panas yang membuat harapan ikut terbakar matahari sedikit terobati ketika rombongan seniman memasuki area Pondok Seni menggunakan mobil bak terbuka.
Senyum ramah dengan sikap tubuh pemalu mewarnai kelompok seniman tradisi yang tergabung dalam kelompok “Baranang Siang”. Setelah jeda sesaat mereka pun memersiapkan diri untuk mengikuti diskusi seputar keberadaan Ronggeng Gunung Sapuangin pada kondisi saat ini.
Pagi itu di area Pondok Seni sedang berlangsung kegiatan penting, yakni revitalisasi Ronggeng Gunung Sapuangin yang diselenggarakan UPTD Balai Pengelolaan Taman Budaya Jabar. Bukan tanpa sebab Ronggeng Gunung Sapuangin direvitalisasi pihak Disparbud Jabar, karena kondisinya sangat memprihatinkan.
“50 tahun mereka tidak tampil. Sekarang kita ingin Ronggeng Gunung kembali hadir pada masyarakat,” ucap Toto Amsar Suanda, kurator dari Taman Budaya Jabar yang langsung terjun ke daerah Sapuangin untuk meneliti keberadaan seni tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Toto Amsar, Sapuangin yang merupakan dusun di Desa Karangsari pada masa lalunya merupakan tempat persebaran seni Ronggeng Gunung. Namun dalam perjalan sejarahnya Ronggeng Gunung Sapuangin berhenti karena larangan leluhur mereka.
Selain itu, dalam perkembangannya pewarisan Ronggeng Gunung kepada generasi muda sangat minim, diakibatkan kurangnya minat pemuda terhadap seni Ronggeng Gunung.
Hal tersebut dibenarkan oleh Aki Kardi (66) penabuh kendang pada seni Ronggeng Gunung Sapuangin, menurutnya banyak pemuda yang tidak tertarik untuk belajar dan meneruskan seni Ronggeng. Hal tesebut dikarenakan perkembangan seni modern lebih menarik minat remaja.

Bi Ipoh (44) tampil pada pementasan Ronggeng Gunung Sapuangin di Pondok Seni pada acara gladi revitalisasi yang diselenggarakan UPTD Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
“Ada dulu masih saudara diajak belajar kendang, ga mau. Susah katanya,” keluh Aki Kardi.
Toto Amsar sendiri yang acap kali terlibat dalam program revitalisasi berbagai macam seni tari tradisi, menemukan banyak tantangan dalam proses penelitiannya. Medan yang berat dalam penelusuran, serta kondisi waktu para pewaris Ronggeng yang kesehariannya berada di pertanian membuatnya kesulitan mendapatkan data-data terbaru.
Meski demikian, akhirnya Toto bisa bertemu Mak Ees (63) bersama Aki Kardi (66) untuk mengikuti program revitalisasi seni Ronggeng Gunung Sapuangin, demi menyelamatkannya dari kepunahan.
Para pewaris Ronggeng ini sudah berusia sepuh dan harus segera mewariskan pengalaman dan pengetahuan Seni Ronggeng Gunung Sapuangin kepada generasi berikutnya.
Mak Ees (63) pada usia muda telah menjadi salah satu Ronggeng Gunung Sapuangin. Dirinya acap kali tampil untuk dipanggil meronggeng. Namun setelah menikah Mak Ees diminta untuk berhenti.
ADVERTISEMENT
“Tahun 68 menikah, sejak itu ga boleh meronggeng lagi,” jelasnya seraya menatap tembok Pondok Seni, seolah merangkai kembali ingatannya yang pudar.
“Dulu mah Ronggeng teh dicap jelek, kata orang sini mah disebut Kembang Bale,” imbuh Aki Kardi.
Stigma negatif sebagai perempuan tidak baik, memang dihindari Mak Ees, karena tidak ingin kehidupannya berantakan. Apalagi cap penggoda lelaki acap kali hadir pada seorang Ronggeng yang dipercaya mampu membuat kaum lelaki luruh dalam pelukannya.

Para penari merias diri untuk pementasan Ronggeng Gunung Sapuangin di Pondok Seni pada acara gladi revitalisasi yang diselenggarakan UPTD Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
“Hal yang penting untuk diketahui, terputusnya regenerasi Ronggeng disebabkan pula oleh tradisi pernikahan. Pada umumnya, ronggeng yang sudah menikah, biasanya langsung berhenti. Ia tidak lagi diperkenankan oleh suaminya,” jelas Toto Amsar.
ADVERTISEMENT
Hal tersbut menurut Toto bisa dimaklumi, karena pada masa lampau Ronggeng yang ditanggap harus menempuh jarak yang sangat jauh. Menyusuri jalan setapak di hutan hanya ditemani dua atau tiga orang pemain musik. Selain itu, kecemburuan juga ikut menghantui dalam rumah tangga mereka. Stigma negatif tentang ronggeng pada masa silam, masih juga terpelihara sampai saat ini.
Sejak menikah itulah Mak Ees berhenti menjadi Ronggeng Gunung di Sapuangin. Bayangan menjadi Ronggeng telah dikubur dalam-dalam, tetapi pada 2018 ini, tepatnya 50 tahun sejak menikah akhirnya Mak Ees mau kembali tampil di panggung pementasan, meski bukan sebagai Ronggeng.
Mak Ees telah mewariskan semua yang didapatnya dari para orang tua dulu kepada saudaranya, Bi Ipoh (44) dan Tati. Dirinya pun tidak ingin jika seni Ronggeng Gunung Sapuangin yang merupakan daerah sebaran Ronggeng di Pangandaran selesai hanya pada dirinya.
ADVERTISEMENT
“Sudah 15 lagu diajarkan sama Ipoh. Biar Ipoh aja mak mah udah tua,” ungkapnya sambil tersenyum simpul.
Kini, 50 tahun lalu semenjak menikah Mak Ees kembali hadir di atas panggung. Melakukan ‘nandak’ atau menyanyi bersama Aki Kardi, berharap Ronggeng Gunung Sapuangin bisa hidup kembali tidak tersapu angin perubahan zaman. (Agus Bebeng)