Konten Media Partner

Sanghyang Awi, Ketika Bambu Mencumbu Waktu

18 Oktober 2019 9:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari
zoom-in-whitePerbesar
Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Ti iwung nepi ka padung.
Kalimat sederhana berbahasa Sunda ini bisa punya makna yang mendalam, apalagi bagi mereka yang masih berinteraksi dengan tradisi. Karena di dalam kalimat tersebut terkandung makna tentang kelahiran hingga kematian orang Sunda yang terkait dengan bambu. Iwung berarti tunas bambu sebagai penanda kelahiran, sedangkan padung berarti nisan, penanda kematian.
Bambu atau awi dalam bahasa Sunda, sejatinya tidak pernah lepas dalam realitas keseharian masyarakat. Bambu hadir tidak hanya sebagai pelengkap kebutuhan, melainkan punya cara pandang tersendiri dalam kajian rasa masyarakat Sunda.
ADVERTISEMENT
Peradaban masyarakat Sunda adalah peradaban bambu. Bambu menjadi soko guru orang Sunda. Dia hadir dalam cara berpikir dan bertindak. Maka tidak mengherankan jika keseharian urang Sunda berkaitan dengan bambu.
Berangkat dari sisi tradisi dan nilai bambu pada kehidupan, Arga Studio bekerjasama dengan Taman Budaya Jabar hadir mementaskan pertunjukan tari kontemporer 'Sanghyang Awi'. Ayo Sunaryo yang menjadi sutradara sekaligus koreografer, meracik isu bambu dalam gerak yang dinamis para penari berbalut kostum bambu.
Bertempat di Teater Tertutup Taman Budaya Jabar, Kamis (17/10) sore itu satu sesi 'pelajaran' bambu disuguhkan kepada para pengunjung. Tubuh-tubuh budaya penari menggambarkan tentang perjalanan pohon bambu. Mereka menjadi penutur kisah kehidupan bambu yang penuh dengan keindahan, kekuatan, kelenturan, bahkan ketajaman.
Di panggung yang terbatas ruang dan waktu itu bambu “berunjukrasa”. Mengajak penonton untuk masuk dalam tubuh bambu. Beberapa gerakan Silat menguatkan estetika tubuh guna menegaskan penceritaan. Penonton diingatkan pentingnya peran bambu yang hadir dengan pendekatan permainan tradisional seperti ucing sumput maupun kolecer yang berkisah kebersahajaan anak-anak kampung.
Namun pada sisi lain pementasan itu pun interupsi pada kondisi kemarau saat ini. Kemarau yang mengakibatkan kurangnya air untuk kebutuhan keseharian merupakan imbas dari ditebangnya pohon bambu sang penampung air.
Bambu di panggung itu, seolah mencumbu waktu. Melepas rindu pada angin dan harapan jaman yang terus menebang dan menjauhkannya dari air. Lahan-lahan bambu terus tergusur, dijadikan pabrik dan pemukiman.
ADVERTISEMENT
Takada lagi bisik rindu bambu bercanda dengan senja. Hanya kematian yang menunggu bambu di ujung mata golok peradaban. (Agus Bebeng)