Sidang Suap Meikarta Ungkap Bagi-bagi Duit Ratusan Juta oleh Birokrat Bekasi

Konten Media Partner
16 Januari 2019 19:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang Suap Meikarta Ungkap Bagi-bagi Duit Ratusan Juta oleh Birokrat Bekasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sidang kasus suap perizinan megaproyek Meikarta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung. (Ananada Gabriel)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Kasus suap perizinan megaproyek Meikarta kembali disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Rabu (16/1/2019). Lima saksi diperiksa, salah satunya ajudan Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin.
Mereka adalah Acep Eka Pradana (26), Agus Salim (32), dan Asep Efendi (39) pihak wiraswasta. Lalu, saksi berikutnya staf Analis Bidang Tata Ruang Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi, Kusnadi Indra Maulana (43) dan Kasubag Tata Usaha Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bekasi, Marfuah Afwan (30).
Kelima saksi dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas terdakwa Billy Sindoro, Hendry Jasmen, Taryudi, dan Fitrajaya Purnama. Keempat terdakwa merupakan pengembang megaproyek properti Meikarta di Kabupaten Bekasi.
ADVERTISEMENT
Persidangan itu mengungkap alur proses pengajuan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) proyek Meikarta. Proses pengajuan IPPT tersebut dilakukan melalui jalur belakang. Termasuk intervensi langsung dari Neneng Hasanah Yasin.
Dalam kesaksiannya, staf analis DPMPTSP Kabupaten Bekasi, Kusnadi Indra Maulana, mengatakan berdasar ketentuan pengajuan IPPT itu dilakukan dengan cara pemohon mengajukan sendiri ke kantor DPMPTSP.
Menurut Kusnadi, bila dinyatakan berkas lengkap saat pemeriksaan awal di front office, berkas akan masuk ke back office. "Baru kemudian saya yang membuat lampiran gambar," kata Kusnadi.
Namun pada kenyataannya, proses IPPT proyek Meikarta tak melalui jalur resmi. Kusnadi bercerita pada 2017 lalu menerima dokumen dari Neneng berupa permohonan IPPT dari PT Lippo Cikarang. Ajudan Neneng, Agus saat itu diminta untuk mengirimkan dokumen tersebut ke DPMPTSP.
ADVERTISEMENT
Agus lantas menemui Deni Mulyadi sebagai Kabid Tata Ruang DPMPTSP. Dari Deni, dokumen itu langsung diserahkan kepada Kusnadi untuk dianalisa.
"Pada saat itu ada berkas permohonan dari Lippo Cikarang. Pak kabid Deni Mulyadi bilang segera diproses," ujarnya.
Dalam berkas permohonan tersebut, terlihat pengajuan IPPT untuk lahan seluas 140 hektar. Namun setelah dianalisa, kata Kusnadi, ternyata hanya 84,6 hektar yang disetujui.
"Kita periksa langsung. Pembuatan gambar dan yang sesuai peruntukan itu 84,6 (hektare) yang disetujui awal," ucapnya.
Pembuatan gambar kemudian dilaporkan ke Deni Mulyadi. Menurut Kusnadi, Deni langsung menghubungi Satriadi, karyawan Lippo.
"Lalu Satriadi menghubungi saya lalu saya bilang yang disetujui 84,6 hektare itu. Tanggapan dia ikuti aturan saja," katanya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita berkas itu ditandatangani oleh DPMPTSP. Setelah itu diberikan lagi ke Bupati melalui ajudan Agus Salim untuk ditandatangani oleh Neneng.
Ajudan Neneng, Agus mengatakan, setelah penandatanganan itu, Neneng memberikan sejumlah uang baik kepada Yusup Taufik, Kabiro Tata Ruang Dinas PUPR hingga kepada Deni Mulyadi.
"Selain diberikan ke Taufik, ibu memberikan kepada orang lain, kadis lain melalui saksi?" tanya jaksa.
"Waktu puasa tahun 2017, ibu kasih ke Pak Taufik, Pak Carwinda (eks Kadis DPMPTSP). Carwinda ini kadis sebelum bu Dewi (Tisnawati)," katanya.
Hakim menegaskan pembagian tersebut berupa apa? Dijawab Agus menjawab berupa uang. Kemudian Neneng mengarahkan agar uang dikasih ke Taufik Rp100 juta, Carwinda Rp100 juta, dan Deni Mulyadi Rp100 juta.
ADVERTISEMENT
“Kemudian ke Neneng Rahmi besarnya 200 (juta). Waktunya hampir berdekatan waktu puasa 2017," bebernya. (Ananda Gabriel)