Uji Kawani di Atas Bukit dengan Kadaplak

Konten Media Partner
22 November 2019 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peserta balap tengah menggotong Kadaplak mereka ke atas bukit (Foto-foto: Ananda Gabriel)
zoom-in-whitePerbesar
Peserta balap tengah menggotong Kadaplak mereka ke atas bukit (Foto-foto: Ananda Gabriel)
ADVERTISEMENT
BANDUNG BARAT, bandungkiwari - Ada suasana riang dipenuhi gelak tawa di Kampung Batuloceng, Desa Suntenjaya, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (21/11). Riuh rendah teriakan warga membahana saat mereka menyaksikan balapan “mobil” di atas jalan yang menurun dan berdebu.
ADVERTISEMENT
Sesekali terdengar suara dukungan kepada peserta yang tengah mengadu kemampuan menguasai “mobil” dari kayu itu, melesat di lintasan curam.
Inilah permainan Kadaplak. Sebuah permainan tradisional yang menggunakan jalanan menurun dan berdebu sebagai sirkuitnya. Jika basah, sirkuit yang panjangnya sekitar 100 meter ini menjadi sangat licin.
Permainan ini menggunakan kendaraan yang terbuat dari kayu dengan panjang sekitar 80 cm. Pada bagian depan dibuatkan stang sebagai alat kemudi. Sedangkan jumlah rodanya ada yang empat, ada pula yang tiga buah.
Pegiat wisata di Kampung Batuloceng Gunawan Azhari (39) mengatakan, kadaplak merupakan alat permainan lawas. Belum diketahui pasti sejak kapan kadaplak sudah ada di bumi Batuloceng.
Namun menurut Gunawan, berdasarkan informasi dari sesepuh kampung setempat, hiburan rakyat ini sudah ada sejak era tanam paksa. Di mana warga pada masa itu bekerja di perkebunan yang dikuasai Belanda.
ADVERTISEMENT
"Program tanam paksa Belanda itu dimulai di daerah Cibodas, kata aki-aki di sini. Batuloceng sendiri sudah ada lebih awal," ujarnya.
Kadaplak yang dibuat waktu itu, kata Gunawan, dibuat mirip seperti motor roda tiga yang sering digunakan para tuan tanah dari Eropa. Di sela-sela panen tembakau, anak-anak menirukan kendaraan yang dipakai para meneer dengan kadaplak yang dibuat dari rimbagan atau alat pemotong tembakau.
Orang Kampung Batuloceng juga masih mengenal sosok Franz Wilhelm Junghuhn yang kerap dipanggil Mister Junghuhn. Kampung ini diapit dua gunung yaitu Gunung Bukittunggul (2.206 mdpl) dan Gunung Palasari (1.859 mdpl).
"Di sini ia termasuk yang menyebar kina. Dulu itu orang yang sakit malaria dibawa ke Jalan Bivak (dekat makam Junghuhn sekarang)," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan warga Batuloceng memainkan kadaplak adalah saat panen raya tiba. Alat transportasi untuk mengangkut tembakau biasanya dipakai untuk memainkan kadaplak. "Tujuannya ya suka cita. Untuk menghibur juga," kata pria yang akrab disapa Gun Gun itu.
Kampung Batuloceng sendiri bukan tanpa asal usul. Dijelaskan Gun Gun, kampung ini merupakan hasil relokasi pemerintahan Hindia Belanda. Sebekumnya, mereka tinggal di sekitar daerah aliran sungai (DAS) hulu Cikapundung.
Karena terkait fungsi dan pemanfaatan Sungai Cikapundung hulu, pada 1907 pihak Hindia Belanda meminta warga untuk pindah. Mereka yang bersedia pindah diberikan lahan baru sekaligus dapat bekerja di lahan itu.
"Awalnya kampung bernama Babakan Salam. Tapi setelah ditemukan situs Batuloceng berubahlah namanya. Setelah kina dan tembakau yang jadi komoditas di sini, tanaman pun berganti menjadi kopi," kata dia.
ADVERTISEMENT
Dilirik Anak Muda Kadaplak sempat mengalami masa kepunahan akibat tidak ada lagi anak muda yang tertarik memainkannya. Anak-anak muda di kampung tak ubahnya kaum urban kota. Lebih menyukai hal-hal yang memacu adrenalin seperti balap motor hingga terpapar gawai.
Akhir 2013, Gunawan mulai resah dengan kecenderungan anak muda di kampungnya. Mereka mulai kecanduan bermain balap liar di kampung. Berbeda dengan dirinya yang masih merasakan bermain kadaplak sejak usia remaja.
Tahun berikutnya, ia pun mencoba mengajak muda-mudi untuk menghidupkan kadaplak. Awalnya ia menciptakan tiga unit. "Waktu itu tidak seramai sekarang ini. Mereka masih memilih bermain game di gawai masing-masing," katanya.
Untuk memompa semangat anak muda, pada 2016 ia bersama karang taruna membentuk Batuloceng ecotourism. Tujuannya, menjadikan kampung sebagai tempat wisata yang ramah dengan ekologi. Kadaplak adalah salah satu objek permainan yang bisa mengundang wisatawan itu.
"Sejak 2014 itu, setiap tahunnya kita gelar balap kadaplak. Biasanya dipilih pada hari-hari besar dan juga setelah panen. Saya berharap kegiatan ini dilihat sebagai magnet untuk mendatangkan wisatawan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Salah seorang pegiat kadaplak, Fajar Permana (21) mengaku dirinya kini tak lagi suka balapan motor. Dia menyadari kadaplak adalah bagian dari perkembangan kampungnya setelah ikut bergabung dengan karang taruna.
"Waktu saya kelas tiga SD itu masih suka ngadaplak, mengangkut kayu dan rumput. Setelah SMP memang suka balapan karena namanya juga anak muda," kata Fajar.
Selain berhenti balapan, Fajar kini berharap kadaplak dapat dilestarikan sebagai permainan tradisional. "Kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikan kadaplak. Saya berharap pemuda lain juga termotivasi untuk mengangkat kembali permainan ini," katanya. (Ananda Gabriel)