Upah Minimum Jabar 2020 tidak Pakai SK, Ini Alasan Pemerintah

Konten Media Partner
23 November 2019 20:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi buruh pada May Day, 1 Mei 2019 (Foto: Febriyan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi buruh pada May Day, 1 Mei 2019 (Foto: Febriyan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
BANDUNG, bandungkiwari - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sudah menetapkan besaran Upah Minimum Kota / Kabupaten (UMK) 2020. Penetapan ini dikeluarkan melalui Surat Edaran 561/75/Yangbangsos tentang Pelaksanaan UMK di Provinsi Jawa Barat Tahun 2020. Surat Edaran tersebut sesuai dengan rekomendasi dari masing-masing kepala daerah yang telah berkoordinasi dengan para pelaku usaha setempat.
ADVERTISEMENT
Namun Surat Edaran tersebut mendapat pertentangan dari aliansi buruh. Pasalnya, surat edaran bersifat tidak mengikat, dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Lalu apa alasan pemerintah menetapkan besaran ini tidak melalui Surat Keputusan?
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat Mochamad Ade Afriandi menjelaskan, selama ini banyak pelaku industri yang mengeluh tidak bisa melakukan diskusi atas UMK yang ditetapkan lewat SK karena sifatnya yang mengikat. "Jadi kita kedepankan kembali prinsip pengupahan di mana ada perundingan antara pengusaha dan buruh maupun asosiasi buruh," kata Ade di Bandung, Jumat (21/11).
Menurut Ade, Pemprov Jabar dalam beberapa tahun terakhir sudah membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengkaji banyaknya perusahaan di Jabar yang melakukan penangguhan pemberian UMK sesuai dengan Surat Keputusan yang diterbitkan gubernur.
ADVERTISEMENT
Ade mengklaim, setidaknya ada 73 industri yang minta penangguhan sistem upah baru. Penangguhan diminta oleh perusahaan yang didominasi industri garmen ketika keluarnya Surat Keputusan Gubernur Jabar terkait UMK 2018.
Hal serupa juga terjadi ketika Gubernur Jabar mengeluarkan Surat Keputusan terkait kenaikan UMK untuk 2019. Terdapat 54 perusahaan yang langsung mengajukan penangguhan UMK. "Dan 90 persen industri garmen," ujar Ade.
Menurutnya, cukup berbahaya ketika penetapan UMK berdasarkan SK gubernur. Sebab, ketika ada perusahaan yang tidak bisa membayar sesuai aturan mereka bisa dipidanakan. Itu justru membuat pelaku usaha tidak nyaman dan memilih mengirimkan surat penangguhan.
Persoalan itu, kata dia, juga bisa berdampak pada perusahaan yang memilih untuk mengurangi jumlah pegawai atau merelokasi pabrik mereka ke daerah yang ongkos membayar pekerjanya lebih murah. "Ini yang jadi pertimbangan juga kenapa gubernur lebih memilih menerbitkan Surat Edaran," katanya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Ade mengungkapkan disparitas pendapatan pekerja di Jawa Barat sudah terlampau jauh antara satu daerah dengan daerah lain. Misalnya UMK Kawarang dengan nilai Rp4,5 juta, sedangkan di Kota Banjar besarannya baru mencapai Rp1,8 juta.
"Ketika persentase kenaikan UMK disamaratakan semua daerah maka angka disparitas itu tidak akan berubah. Dengan perbedaan upah yang jomplang, masyarakat nantinya tidak ingin bekerja di daerah yang gajinya sangat rendah, dan terlalu banyak orang yang ingin bekerja di daerah dengan gaji paling tinggi," katanya.
Faktor lain dalam penetapan UMK ini, tambah Ade, yaitu angka pengangguran. Menurut Ade, pemerintah daerah telah melakukan diskusi dan menerima masukan dari banyak pihak terkait dengan kenaikan UMK yang layak. Meskipun masih ada pihak yang tidak puas, Pemprov Jabar harus berupaya menjaga iklim usaha pun berjalan baik. “Salah satu cara adalah mempertimbangkan tata cara kenaikan UMK,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pihaknya ingin berusaha agar pekerja tetap bisa bekerja dan mendapat upah layak, sedangkan pengusaha mampu menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan. "Karena kalau upah naik terus nanti pengusaha tidak bisa bayar dan industri tutup. Siapa yang mau bayar gaji karyawan?" kata Ade. (Ananda Gabriel)