WALHI: Program Citarum Harum Harus Diawasi

Konten Media Partner
17 Juli 2018 20:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
WALHI: Program Citarum Harum Harus Diawasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Petani Desa Sekejati, Kecamatan Buahbatu, sedang menanam padi di lahan basah. (Foto: Melisa Qonita Ramadhiani).
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Merespons kandungan air Sungai Cikijing yang makin mengkhawatirkan, pemerintah menggelontorkan program Citarum Harum pada akhir tahun 2017 lalu. Citarum Harum merupakan perkembangan dari dua program pemerintah sebelumnya: Citarum Bergetar (bersih, geulis, dan lestari) pada 2001 lalu Citarum Bestari (bersih, sehat, indah dan lestari) pada 2013.
Pertanyaan yang muncul kemudian: akankah program ini mampu menuntaskan masalah di Citarum atau sama saja dengan program sebelumnya?
Program Citarum Bestari menargetkan, pada 2018, air sungai Citarum dapat diminum. Sayangnya, sampai saat ini kualitasnya belum memenuhi baku mutu air minum sehingga tidak mungkin dikonsumsi. Janji Gubernur Jawa Barat saat itu, Ahmad Heryawan, agar bisa minum air Citarum pada 2018 pun tak terpenuhi, seolah hilang ditelan bumi. Kang Aher, begitu dia akrab disapa, pernah melontarkan janji itu pada 16 Juni 2013 di kawasan hutan kota Babakan Siliwangi, Bandung, bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup.
ADVERTISEMENT
Bergulirnya program Citarum Harum masih bertujuan sama dengan Citarum Bestari. Hanya saja lebih terintegritas karena program ini dibawahi langsung oleh Kementerian Kordinator Kemaritiman. Program ini juga menyasar pada edukasi dan advokasi pada masyarakat di bantaran sungai mengenai pemeliharaan DAS Citarum.
Deputi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar Dwi Rena memberi pandangan tentang program Citarum Harum. Ditemui di kantor Walhi di daerah Cikutra, Dwi menunjukkan posisi komunitas peduli lingkungan Walhi pada program ini. “Citarum (program) ini lebih mengarah pada infrastruktur sungainya. Kami tidak melihat program ini menyentuh sisi manusianya.”
Dalam rancangan program Citarum Harum, terdapat subprogram bertajuk Eco Village. Subprogram tersebut dimaksudkan untuk memulihkan kondisi Sungai Citarum secara berkelanjutan. Namun menurut Dwi, implementasinya tidak sesuai dengan tujuan akhir. Desa sekadar melakukan penyuluhan untuk tidak membuang sampah ke sungai, bukan mengedukasi warga untuk mengurangi sampah dari sumbernya.
ADVERTISEMENT
Alih-alih demikian, program desa berbudaya lingkungan ini disalahartikan kepala desa dan warganya. Beberapa desa dan kelurahan membuat taman di sepanjang sungai dan menghias desanya dengan cat warna-warni. Menurut Dwi, hal ini bukannya buruk, tapi melenceng dari target sesungguhnya.
Berdasarkan pengalaman Dwi ketika bertandang langsung ke desa yang meluncurkan program tersebut, warga desa kebingungan untuk menjalankannya. Mereka seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan karena tidak ada penyuluhan sebelumnya. Tidak ada fasilitas pengolahan sampah yang memadai, warga pun tidak tahu harus memulai dari mana. Sekalipun ada, fasilitas itu bukan dijalankan swadaya oleh masyarakat, melainkan ditangani oleh BUMN Pertamina. Meski penyelenggaranya adalah pemerintah, namun semestinya pelaksana lanjutan tetap warga setempat.
Rencana Aksi dan Progres Eco Village yang dipaparkan Dinas Lingkungan Hidup Jabar (DLH) pada 8 Oktober tiga tahun lalu di Gedung Sate menjabarkan partisipasi warga dengan DLH Jabar. Di sana tertera proses riungan warga mencakup pemetaan swadaya dan pendampingan. Pada presentasi oleh DLH itu dikatakan, dalam proses riungan terdapat peran aktif fasilitator di dalamnya, termasuk juga pendamping lokal. Berbeda dengan kenyataan di lapangan.
ADVERTISEMENT
“Jika memang program tersebut bertujuan untuk membersihkan Sungai Citarum dalam jangka panjang, seharusnya pelaksanaan program ini terus dipantau oleh penyelenggara program sebelum warga dilepas untuk bisa menjalaninya sendiri,” kritik Dwi.
Dwi mencontohkan, ada satu desa di Kabupaten Bandung yang warganya malah mengandalkan petugas kebersihan untuk mengelola bank sampah, bukan warga yang mengelolanya sendiri.
Contoh keterlibatan masyarakat yang dilatarbelakangi kesadaran dijalankan warga Desa Sekejati. Sejak 2016, warga Desa Sekejati Kota Bandung membersihkan Sungai Cidurian setiap hari.
“Kami bersih-bersih dari jam 7 pagi sampai jam 1 siang. Setiap hari sejak dua tahun lalu rutin seperti ini,” ujar Amin, salah satu anggota Tim Gober (Gorong-gorong Bersih) Sekejati. Saat ditemui penulis beberapa waktu lalu, Amin tampak sedang membantu memotong rumput-rumput liar yang tumbuh di dinding Sungai Cidurian.
WALHI: Program Citarum Harum Harus Diawasi (1)
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa anggota Tim Gober sedang memangkas rumput liar yang tumbuh di dinding Sungai Cidurian, Kota Bandung beberapa waktu lalu (Foto: Melisa Qonita Ramadhiani)
ADVERTISEMENT
Amin menjelaskan, program Gober ini digulirkan sejak Ridwan Kamil menjadi walikota Bandung pada 2016. Dibandingkan program berbasis lingkungan lainnya, program tersebut patut diapresiasi karena masih berjalan hingga sekarang.
Menurut Amin, program ini bukan bagian dari Citarum Harum atau dua program sebelumnya. Program mandiri ini dijalankan warga Desa Sekejati dan mendapat antusiasme warga. Dalam sehari, ada lima anggota Tim Gober dari tiap RW yang dikerahkan untuk membersihkan sungai.
Amin merasakan perbedaan signifikan sejak berlangsungnya program ini dalam dua tahun terakhir. Dua tahun lalu sebelum program berjalan rutin, sampah yang tertumpuk sangat mengganggu warga. Kini memang masih ada sampah yang tersisa di Sungai Cidurian namun jumlahnya sudah jauh berkurang. Airnya pun tidak lagi berbau dan tidak lagi hitam legam seperti dua tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada program inilah, kata Dwi, jika memang pemerintah menargetkan Citarum Harum sebagai program jangka panjang, seharusnya penerapannya bisa terus dipantau agar tetap bisa berjalan baik seperti program Gober ini. “Dengan pengawasan badan pemerintah seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), bukankah gerakan ini bisa dijalankan dengan masif?“
Dwi berharap BBWS dibantu komunitas dan BUMN dalam pendekatannya dengan warga. Menurut dia, program yang melibatkan warga akan disambut baik, apalagi jika program itu memenuhi apa yang warga butuhkan. Hal ini mengingat Sungai Citarum yang membentang panjang, kondisi geografis yang berbeda tentu menjadikan masyarakat dengan kebutuhan berbeda pula. “Dengan begitu, program Citarum Harum bisa terealisasikan seperti yang direncanakan.” tutup Dwi. (Melisa Qonita Ramadhiani)
ADVERTISEMENT