Konten Media Partner

Ziarah Pameran Tubuh Ala Seniman Bandung

5 Agustus 2018 18:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ziarah Pameran Tubuh Ala Seniman Bandung
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pameran kolase “Perversion” karya seniman Nandanggawe di Rumah Budaya Rosid, Jalan Cigadung Raya Tengah 10 Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Tubuh dianggap sebagai situs yang merekam jalannya peradaban. Perspektif ini mungkin berbeda dengan pengertian tubuh yang disodorkan ilmu biologi ataupun agama.
Beragam jenis tubuh itu tampak dalam dua pameran instalasi “Kepada Ayah Kepada Sawah” karya seniman Rosid dan “Perversion” kolase karya seniman Nandanggawe di Rumah Budaya Rosid, Jalan Cigadung Raya Tengah 10 Bandung.
Seniman Nandanggawe selama ini memang dikenal seniman yang konsisten “mengeksploitasi” tubuh. Pun di pamerannya kali ini, ia menyajikan tubuh-tubuh manusia dengan bentuk ganjil yang terbuat dari kolase majalan bekas.
“Ada banyak tubuh di karya Nandang. Di dalam tubuh ada sejarah peradaban dunia bahkan ada semesta,” kata penulis yang juga kritikus seni, Hikmat Gumelar, dalam orasi budaya di Rumah Budaya Rosid, pekan lalu, di hadapan lebih dari 20 orang pecinta seni yang menghadiri pembukaan dua pameran tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut seniman yang pernah bergiat di Institut Nalar Jatinangor tersebut, macam-macam perawatan dilakukan terhadap tubuh. Ada tubuh yang dirawat dengan penuh hormat dan cinta yang tulus, ada juga tubuh yang dirawat dengan cinta, fulus, status, dan hari depan yang seperti firdaus.
Menurutnya, situs tubuh yang dirawat fulus dan firdaus merupakan modus perawatan umum dan dianggap paling jitu. Perawatan dengan modus ini ibarat merawat gedung peninggalan kolonial atau candi yang tidak berdasarkan karakter objek yang dirawatnya. Model perawatan ini dilakukan berdasarkan selera pasar.
Sedangkan selera pasar tak pernah ajeg karena menjadi bagian dari sirkuit kapital yang cepat berubah dan sulit diantisipasi. Tubuh-tubuh kemudian dipaksa mengikuti selera pasar agar tak tenggelam dan membusuk.
ADVERTISEMENT
Tubuh yang harus mengikuti selera pasar tidaklah gratis. “Untuk bisa mengikuti selera pasar harus punya daya beli tinggi, sehingga diperlukan kerja dan kerja. Padahal kerja cuma kegiatan ekonomi, supaya lempang, kerja diberi landasan filosifis bahwa manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus).
Ziarah Pameran Tubuh Ala Seniman Bandung (1)
zoom-in-whitePerbesar
Instalasi “Kepada Ayah Kepada Sawah” karya seniman Rosid di Rumah Budaya Rosid, Jalan Cigadung Raya Tengah 10 Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari)
Hikmat menilai, memandang manusia semata-mata sebagai makhluk ekonomi adalah pandangan yang koruptif. “Dalam landasan koruptif ini peran tubuh vital sebagai mesin untuk memutar sirkuit modal,” katanya.
Namun di saat yang sama, ketika tubuh diseret ke dalam selera pasar, dia akan dijauhkan dari tabiat dasarnya, yaitu tanah, air, angin, cacing, burung, bajak dan pola-pola hidup yang ada di tanah agraris yang semuanya merupakan pemungkin tubuh bertumbuh dan berproses budaya.
ADVERTISEMENT
Hikmat melihat pertanian atau kultur agraris sebagai awal mula peradaban manusia. Pola hidup ini muncul ketika sistem nomaden berakhir. Manusia mulai bertanam dan beternak. Lewat pertanian, manusia berhasil meningkatkan asupan gizi dan protein. Tubuh menjadi sehat dan kuat. Populasi manusia pun bertambah.
Manusia kemudian menemukan teknologi baru seperti pisau, panci, kapak, dari berbagai bahan alam seperti kayu dan batu. Lalu lahir pula alat lain seperti tangga dan perahu. Lahan kehidupan semakin luas dan pekerjaan pun bertambah.
Dari situ lahirlah pembagian kerja dan pendataan kerja. Untuk membuat data ini maka lahir aksara yang menjadi cikal bakal lahirnya kebudayan. Sehingga kebudayaan lahir dari tanah dan air petani dan peternak. “Kebudayaan terus kembang dari pertanian dan peternakan,” ungkap Hikmat.
ADVERTISEMENT
Namun Hikmat mencatat munculnya cendikiwan yang kemudian memproduksi wacana kebudayaan. Kebudayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang adiluhung. Kebudayaan dipandang lahir dari tangan-tangan halus bukan dari tangan berlumpur.
Ziarah Pameran Tubuh Ala Seniman Bandung (2)
zoom-in-whitePerbesar
Budayawan Hikmat Gumelar (kanan) dalam orasi budaya di Rumah Budaya Rosid, Jalan Cigadung Raya Tengah 10 Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari)
Saat itulah, kata Hikmat, kapitalisme masuk dan bersekutu dengan cendikiawan, walaupun mereka kadang berseteru. Tapi kedua pihak ini sama-sama memproduksi tubuh kebudayaan yang sesuai dengan produksi wacana mereka.
Tubuh pun menjadi korban produksi wacana. Tubuh menjadi penuh kepura-puraan atau sandiwara. “Tubuh seperti itu yang saya lihat di karya Nandang, tubuh itu tubuh, tapi tubuh abnormal secara anatomis. Komposisinya amburadul,” katanya.
Lewat karya-karya Nandang, Hikmat melihat tubuh sebagai medan perang antara identitas dan hasrat. Karya Nandang seakan mengajak ziarah tubuh.
ADVERTISEMENT
“Saya merasa menemukan dimensi tubuh yang selama ini belum saya temukan. Karya Nandang ingatkan banyak misteri dalam hidup, rajin ziarah setidaknya ke tubuh sendiri,” katanya.
Meski berbeda jenis karya seni, di mata Hikmat, seniman Rosid juga mengajak berziarah. Di Rumah Budaya Rosid dipamerkan berbagai macam peralatan pertanian tradisional seperti lesung, halu, jubleg, garu, dan sebagainya. Semua benda yang mirip artefak itu diletakkan dan di tata di ruang-ruang baru, bukan di lahan pertanian, sehingga membuka berbagai kemungkinan.
“Bagi saya (instalasi Rosid) mengingatkan pada sawah, kerbau yang membajak, nyanyian orang ketika sedang membajak, ibu dengan kebaya yang kerja mengitari lisung dengan halu dengan gestur dan ritme selaras, keringat mereka serupa butiran mutiara, bercanda, ada dapur petani, hawu (tungku), kayu bakar, aseupan, dulang dan, itulah yang membetuk tubuh kita, menumbuhkan tubuh dan kita kemudian lupa,” ungkap Hikmat.
ADVERTISEMENT
Rumah Budaya Rosid menurutnya dibangun sebagai ruang budaya untuk berziarah. “Untuk ziarah tubuh siapa tahu tubuh kita tidak bersandiwara,” katanya. (Iman Herdiana)