Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cincong: Tiruan Suara Bising?
29 Juli 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Abdullah Muzi Marpaung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Cincong merupakan kata yang cukup sering digunakan, baik dalam percakapan sehari-hari maupun karya sastra. Tak ada kesulitan bagi kita untuk memahami kata ini. Dari bunyinya, mudah pula bagi kita untuk menduga bahwa cincong berasal dari bahasa Tionghoa atau terpengaruh kultur Tionghoa. Akan tetapi, benarkah dugaan itu? Kajian pustaka berikut ini mungkin akan memberikan pandangan baru tentang asal mula kata cincong.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring VI, cincong diartikan sebagai (1) perbuatan yang tidak sewajarnya; tingkah; ulah dan (2) banyak bicara; cerewet. Akan tetapi, tak terdapat keterangan etimologis yang mengindikasikan bahwa cincong berasal dari bahasa Cina. Ia tak seperti bakpao, siomai, atau bakmi yang jelas diterangkan sebagai hasil serapan dari bahasa Hokkien dialek Xiamen.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan kamus lain? Pada Kamus Indonesia-Inggris susunan John M. Echols dan Hassan Shadily (2000) tidak terdapat keterangan (Ch) pada entri cingcong (bentuk baku dari cincong menurut kamus ini) yang menandakan asal dari Cina. Sementara itu, pada A Comprehensive Indonesian-English Dictionary yang disusun Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings terdapat keterangan (C?) pada entri cincong, yang menandakan keraguan penyusun untuk menyebutkan bahwa kata ini berasal dari bahasa Cina. Satu tambahan yang menarik, pada kamus bahasa Melayu Malaysia daring cincong disebutkan berasal dari bahasa Indonesia. Lantas, dari mana cincong berasal?
Penelusuran kata tjintjong dan berbagai variannya pada berbagai jenis pustaka lama menghasilkan beberapa keterangan yang menarik. Pertama, ditemukan sejumlah varian kata selain tjintjong, yaitu tjin tjong, tjingtjong, tjing tjong, dan tjentjong. Kedua tak satu pun kamus Melayu-Belanda memuat entri tjintjong atau variannya. Entri tersebut juga tidak terdapat pada kamus bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta (1954).
ADVERTISEMENT
Ketiga, terdapat entri main cingcong pada dua kamus bahasa Jawa, yaitu Javaans-Nederlands Handwoordenboek susunan Th. Pigeaud (1938) dan Baoesastra Djawa susunan W.J.S. Poerwadarminta (1939). Oleh Pigeaud main tjingtjong diartikan sebagai praatjes maken, mopperen, sedangkan oleh Poerwadarminta diartikan sebagai grenengan, grundelan. Dalam bahasa Indonesia keduanya kurang lebih berarti gerutu, omelan.
Keempat, terdapat entri tjentjong pada kamus bahasa Minangkabau (1935) yang diberi arti tingkah. Banyak tjentjong berarti bertingkah. Keempat, terdapat banyak sumber, terutama artikel koran, yang memuat nama orang Tionghoa dengan tjing tjong atau tjin tjong, seperti Tin Tjing Tjong (1892), Soei Tjing Tjong (1895), Liem Tjing Tjong (1898), Tjing Tjong Hin (1925), Goei Tjin Tjong (1902), Tjin Tjong Tjam (1926), dan Tan Tjin Tjong (1951).
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, tak ada satu sumber pun yang menyebutkan bahwa tjing tjong atau tjin tjong merupakan kata yang berasal dari bahasa Tionghoa. Kelima, terdapat beberapa buku dan karya sastra yang menyertakan tjing-tjong sebagai suatu onomatope atau kata tiruan bunyi. Pada puisinya, De Ziende (1863), J. J. Cremer menyertakan ungkapan tjing-tjong untuk suara yang ditimbulkan ketika Mieke sang wanita pujaan tengah mengaduk mentega. Dalam sebuah buku bacaan untuk siswa sekolah,
Het katholieke leven (1923), terdapat ungkapan tjing-tjong-tingeting, yang menggambarkan bunyi lonceng gereja. Hampir mirip, Boer, J.W. de Boer dalam romannya, Vrouwen en vrienden (1938), menggunakan tjing-tjong-tjang untuk mewakili suara lonceng. Dalam novelnya, De Korenharp (1940), Ferdinand Bordewijk menggunakan frasa tjing tjong ping pong sebagai tiruan suara alat musik dawai yang dimainkan oleh seekor kelelawar vampir.
ADVERTISEMENT
Keenam, pada kamus Aceh-Belanda (1934) yang disusun oleh Hoesein Djajadiningrat entri tjintjong dideskripsikan sebagai tiruan suara bahasa Tionghoa, yaitu suara ketika orang Tionghoa berbicara yang biasanya terdengar ramai.
Telaah pustaka ini bermuara kepada satu dugaan kuat bahwa cincong, cencong, atau cingcong merupakan suatu onomatope dari bunyi yang bising, berisik, atau riuh yang tidak selalu ada kaitannya dengan kultur Tionghoa. Onomatope ini tampaknya kerap digunakan oleh orang-orang Belanda dalam berkomunikasi dengan bangsa Indonesia – atau Hindia Belanda pada masa lalu – sehingga kemudian diserap ke dalam beberapa bahasa lokal Nusantara sebagai kata yang merepresentasikan kebisingan seperti gerutu, banyak tingkah atau ulah, banyak bicara, cerewet, dan omelan.