news-card-video
11 Ramadhan 1446 HSelasa, 11 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Gawai Rasa: Kata yang Lenyap

Abdullah Muzi Marpaung
Dosen Teknologi Pangan Swiss German University yang juga menggeluti dunia sastra dan bahasa Indonesia, narasumber Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk penyusunan istilah Ilmu dan Teknologi Pangan.
7 Maret 2025 14:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdullah Muzi Marpaung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dibuat dengan bantuan AI generatif DALL·E
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dibuat dengan bantuan AI generatif DALL·E
ADVERTISEMENT
Di antara sekian banyak istilah Melayu lama yang terdokumentasi dalam kamus, gawai rasa adalah salah satu yang misterius. Tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) modern maupun sumber akademik lainnya, istilah ini hanya tercatat dalam Kamus Melayu-Belanda yang disusun oleh H.C. Klinkert (1901-1916). Dalam kamus tersebut, gawai rasa diterjemahkan sebagai medelijden, yang dalam bahasa Belanda berarti belas kasihan atau empati.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh penggunaannya dalam teks berbunyi:
"Tiada gawai rasa akan kita, orang toewa," diterjemahkan sebagai "heeft geen medelijden met mij, oud man" (tidak memiliki belas kasihan terhadap saya, orang tua).
Pencarian lebih lanjut menunjukkan bahwa tidak ada sumber lain yang mencatat istilah ini, baik dalam jurnal akademik yang ditelusuri melalui Google Scholar maupun dalam arsip digital seperti perpustakaan nasional Belanda versi digital, Delpher.nl. Satu-satunya petunjuk mengenai asal-usulnya adalah bahwa istilah ini muncul dalam Hikayat Prabu Jaya, sebuah cerita dalam siklus Panji yang telah lama menjadi bagian dari tradisi sastra lisan di Nusantara sebagaimana yang disebutkan oleh Klinkert.
Bagaimana mungkin suatu istilah yang pernah tercatat dalam kamus justru kini hilang? Apakah gawai rasa pernah benar-benar digunakan dalam kehidupan sehari-hari, ataukah ia sekadar sebuah ungkapan yang terbatas dalam teks sastra?
ADVERTISEMENT
Kata gawai sendiri bukanlah istilah asing dalam bahasa Melayu. Berasal dari bahasa Jawa, gawe, kata ini umumnya dikaitkan dengan pekerjaan atau tugas. Dalam KBBI, gawai memiliki beberapa arti, di antaranya "kerja; pekerjaan" dan "alat; perkakas," yang kemudian berkembang menjadi istilah modern seperti gawai pintar, yang merujuk pada perangkat elektronik yang dapat menjalankan berbagai fungsi otomatis. Perkembangan makna ini menunjukkan bagaimana bahasa terus berubah seiring dengan perkembangan budaya dan teknologi. Namun, di tengah perubahan ini, gawai rasa malah menghilang tanpa jejak.
Sebaliknya, gawai raja, istilah lain yang juga jarang digunakan, tetap bertahan dalam kamus hingga kini. Dalam KBBI, gawai raja diartikan sebagai "kerja paksa," yang dalam konteks kolonial disebut heerendiensten. Sumber lain, seperti Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (1894), menerjemahkan istilah ini secara harfiah sebagai werk voor den Koning (pekerjaan untuk raja). Kata gawai dalam gawai raja jelas berhubungan dengan konsep kerja atau tugas, yang menjelaskan mengapa istilah ini bertahan meskipun jarang digunakan.
ADVERTISEMENT
Menariknya, gawai rasa tampaknya memiliki makna yang berbeda, lebih abstrak dan emosional. Jika gawai raja menunjukkan kewajiban fisik rakyat terhadap penguasa, gawai rasa mungkin merujuk pada suatu kewajiban moral atau emosional seseorang terhadap sesamanya. Hilangnya istilah ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Jika gawai rasa hanya muncul dalam hikayat dan tidak memiliki akar dalam bahasa lisan, maka tidak mengherankan jika ia akhirnya terlupakan. Selain itu, istilah seperti belas kasihan atau rasa simpati mungkin lebih umum digunakan, menggantikan gawai rasa dalam percakapan sehari-hari.
Sementara gawai rasa hanya ditemukan dalam Hikayat Prabu Jaya, istilah serupa dalam bahasa Jawa, yaitu gawé rasa, tercatat dalam Kamus Belanda-Jawa Pigeaud (1948). Namun, makna yang diberikan sangat berbeda: griming-griming, yaitu sensasi geli atau sentuhan ringan. Dua istilah ini, meskipun bentuknya mirip, tidak memiliki keterkaitan makna. Jika gawai rasa dalam Melayu merujuk pada empati, gawé rasa dalam Jawa lebih berkaitan dengan pengalaman sensorik. Tidak ada bukti bahwa keduanya berasal dari akar yang sama atau mengalami pergeseran makna yang berhubungan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini mencerminkan bagaimana bahasa mengalami seleksi alami. Kata-kata yang tidak memiliki fungsi yang jelas dalam kehidupan masyarakat sering kali menghilang atau tergantikan oleh istilah yang lebih relevan. Jika gawai raja tetap lestari karena terkait dengan sistem sosial yang memiliki dampak nyata, gawai rasa mungkin gagal bertahan karena maknanya yang lebih abstrak dan kurang memiliki fungsi praktis dalam bahasa sehari-hari.
Dengan hanya satu jejak dalam kamus Klinkert dan tanpa bukti penggunaannya di luar hikayat, gawai rasa menjadi salah satu istilah bahasa Melayu yang hilang dalam arus waktu—sebuah kata yang pernah ada, tetapi kini hanya tersisa sebagai catatan samar dalam sejarah linguistik.