Sumamburat: Kerudung Nopo Sarung

Konten Media Partner
24 Januari 2018 12:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sumamburat: Kerudung Nopo Sarung
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Suparto Wijoyo*
TAKZIM, ketertundukan dan simpuh hormat selalu kuhantarkan kepada para Kiai-kiaku, guru tingkat Langgar dan Masjid di kampung halaman maupun Madrasah serta perguruan-perguruan yang selam ini “mendadar” diriku. Dari beliau-beliau itulah saya mendapatkan pengajaran dan teladan menyeru hikmah. Belajar bersesuci dengan air suci yang menyucikan maupun urusan-urusan fiqih seperti diterangkan Imam Al-Ghazali dalam kitab induknya Ihya Ulumiddin tak elok dilupakan. Puluhan kitab Sang Imam kelahiran Kota Thus, Khurasan tahun 450 Hijriyah ini memang menjadi rujukan yang senantiasa diwarnakan kepadaku.
ADVERTISEMENT
Kiai yang tinggal di pedesaan sampai dengan perkotaan yang dipenuhi gedung-gedung angkuh menjulang menyapa angkasa tetaplah ada dalam poros meneduhkan jamaahnya. Beragam pilkada dilintasi para kiai tanpa jeda meski sesekalifitnah membubung dari setiap jejak langkahnya.
Kiai memanggul pesona dan menuang kehangatan dengan martabat dan keluhuran budinya senafasfungsi utamanya “sebagai pewaris para nabi” sebagaimana hadits yang diriwayatkanAt-Tirmidzi. Semua santri paham betul mengenaikiai selaku pengemban ilmu alias ulama “penyambung suara umat” Nabi.
Gusti Allah swt menjaga marwah Kiai dengan posisi yang amat indah di bentara sosial. Sebuah realitas untuk menunjukkan bahwa Kiai itu bagian dari ayat-ayat hidup guna “ditafakuri” seperti kalian “menatap julangan gunung berapi. Pengajaran berthara dipraktekkan“sebagai bagian dari iman”, sehingga merupakan “amnesia makna” apabila kini banyak dikampanyekan orang-orang sekolahan tentang pentingnya cuci tangan, menjaga hidup bersih.
ADVERTISEMENT
Bagaimana anda yang shalatnya tidak jelas harus mengajari hidup bersih kepada mereka yang tidak telat lima waktunya? Bukankah sudah amat mendarah daging pesan bersesuci, hingga para the best prayers pastilah tidak hanya rajin bercuci tangan, bahkan cuci muka, cuci kaki, mengusap kepala serta telinga pun niscaya dilakukan. Atau memang terdapat keanehan: di mana ada penyembah tetapi jorok hidupnya. Kalau ini yang tampak, betapa pejorok yang rajin shalat itu sesungguhnya sedang membenihkan kontroversi tanpa arti.
Dalam tingkat ini saya sangat mengerti mengapa dahulu guru-guru, modin di langgar kampung sangat keras mengajari mengaji dan tata cara berwudhu serta shalat. Melalui cara hidup bersih itulah harum diri kiai menyerbak ke suluruh relung kehidupan murid-muridnya dan nyantol di benak nuraninya. Maka pelajaran kiai sangat menentukan kualitas hidup, tetapi sering diabaikan melalui propaganda “operasi disfungsional ulama” agar menepi dari jalannya negara.
ADVERTISEMENT
Kiai berpuluh tahu digiring menghindari “kandang” urusan pemerintahan. Cukuplah kiai itu berkiprah di mushollah-langgar-surau dan masjid, itupun dengan “pendampingan” demi “ketertiban umum”. Dewan masjid musti diisi oleh pejabat-pejabat “cucuk lampah” agar semua ada dalam “bincangan kelom pencapir yang nyinyirnya senada”. Kenapa “petinggi super RT” harus melirik jabatan “dewan langgar nasional”? Terhadap hal ini jangan keburu curigai sebab mereka sejatinya ingin menghirup segarnya wangi kiai. Orang mau sobho masjid kok diviralkan selaksa “dewan mushollah” ini untuk mengantisipasi pilpres 2019. Ojok curiga kepada kelana imaji “tilik kiai”.
Ah… ojo nggumunan lan ojok kaguman atas kasunyatan hari-hari ini bilamana kiai menjadi lambang kekuasaan. Walau untuk merebut jabatan di kursi yang menunjukkan tahta terhebat harus diberi “sajadah perkiaian” guna meraih rekomendasi partai. Kekuasaan itu memang mempesona dan kiai tidaklah haram turut terlibat menentukan siapa jago yang digadang-gadang menang demi kokohnya agama, bukan yang menista-nista iman. Di lingkup inilah aroma kiai tidak hanya di karpet musholla yang lusuh. Wangi kiai harus disemerbakkan ke seantero ruang pilkada dengan risiko nyaringnya teriakan para “hulubalang kuasa” produk fase sejarah yang pernah mengajarkan “ulama jangan berpolitik”.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kiai tidak boleh mengajari berpolitik, bukankah menentukan wudhu dan tayamum saja memasuki wilayah birokrasi karena menyangkut bersesucinya kepala daerah. Memang terkadang saya sendiri tercengang dengan kemantapan ucap seseorang yang sudah tamat semua jenjang pendidikan yang berujar kencang: tidak ada tradisi negara dalam Islam atau Islam tidak mengajarkan tata cara bernegara. Kawan saya yang tinggal di pinggiran kota ini membuat saya bersenyum dengan bisiknya: “Cak, iku wong pinter opo wong keblinger”. Islam tidak “merawikan tradisi bernegara”, iku ngomong opo kora-kora. Kata pembaca setia Sumamburat asal Bojonegoro ndeso.
Lho … pada saat Kanjeng Nabi Muhammad saw di Madinah dengan Piagam Madinah (622) sambil berkirim surat ke raja-raja sekitar, itu statusnya sebagai Nabi apa sebagai Kepala Negara? Dan Madinah saat sugengnya Kanjeng Nabi saw itu, dipresideni sopo yo? Sewaktu khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634), Umar Ibnul-Khaththab (634-643), Utsman Bin Affan (644-656), termasuk Ali Bin Abi Thalib (656-661), apa sejatinya beliau itu hanya “takmir masjid Nabawi” dan ada “presidennya sendiri” selain beliau ya?
ADVERTISEMENT
Ah … omongan ahistoris tidak usah dibincang panjangkan kata teman ini, anggap saja hanya ingin dianggap paling nasionalis di negeri ini “orang tega jadi rayap agamanya”. Amboi, mau menjadi nasionalis tidak perlu “menggerhanai agama” dengan ujaran “Islam tak pernah mentradisikan hidup bernegara”? Nyuwun sewu njih, kiai … panjenengan harus terpanggil mengawal jalannya pilkada, dan terimalah semua paslon yang kini rajin silaturahmi meski sudah terang di pendulum mana kiai berposisi: kerudung nopo sarung?
*Penulis adalah Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga