Bisakah kita hidup dengan bekerja secara remote?

Abang Edwin SA
Seorang Konsultan yang memfokuskan diri pada dunia online terutama pada human behavior yang ia yakini menjadi pondasi dari semua aktivitas yang terjadi di internet. Ia memiliki latar belakang dunia seni terpakai (applied art) yang membawanya menyelesaikan pendidikan + 6 tahun pengalaman sebagai seorang desainer produk dan juga perencana produk dari keseluruhan hampir 25 tahun pengalamannya bekerja. Kalian akan mendapati tulisan-tulisan Bangwin dengan beragam topik di lamannya ini. Mudah-mudahan bisa bermanfaat :-)
Konten dari Pengguna
17 April 2018 5:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abang Edwin SA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bisakah kita hidup dengan bekerja secara remote?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Mungkin banyak dari kita sudah menjalani hidup sebagai freelancer namun apakah bekerja secara remote itu hanya bisa dijalankan as a freelancer? I don’t think so, banyak perusahaan yang sudah ‘sadar’ bahwa pengeluaran itu akan jauh lebih efektif dan efisien jika digunakan untuk hasil/result ketimbang harus dikeluarkan untuk hal-hal yang sifatnya agar karyawan terikat dan memastikan mereka bekerja untuk si perusahaan di kantor. Yuk kita bahas, jangan lupa berikan pendapat kalian di bagian komen ya?
ADVERTISEMENT
Freelancer
Bekerja sebagai freelancer sudah cukup dikenal, hanya memang kebanyakan freelancer ini identik dengan pekerjaan tambahan dimana hasil yang didapat tidak sebesar jika kita bekerja sebagai fulltimer. Apakah benar demikian? Ya ini sangat tergantung dari dimana pekerjaan sebagai freelancer itu didapat. Beberapa ilustrator muda asal Indonesia berhasil menembus pasar internasional (kebanyakan dari mereka adalah freelancer tetap). Dengan perbedaan currency dan rate pendapatan saya pikir menjadi freelancer atau bekerja secara remote dari Indonesia untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dari negara-negara yang secara perekonomian jauh lebih baik dari negara kita adalah cara yang paling pas. Tentu saja ada beberapa skill tambahan yang harus dikuasai termasuk fundamental berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
Memang kuncinya adalah bagaimana memperluas pasar karena dengan teknologi saat ini yang tersedia sangat disayangkan jika para freelancer hanya menggantungkan pasar lokal atau setempat saja.
ADVERTISEMENT
Remote Fulltimer
Remote fulltimer adalah karyawan tetap namun bekerjanya secara remote alias mostly tidak di kantor. Apakah ini dimungkinkan? Well ya mungkin saja. Apalagi jika perusahaan memang tidak memerlukan keberadaan kantor fisik
Saya sudah beberapa kali bertemu dan ngobrol dengan salah satu sahabat saya, Robin Malau yang dulu dikenal sebagai gitaris band cadas asal Bandung, Puppen (di era 90an). Saya mengenal Robin terbagi dalam 3 era, yaitu di era dia masih berprofesi sebagai musisi (saat itu saya yang kenal dia tapi dia sih enggak, hahaha), lalu saat dia tinggal di Bali & Jakarta dimana dia bekerja di perusahaan yang berkaitan dengan website development dan digital agency, lalu di era terakhir dimana dia bekerja secara remote di sebuah perusahaan yang namanya Sound Diplomacy yang kantornya ada di London dengan klien-klien besar tersebar di seluruh dunia (The City of London adalah salah satu klien mereka juga).
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan membahas bagaimana Robin mendapatkan pekerjaan ini, tapi saya akan membahas bagaimana sebuah perusahaan kelas kakap seperti Sound Diplomacy bisa memanfaatkan kapabilitas Robin dengan mempekerjakannya as a fulltime consultant secara remote. Simpel sebenarnya, kata kuncinya adalah result/hasil pekerjaan. Selama Robin bisa mengerjakan seluruh pekerjaan dengan baik ke reporting superiornya ya selama itu pula ia dianggap mampu mengerjakan pekerjaannya.
Apa yang Robin alami ini sebenarnya bukanlah hal baru di negara-negara maju dimana dengan memanfaatkan teknologi sebagai tulang punggung bagi perusahaannya yang memungkinkan karyawannya bekerja dengan mengefisienkan waktu dan biaya bagi kedua belah pihak (karyawan & perusahaan). Saat saya bekerja di Yahoo!, walaupun tidak untuk setiap hari, kami diijinkan untuk bekerja dari rumah (istilahnya WFH = Work From Home), dimana alat komunikasi real-time yang secara mandatori harus nyala terus adalah Yahoo! Messenger, email, Skype, WeTransfer, dan tentu saja VPN khusus untuk masuk ke jaringan kantor. Yang terjadi ya work as a regular fulltimer, kecuali jika kita harus melakukan pertemuan di kantor, ya tentu saja kita harus ke kantor.
ADVERTISEMENT
Keuntungan bagi perusahaan
Rugi dong perusahaannya kalau mereka sudah menggaji karyawan tapi karyawannya tidak datang ke kantor? Sudut pandang ini yang biasanya dikemukakan oleh kebanyakan perusahaan sehingga mereka tidak mau mempekerjakan karyawan remote worker/employee. Sayangnya kerugian tersebut baru bisa terlihat valid jika perusahaan membandingkan langsung dengan pengeluaran tetap perusahaan per bulannya untuk menyewa kantor, membayar listrik, membayar internet, telpon, dan lain sebagainya.
Sebagai perbandingan, menurut Robin, Sound Diplomacy itu operasionalnya dijalankan dari sebuah co-working space yang terletak di kota London. Ya tetap kantor, namun co-working space dimana hampir semua karyawannya bisa datang bisa juga kerja di tempat yang menurut mereka enak buat bekerja. Jika perlu meeting di kantor baru datang ke kantor. Namun jika meeting bisa dilakukan ditempat lain juga boleh.
ADVERTISEMENT
Keuntungan bagi perusahaan ya jelas, secara operasional jauh lebih simpel untuk dikelola seharusnya tentunya semua karyawan harus bisa memanfaatkan teknologi pendukungnya dan perusahaan harus bertransformasi juga.
Mungkin dari kalian ada yang bisa berbagi pengalaman tentang bekerja secara remote? Boleh dong di share juga di bagian komen di bawah.