Ironi Negeri Asbak Rokok

Konten Media Partner
31 Mei 2019 9:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rokok. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Rokok. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Menjadi kaya, bahkan orang terkaya, adalah hak setiap warga negara. Tak ada satu pun regulasi di Indonesia yang melarang warganya untuk menjadi orang terkaya. Dalam konteks agama pun hal tersebut tidak dilarang.
ADVERTISEMENT
Kalangan agamawan sering mendorong umatnya agar menjadi orang kaya. Cuma satu hal yang layak disorot: Bagaimana kekayaan itu diperoleh? Apakah kekayaan itu diperoleh melalui korupsi?
Majalah Forbes (edisi/11/2011) menyebut bos bisnis industri rokok yang menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan 10 miliar dolar AS atau Rp 91 triliun.
Bila diperhatikan, sumber kekayaan orang tersebut di antaranya bergelut dalam bisnis industri rokok, di mana sebagian orang sangat sensitif akan hal tersebut. Pasalnya komoditas bisnis orang-orang terkaya itu saat ini sedang diperangi dunia, yakni rokok (tembakau).
Di sisi lain, saat ini ada 172 negara yang telah meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau alias Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Konvensi yang digagas WHO ini telah menjadi hukum internasional untuk mengendalikan konsumsi tembakau. Kendati berpartisipasi aktif di FCTC, Indonesia tidak menandatangani konvensi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan internasional di bidang kesehatan, Indonesia diberi gelar 'negeri asbak rokok'. Tak heran banyak sebagian yang menilai ini merupakan sesuatu yang ironi. Pasalnya, mayoritas perokok adalah remaja dan masyarakat miskin. Merekalah yang lebih banyak menghabiskan fulusnya untuk merokok.
Menurut Global Youth Survei WHO (2010), tingkat pertumbuhan prevalensi merokok anak-anak dan remaja di Indonesia sangat cepat, bahkan tercepat di dunia, yakni 14,5 persen.
Sangat logis jika akhir-akhir ini muncul fenomena balita merokok (baby smoker). Bahkan, menurut keterangan Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), kini di seantero Kaltim terdapat kurang lebih 15 ribu balita yang gemar merokok.
Ilustrasi sampah rokok. Foto: PublicDomainPictures via Pixabay
Mengutip survei ekonomi nasional (versi BPS, 2006—2007), masyarakat miskin justru menghabiskan penghasilannya per bulan nomor dua adalah untuk merokok, sebesar 12,4 persen. Nomor pertama, tentu untuk mengonsumsi padi-padian (khususnya beras) sebesar 19 persen.
ADVERTISEMENT
Proses yang amat sistematis ini seharusnya tidak dibiarkan oleh negara. Negara harus melakukan proteksi secara komprehensif untuk menyelamatkan anak-anak, remaja, dan masyarakat miskin dari pengisapan oleh industri rokok.
Negara harus intervensi dengan membuat regulasi yang komprehensif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Hanya mengendalikan, tidak melarang, apalagi menutup industri rokok!
Tak sulit untuk melakukan hal itu: batasi penjualan dan pemasarannya, larang iklan dan promosi rokok, tegakkan kawasan tanpa rokok, plus naikkan cukai rokok.
Tanpa ada pengendalian semacam itu, konsumsi rokok akan terus mewabah, dan anak-anak, remaja, plus masyarakat miskin menjadi korban massalnya. Seharusnya pemerintah melahirkan regulasi yang kuat dan komprehensif untuk mengendalikan konsumsi rokok jika tidak ingin dikatakan melegitimasi proses pemiskinan pada rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei!