Jamhar Akbar, Maestro Seni Lamut Asal Tanah Banjar

Konten Media Partner
28 Mei 2018 17:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Banjarhits.id, Banjarmasin - Tubuhnya jauh lebih kurus dari penampilan sepuluh tahun lalu. Mengenakan kaos putih dan peci sewarna, suara Jamhar Akbar sudah tak sejelas dan segagah ketika ia tampil menghibur di hadapan puluhan budayawan dan sastrawan dalam suatu perhelatan para penyair se-Indonesia di Taman Budaya beberapa tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Rambutnya memutih sempurna, pipinya tirus, tak ada gigi yang tersisa. Menyadari usia yang kian menua dan tenaga kian melemah, seniman lamut Jamhar memutuskan istirahat dari panggung yang membesarkan namanya, tiga tahun silam.
Kebesaran pamor Jamhar tercetak di dinding rumahnya yang dipenuhi pajangan pelbagai penghargaan budaya, baik dari Pemerintah Kota Banjarmasin, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan penghargaan budaya tahun 2009 sebagai Maestro Tradisi Lisan Lamut dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik.
Penghargaan bergengsi bagi insan seni di Tanah Air itu diraih Jamhar atas prestasi dan pengabdiannya dalam melestarikan dan mengembangkan Seni Tradisi Indonesia.
Jamhar malang melintang di dunia seni tradisi khas Kalimantan Selatan dan telah melatih sejumlah pelajar, mahasiswa dan kalangan muda yang berhobi seni.
ADVERTISEMENT
Toh, lelaki kelahiran Amuntai 76 lalu ini merasa tak habis pikir karena tak satu pun murid yang pernah belajar lamut kepadanya menguasai kesenian langka itu. "Dari 200-an orang yang pernah ikut pelatihan, satu pun tak ada yang terdengar tampil jadi palamutan (seniman lamut)," kata Jamhar Akbar kepada banjarhits.id, Senin (28/5).
Ditemui di kediamannya di lingkungan Gang Mujahid Aman, Alalak Selatan, Kota Banjarmasin, Jamhar mengaku tidak tertarik naik ke panggung hiburan lagi. Alhasil, tiga tahun terakhir alat tarbang yang biasa menemaninya kemana-mana tersimpan rapi dalam lemari.
"Suara berubah karena sudah tua. Selain itu sakit maag dan asam urat," kata dia. Lebih ironis, salah seorang anaknya yang digadang sebagai penerus justru melakoni profesi tenaga keamanan di pusat perbelanjaan.
ADVERTISEMENT
"Anak saya malu (jadi palamutan). Entahlah kalau saya sudah enggak ada (apa mau dia meneruskan)," ujar Jamhar mengenai anak bungsunya yang juga pernah meraih prestasi di lomba lamut saat masih duduk di bangku sekolah.
Jamhar mengenal lamut dari sang ayahnya, Gusti Rusmana. Sejak umur tujuh tahun, ia sudah memboncel (ikut kemana orangtua pergi) sehingga hapal syair-syair lamut. Adapun Gusti Rusmana memainkan lamut berawal dari ayah kandungnya, Raden Simin. Alhasil, keluarga besar Jamhar turun-temurun mahir memainkan seni lamut, baik laki dan perempuan.
Meski sudah pensiun, ada saja yang datang ke rumah meminta Jamhar memainkan lamut, baik untuk sarana hiburan maupun keperluan khusus hajatan (nazar berkaitan ritual penyembuhan penyakit). "Terpaksa saya tolak," katanya.
ADVERTISEMENT
Lamut adalah seni tradisi bertutur di Kalimantan Selatan sempat yang mengalami puncak masa keemasan pada era tahun 1970-an. Seni tradisi lisan dengan alat sebiji tarbang ini membawakan kisah-kisah Prabu Awang Salenong dan turunannya Raden Bungsu, Kasan Mandi, Bujang Maluala hingga Prama Syahdan.
"Saya pernah memainkan cerita lamut 23 malam berturut-turut," kenang Jamhar yang punya 17 cucu dan 4 buyut. (Yudi Yusmili)