Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kebebasan Pers dan Gugatan Pasien
9 Februari 2019 9:11 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
Sudah jamak setiap gugatan pasien terhadap profesi dokter dengan tuduhan malapraktik selalu menjadi ladang subur bagi media untuk dikupas dan diekspos layaknya pemberitaan para selebritis.
ADVERTISEMENT
Mulai dari tuduhan kesalahan diagnosis, kesalahan penanganan, waktu respons yang lama, hingga hal-hal yang bersifat administrasi di rumah sakit.
Banyak hikmah yang dapat kita tarik dari semua berita seputar gugatan pasien yang muncul di media. Bagaimanapun segala upaya pers melakukan kontrol sosial atas profesi dokter adalah sehat dan harus ditanggapi positif.
Yang menjadi pertanyaan, apakah usaha kontrol pers tersebut cukup efektif? Artinya, apa dengan begitu dunia kesehatan di Indonesia lantas akan menjadi lebih sehat?
Pernahkah kalangan pers menghitung dampak negatif psikologis yang terjadi akibat berita seperti itu, baik untuk masyarakat maupun kalangan dokter? Atau akan menjadi kenyataankah pepatah karena “nila setitik rusak susu sebelanga”?
ADVERTISEMENT
Memilih ikan putih di antara ikan hitam dalam akuarium yang airnya dikeruhkan selalu akan lebih sukar. Bahkan, kalau kita beri racun, semua ikan akan mati. Atau justru mungkin yang mati ikan putih saja.
Sedangkan ikan hitam justru tetap hidup karena kekenduran moral menyebabkan kemampuan mempertahankan kehidupan mereka lebih tinggi.
Lalu, benarkah ini terjadi karena sumpah dokter sudah kehilangan makna di zaman now? Atau pagar etik mungkin membuat keadaan sebenarnya menjadi sulit diungkap? Semua menjadi terbungkus.
Kebebasan pers sering mengundang efek melukai wajah dokter secara keseluruhan. Haruskah keberadaan dokter yang telah menyerahkan seluruh hidupnya demi kepentingan manusia itu diabaikan?
Di kala semua tertidur lelap, mereka tidak kenal lelah, berjuang menyelamatkan nyawa penderita. Memberikan yang terbaik tanpa harus disebut pahlawan, juga tanpa tepuk tangan.
ADVERTISEMENT
Adilkah kalau mereka-mereka ini ikut terhujat oleh tulisan yang terlanjur memberikan vonis hitam terhadap wajah kedokteran Indonesia?
Bagaimana cara kita menerangkan pada masyarakat bahwa “ikan putih” masih banyak di sekitar kita. Sementara mereka pun (baca: ikan putih) bingung menghadapi “ikan hitam” yang semakin ganas dan mereka ikut terkena hujatan yang salah alamat.
Apa mungkin ini karena moral telah lama berpaling. Nilai-nilai materi terlanjur menjadi berhala yang disembah-sembah sebagian besar bangsa ini.
Padahal, malapraktik tidak hanya terjadi di profesi kedokteran saja, di hampir semua profesi juga terjadi. Jabatan, berita, hukum, pendidikan, kesehatan, bahkan politik pun telah lama menjadi barang dagangan.
ADVERTISEMENT
Upaya memperbaiki semua ini merupakan perang besar berjangka panjang. Arah perbaikan, tak lain adalah mengubah nilai-nilai dasar bangsa. Dan perbaikan tidak akan tercapai dengan hanya membuat satu-dua tulisan seram di media, setelah itu ditinggal.
Benar kalau dikatakan, hujatan terkadang perlu untuk awal suatu perubahan. Tetapi tanpa tindak lanjut yang konseptual, yang tertinggal hanya luka. Masyarakat menjadi semakin bingung, bahkan yang terjadi mungkin sebaliknya.
Untuk itu membuka selebar-lebarnya keadaan dunia medis di Indonesia secara objektif sudah sangat mendesak dilakukan. Mengapa? Hubungan dokter-pasien terjadi setiap hari (jutaan pasien/hari), wajar bila masyarakat perlu kejelasan. Sayang sekali, kenyataan di lapangan tidak seperti itu.
Ikan hitam pun berbaju putih, bahkan mungkin tampil lebih memukau. Di sini jelas, diperlukan pembekalan pada masyarakat agar masyarakat mampu menjaga diri. Untuk menilai ketepatan tindakan medik yang diperolehnya atau setidaknya sadar akan hak-haknya.
ADVERTISEMENT
Masalah kesehatan adalah persoalan bangsa yang amat serius. Jelas, harus ditangani bersama dengan penuh kesungguhan. Bila niat baik masyarakat melakukan kontrol tidak dilakukan secara konseptual dan hati-hati, hasilnya akan jauh dari sasaran. Bahkan mungkin timbul komplikasi yang lebih serius, krisis kepercayaan.
Dalam situasi runyam seperti itu, siapa lagi yang harus dan yang mampu menerangkan kebenaran medis pada masyarakat. Jangan sampai kerugian publik hanyalah peran antara promosi dan hujatan. Tentu ini bukan cara yang terrpuji untuk profesi yang sering disebut luhur ini.
Penting diketahui pelayanan medis adalah tindakan profesional yang berhubungan langsung dengan jiwa. Jadi, harus jelas kualitasnya. Standar sudah ada, maka ukurlah dengan menggunakan indikator-indikator yang benar.
ADVERTISEMENT
Di sinilah sebenarnya pers diharapkan hadir. Diakui pers mampu memasuki kehidupan masyarakat tanpa batas, mempunyai peran vital dalam perang besar yang sangat mulia ini.
Di sisi lain, dunia kedokteran yang semula sarat dengan pesan moral etik akan tampil dalam kemasan lain, berwajah industri. Siapkah bangsa besar (baca: besar jumlah penduduknya) dengan segala kelemahannya di bidang kesehatan, ekonomi, sosial, informasi, pendidikan dan seterusnya ini menerima perubahan besar di masa mendatang?
Kuatkah bangsa yang sudah amat lelah ini untuk terus berjalan kedepan? Siapa yang harus menjaganya? Pers ? Pertanyaan ini harus dijawab.
Selamat Hari Pers Nasional, 9 Februari!
------
Kolumnis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.id
ADVERTISEMENT