Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten Media Partner
Kesehatan dan Pengentasan Kemiskinan
14 November 2018 18:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Penulis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin dan Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini opini pribadi yang dikirim ke banjarhits.ID
ADVERTISEMENT
banjarhits.ID - Sebenarnya kemiskinan dan kesehatan punya mata rantai yang tidak terputus. Kemiskinan menyebabkan kesulitan mendapatkan makanan yang berkualitas dan bergizi tinggi. Kemiskinan akan menyudutkan seseorang atau masyarakat ke lingkungan hidup yang buruk dan pengetahuan tentang kesehatan yang rendah.
Umumnya, mereka yang terjerat dalam kemiskinan bergaya hidup buruk dan rentan terkena penyakit. Dan akibat kemiskinannya itu mereka tidak dapat membayar biaya perawatan dan pengobatan ketika sudah jatuh sakit. Kolaborasi kemiskinan dan kesakitan, menjadikan hidup bagaikan hanya menunggu ajal datang menjemput.
Sedangkan bagi masyarakat yang baik tingkat kesehatannya, akan memperendah angka kemiskinan. Karena orang yang sehat bisa lebih produktif, biaya untuk berobat jadi rendah (bisa disubtitusikan untuk kebutuhan lain), bisa mengakses informasi dan pengetahuan medis secara lebih baik, gaya hidup lebih positif , usia hidup lebih tinggi, dan tingkat kematian lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Ini karena kesehatan adalah investasi dan sakit adalah cost. Di kalangan masyarakat yang sangat miskin, dan tidak mampu, salah satu jalan untuk memutus mata rantai kemiskinan dan kesehatan adalah intervensi pemerintah pada kedua sektor itu: kesehatan dan pengentasan kemiskinan.
Perbaikan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin merupakan dorongan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mempunyai arti penting, paling tidak karena dua alasan pokok.
Pertama, untuk menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin dan kedua untuk stabilitas politik nasional yakni menjaga keutuhan integrasi bangsa, dengan meningkatkan upaya pembangunan (termasuk kesehatan) didaerah miskin. Seperti halnya masalah kemiskinan, kesehatan juga telah menjadi perhatian masyarakat global. Mandat global telah menyatakan bahwa kesehatan rakyat sebagai tanggung jawab pemerintah masing-masing.
ADVERTISEMENT
Kedua, ada kesepakatan di tingkat global bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia. Ditingkat nasional tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang layak kepada warga negara antara lain tercantum dalam pasal 28 ayat (1) dan pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
Pada tataran teknis implementatif, kewajiban negara itu digariskan dalam UU no 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Namun sudahkah kewajiban itu dipenuhi oleh pemerintah, terlebih lagi kebijakan kesehatan untuk kaum miskin? . Apakah dana yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah banyak membantu kaum miskin untuk menjaga kesehatan?
Ada banyak indikator untuk melihat apakah kebijakan kesehatan yang dibuat pemerintah berpihak kepada rakyat miskin atau tidak. Dari berbagai fakta dan data yang ada menunjukkan, kebijakan kesehatan selama ini masih belum berpihak kepada rakyat miskin.
ADVERTISEMENT
Fakta tentang angka kematian ibu dan bayi, misalnya, setiap tahun 3000 ibu meninggal dan lebih dari 50.000 bayi meninggal. Akibat masih tingginya angka kematian ibu dan bayi tersebut, Indonesia ditegur Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) karena dianggap gagal mencapai Millenium Development Goals (MDG”s).
Belum lagi berbagai insiden memilukan yang menimpa si miskin , seperti ditolak berobat oleh rumah sakit. Tidak sedikit si miskin menghembuskan napasnya karena tidak segera ditangani oleh tim medis di rumah sakit hanya gara-gara tidak mampu membayar uang muka biaya pengobatan. Ini jelas pelanggaran hak asasi manusia.
Pelayanan kesehatan tidak bisa hanya diserahkan kepada kehendak rumah sakit. Bukankah hak memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap warga negara? Alih-alih meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat justru ada tendensi yang kuat dari pemerintah untuk menyerahkan pelayanan kesehatan kepada mekanisme pasar.
ADVERTISEMENT
Padahal yang namanya penyakit datang tanpa diundang dan tidak tahu waktu pasti kedatangannya. Risikonya pembiayaan kesehatan datang mendadak dan tidak jarang dalam jumlah besar. Bahkan orang kayapun bisa jatuh miskin jika sudah tertimpa sakit kronis, karena aset-aset yang dimiliki terpaksa dijual untuk membiayai pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan.
Yang paling mengejutkan adalah berita diprivatisasinya beberapa rumah sakit pemerintah dalam hal ini RSUD milik pemerintah daerah. Padahal sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa tingkat kesehatan akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM).
Lebih daripada itu, kesehatan semestinya tetap harus diperlakukan sebagai investasi SDM. Namun, tampaknya hal ini belum sepenuhnya disadari oleh pemerintah. Akibatnya masih buruk pelayanan kesehatan di Indonesia dan kaitannya dengan peningkatan SDM tercermin dari peringkat Indonesia dalam Human Development Index (HDI) .
ADVERTISEMENT
Saat ini Indonesia menempati urutan 111 dari 182 negara dalam hal HDI. Memang bukan dinomor akhir , tapi jelas tak membanggakan. Dalam grup negara Asean kita masih terus pegang nomor buncit, Filipina nomor 105, Malaysia nomor 66, Thailand nomor 87 dan Singapura nomor 21.
Lalu bagaimana agenda politik kesehatan di tahun 2019 yang akan dijalankan oleh pemerintah? Apakah berbagai kebijakan kesehatan yang digelindingkan nantinya akan pro orang miskin , ataukah justru pro orang kaya? Inilah yang kita tunggu. Selamat Hari Kesehatan Nasional, 12 November! Ilustrasi: Pixabay